Mohon tunggu...
Sekar Tri Wulan Amelia
Sekar Tri Wulan Amelia Mohon Tunggu... Lainnya - Hai! Saya Sekar Tri Wulan Amelia, suka menulis dan membaca tulisan. Bagi saya, menulis dapat membuat saya berbicara tanpa bersuara dan bercerita tanpa bertatap mata.

Let's talk and make a circle!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sudah Sekian Purnama Ibu Pulang

4 Desember 2020   23:05 Diperbarui: 4 Desember 2020   23:07 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: unsplash.com

Sudah sekian purnama Ibu pulang, tapi rasanya ingatan itu masih sangat tajam. Adonan siomay dengan tambahan bumbu yang dimasukkan begitu saja oleh jari-jarinya. Rasanya hanya Ibu yang bisa memahami makna 'secukupnya' dalam resep itu.

"Kurang asin nggak?" tanya Ibu.

Reflek aku mendongak dan memicingkan mata, tanda protes ditanya rasa makanan yang bahkan masih berbentuk adonan mentah dan lembek. Ih.

"Gimana caranya ngincipinnya Bu?"

"Tempelin aja ke lidah sedikit"

Aku yang masih tidak bisa menerima trik itu, mengangkat jempol tanda semuanya sudah pas, padahal aku hanya enggan disuruh merasakan adonan mentah itu lagi.

Sudah sekian purnama lemari itu tak dibuka. Baju-baju Ibu masih tertata rapi khas bagaimana Ibu melipatnya.

"Kalau numpuk baju itu lipatannya satu sisi biar rapi di lemari"

Ah iya benar, meniru Ibu setidaknya lemariku bukan seperti tumpukan baju di keranjang diskonan.

"Kalau ambil baju itu atasnya diangkat, jangan asal tarik, bikin berantakan"

Ibu nggak tahu aja gimana rasanya buru-buru ke kampus, jangankan mikir cara yang baik dan benar untuk ambil baju, atasan polkadot bawahan leopard pun sudah tak peduli. Asal aman dari cecaran dosen dan ancaman nilai C.

Teman-temanku di kampus selalu heran, bagaimana bisa kurang dari jam 7 pagi aku sudah di kelas dengan perut yang nyaman penuh asupan. Justru aku yang heran kenapa bagi mereka hal itu terasa aneh. Di rumahku, ada perempuan yang sudah berisik dengan wajan dan pancinya  bahkan sejak adzan belum berkumandang. Dari sepiring nasi putih hingga segelas teh manis rutin di atas meja setiap pagi. Entah kenapa Ibu begitu yakin kalau minuman manis bisa menambah energi.

"kalau nggak sarapan, nggak boleh sekolah!" ancam Ibu.

Kalimat yang begitu menyebalkan di saat aku kecil tapi sukses membuatku terbiasa. Aku dewasa menjadi begitu kelaparan saat terpaksa melewati ritual sarapan. Ya, memang begitu haramnya meninggalkan sarapan bagi Ibu. Perutku yang sudah nyaman dan terbiasa sarapan masakan Ibu kini rasanya harus beradaptasi dengan hal baru. Maaf Ibu, bukan aku ingin meninggalkan sarapan, tapi semua memang tak lagi sama sejak Ibu pulang. Aku rindu sesuap nasi langsung dari tangan Ibu. Aku tinggal membuka mulut lalu mengunyah, sesekali bercerita atau sambil memakai kaos kaki saat waktu memburu.

Ah. Entah sudah dari kapan sapu ini ada di tangan tapi justru mataku fokus pada figura dengan foto Ibu. Kata Ibu kalau nyapu sampahnya jangan dibiarin di pojokkan. Kata Ibu kalau nyapu jangan ngawang sapunya, nanti kotorannya nggak kebawa. Kata Ibu kalau sampah basah jangan dibuang di tempat sampah dalam. Kata Ibu plastik bekas jadiin satu, jangan dibuang nanti sewaktu-waktu butuh. Kata Ibu iuran kebersihan kampung dibayar setiap tanggal 1, kartunya di atas lemari es. Segelintir kata Ibu tentang pasal kebersihan yang sempat terucap.

Berulang kali aku mempertanyakan keputusan-keputusan Ibu sebagai seorang istri dari Ayah. Mulai dari kenapa istri harus begini, kenapa Ibu harus begitu, hingga sekonyol kenapa Ibu mau sama Ayah. Nyatanya aku saja yang terlalu fajar dalam memahami.

"Kenapa Ibu buru-buru pulang, padahal belum sore-sore banget?" tanyaku ketika kita berdua sedang berada di swalayan tak lebih 3 kilometer dari rumah.

"Ayahmu sebentar lagi pulang, masa di rumah nggak ada orang" singkat dan langsung menuju parkiran.

Pantas mata Ayah masih sering memerah dalam diam. Memang bukan tanggul yang tengah menahan air bah, tapi rasanya memang tak semudah itu bagi Ayah. Separuh jiwanya telah pulang.

Sudah sekian purnama rumah ini terasa berbeda. Sudut-sudut ruang seolah mengulang kenangan. Ibu yang selalu protes jika ada barang tak seharusnya ada di ruang tamu, dari helm hingga kaos kaki bekas pakai. Dapur itu jadi saksi aku belajar perbedaan dari ketumbar hingga merica, bentuknya beda kata Ibu, entah apa bedanya. Dari kunyit hingga jahe, yang ini gampang, beda warna untungnya.  Ibu selalu antusias menyajikan makanan tapi jadi yang paling malas makan masakannya sendiri. Entah, apa memang semua Ibu di dunia ini begitu. Paling senang menyuruh anaknya makan, padahal belum genap satu jam anaknya selesai makan. Ah Ibu, aku semakin rindu.

Ibu tanpa gelar sarjana pendidikan, tanpa pengalaman mengajar, apalagi sertifikasi pendidik, telah berhasil menjadi lebih dari tempat aku tumbuh. Rahimnya yang mengandungku lebih dari 9 bulan, tangan lembutnya yang membesarkanku, kaki kokohnya yang kuat mengikuti dari langkah pertamaku, lisannya yang menuntun kata pertamaku terucap, hingga telinganya yang tak pernah bosan mendengar cerita tumbuhku.

Juni, Juli, hingga Desember tiba, aku kira semua akan lebih mudah seiring bulan berlalu. Nyatanya aku sadar bahwa tidak ada ukuran kuantitatif suatu kesedihan. Aku hanya tau, aku sangat sedih Ibu pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun