"Mungkin...," suaraku lirih, "mungkin kita hanya bertahan pada kenangan. Fragmen-fragmen dari masa lalu yang... sekarang tak lagi ada."
Dulu, kami tak terpisahkan. Setiap momen bersama terasa berharga, seperti setiap detik adalah bagian dari puzzle kehidupan yang sempurna. Aku ingat bagaimana Mirna dan aku dulu menghabiskan akhir pekan dengan memasak bersama, bereksperimen dengan resep-resep aneh yang selalu berakhir kacau. Tapi kami selalu tertawa.
Suatu hari, aku hampir membakar dapur saat mencoba membuat barbeque. Mirna berteriak panik, mengambil alat pemadam api sementara aku berdiri di sana, tertawa terbahak-bahak. "Kamu gila!" serunya. Tapi ada ciuman lembut setelah itu, dan canda tawa yang mengisi ruang dapur kami.
Tapi itu dulu. Sekarang, kami bahkan tidak bisa saling menyapa tanpa ada ketegangan yang menggantung di udara.
"Aku merindukan kita yang dulu," Mirna berkata pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan di luar.
Kalimat itu menghantamku. Bukan karena aku tidak merindukan kami yang dulu, tapi karena aku tahu kami tidak bisa kembali ke sana. Semua hal yang terjadi, semua perdebatan, semua luka yang kami ciptakan satu sama lain---itu tidak bisa dihapus.
"Mirna," aku memulai, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku juga merindukan kita yang dulu. Tapi... kita sudah bukan orang yang sama. Begitu banyak yang berubah, dan... mungkin kita tidak bisa kembali lagi."
Dia menatapku lama, matanya penuh pertanyaan. "Kapan semuanya mulai berubah?"
Aku tahu jawabnya, tapi sulit untuk mengatakannya. Semua mulai berubah ketika kami berhenti mendengarkan satu sama lain, ketika rutinitas dan ekspektasi menggantikan cinta yang dulu terasa tak tergoyahkan. Kami mulai sibuk dengan pekerjaan, kehidupan, dan tiba-tiba saja, kami hanyut dalam arus yang membawa kami semakin jauh.
"Semua ini perlahan tapi makin nyata terjadi, Mirna. Kita rupanya telah berhenti berjuang untuk satu sama lain. Kita mulai membiarkan hal-hal kecil menjadi besar. Dan entah bagaimana, kamu akui atau tidak, kini kita tak lagi saling peduli," aku menundukkan kepala, merasakan berat dari kejujuran itu.
Aku ingat malam ketika pertengkaran pertama kami benar-benar parah. Kami berteriak, saling menuduh, saling menyakiti dengan kata-kata yang mungkin tidak kami maksud, tapi sudah terucap. Saat itu, aku pikir itu hanya salah satu perdebatan biasa, sesuatu yang akan kami atasi seperti biasa. Tapi ternyata, itulah awal dari retakan yang mulai melebar di antara kami.