Kyai Hanafi segera bangkit dari duduk bersilanya, lalu melangkah menuju kamar paling belakang dekat dapur. Yang lain tetap pada posisi dan merapatkan duduknya. Merinding ketakutan.
"Aku sudah lama tinggal di sini, kok mau diusir. Terus aku harus tinggal di mana ?" kata suara nenek-nenek diiringi tangis sesenggukan.
"Ketahuilah Kisanak !" jawab Kyai Hanafi setengah berteriak.
"Rumah ini ada yang punya. Bangsa kami, bangsa manusia. Kalau kamu ingin tempat tinggal yang aman, pergilah ke arah selatan. Di sana ada banyak tempat yang bisa kau tinggali !"
"Semua sudah ditakdirkan Allah, diberi tempat sendiri-sendiri. Tidak boleh saling merebut tempat yang bukan haknya ! Siap melanggar aturan Allah, maka akan terkena Rajah Sabda Suci !"
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka sendiri secara keras. Lalu angin lumayan kencang menerpa Kyai Hanafi hingga pecinya terjatuh. Kyai Hanafi pun terus membaca  dzikir keras-keras dan keenam orang lain pun segera menyahut ikut berdzikir.
"Alhamdulillah....!" kata Kyai Hanafi tak lama kemudian.
"Nak Ferdy, hidupkan lagi lampunya !" perintahnya segera kepada Ferdy.
Tak berapa lama seluruh ruangan pun terang kembali. Kyai Hanafi kembali duduk berkumpul bersama yang lain. Wajahnya tersenyum sambil mulutnya masih tampak komat-kamit melafalkan dzikir. Semua orang pun merasa lega.
"Rumahnya sudah bersih. Ferdy dan Anisa sudah boleh menempati lagi dengan tenang", kata Kyai Hanafi kemudian.
"Tapi supaya hati Anisa lebih tenang, kamu sebaiknya ikut tinggal di sini barang sementara waktu, Ndan !" saran Kyai Hanafi kepada Pak Hamdan.