Aku bisa melihatnya di mata Mirna---perlahan, sesuatu di dalam dirinya mulai memudar, dan aku tidak tahu bagaimana menghentikannya.
"Mungkin kita harus menyerah," Mirna berkata, memecah keheningan yang telah menguasai kami selama beberapa menit. "Mungkin, kita hanya bertahan karena takut apa yang akan terjadi kalau kita berpisah."
Hatinya tersirat dalam kalimat itu---ketakutan dan keputusasaan. Aku merasakannya juga, ketakutan akan kesendirian, akan kehilangan seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidupku begitu lama. Tapi aku juga tahu, melepaskan adalah satu-satunya jalan untuk menyembuhkan.
"Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu," jawabku jujur. "Tapi aku juga tidak tahu apakah kita masih bisa memperbaiki ini."
Mata Mirna menatapku, dan aku bisa melihat air mata yang mencoba dia tahan. "Ben, aku tidak ingin terus berada di tempat ini---terjebak di antara kenangan dan kenyataan. Aku lelah!"
Dan aku? Aku juga lelah. Lelah berjuang untuk sesuatu yang terasa semakin jauh dari jangkauan.
Waktu berlalu, kafe semakin sepi, dan hujan di luar mulai reda. Aku tahu, ketika kami bangkit dari kursi ini, kami mungkin tidak akan pernah kembali ke titik di mana kami bisa bersama. Tapi ada sesuatu yang damai dalam kesadaran itu---bahwa meskipun kami tidak bisa lagi bersama, bagian dari kami akan selalu hidup dalam fragmen-fragmen yang pernah kami bagikan.
Mirna mengangkat tasnya, berdiri, dan aku melakukan hal yang sama. Kami saling menatap untuk beberapa detik terakhir, tanpa kata-kata, hanya dengan kesadaran bahwa ini adalah akhir dari kami.
"Kita akan baik-baik saja," Mirna berkata pelan, seperti mantra untuk dirinya sendiri.
Aku tersenyum kecil, meskipun hati ini terasa berat. "Ya, kita akan baik-baik saja."
Perkataan itu memapah kami melangkah keluar dari kafe, meninggalkan fragmen-fragmen kenangan di sana---bagian dari hidup yang pernah penuh dengan cinta, tawa, dan kenangan.