[caption id="attachment_351712" align="alignleft" width="300" caption="cover buku. sumber Penebar-Swadaya.Net"][/caption]
Dahulu, guru menempeleng murid tak bakal dilaporkan kepada polisi. Bahkan banyak orang tua yang mengatakan, tak apa anak saya dididik dengan keras, asalkan sisakan jiwanya untuk pulang saja. Para orang tua di rumah sama sekali tidak keberatan dengan model pendidikan ala Belanda yang keras sekali kepada murid. Asalkan anaknya berprestasi di sekolah. Setidak-tidaknya bisa mengikuti irama pelajaran yang baik di sekolah dan kelas.
Kini, kita mengetahui bahwa kecerdasan seorang anak itu sangat banyak. Kecerdasan intelektual yang selama ini menjadi kiblat kecerdasan seorang anak, tidak berlaku lagi. Setiap anak pasti membawa bakat dan kemampuan masing-masing. Setiap anak lahir dan berkembang dengan bakatnya sendiri. Jadi, tidak ada istilah anak bodoh, terbelakang, atau yang kasar: goblok.
Sayangnya, kemampuan sekolah, terutama guru dalam menyikapi kecerdasan siswa di kelas masih terbatas. Mereka yang tidak piawai matematika, kimia, fisika, dan mata pelajaran eksakta lain, grade-nya masih dianggap di bawah. Ilmu eksakta masih dipandang sebagai elemen paling penting. Siswa sepertinya tidak keren jika tidak masuk kelas IPA. Sebaliknya, mereka yang masuk IPS, dianggap kalah pintar daripada mereka yang masuk kelas IPA.
Dari beberapa alinea di atas, dunia pendidikan kita ibarat berada di gurun pasir. Panasnya luar biasa. Ada banyak masalah di sana. Jika berganti presiden, berganti menteri pendidikan, berganti pula kurikulum. Pergantian kurikulum berimbas pada pergantian buku ajar dan metode mengajar di kelas. Perubahan kurikulum hanya buang-buang biaya. Indonesia, bukannya memasuki tahap baru dalam pendidikan dan berupaya bersaing dengan bangsa lain, malah terperosok.
Namun, kegersangan dunia pendidikan Indonesia seakan lenyap saat penulis membaca buku yang bagus ini. Buku berjudul “Oase Pendidikan di Indonesia, Kisah Inspiratif Para Pendidik” yang ditulis Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan ini sungguh bagus untuk dibaca. Mengapa demikian? Baiklah, penulis mencoba mengelaborasinya dalam resensi kecil ini.
Guru di Indonesia punya peluang untuk menjadi insan pendidik yang ikhlas dan kreatif. Ikhlas adalah kunci supaya anak murid mendapatkan limpahan kasih sayang dari gurunya. Yang kurang di Indonesia ini, guru kurang saya kepada murid. Dosen malah menyulitkan mahasiswa. Bahkan ada anekdot “Tuhan tidak memberikan ujian yang melampaui kemampaun hambanya. Tapi dosen memberikan tugas di luar kapasitas mahasiswanya”.
Mantan Rektor Undip Eko Budihardjo yang beberapa minggu lalu wafat, terkenal sebagai dosen yang “murah” kepada mahasiswanya. Bukan murah dalam artian nilai, melainkan menghargai upaya mahasiswa mendapat nilai bagus. Kata Eko semasa hidup, seperti penulis kutip dari Kompas, menjadi dosen itu mesti melimpahkan kasih sayangnya kepada mahasiswa. Dengan begitu, mahasiswa akan mendapat kasih sayang yang berkelimpahan yang ujungnya pada prestasi.
Guru di Indonesia ada peluang menjadi pendidik yang ikhlas dan kreatif. Itulah semangat yang ingin ditularkan dari buku ini. Kita bisa membaca betapa guru di SD Semesta Hati di Cimahi, Jawa Barat, demikian sayang dengan murid yang berkebutuhan khusus, Gios. Gios yang semula sering berbicara kotor, mengganggu teman, tak suka belajar, dan sederet label buruk lainnya, diperlakukan dengan baik oleh guru di sini. Penulis cerita ini, Diyar Ginanjar, secara eksploratif menulis sosok Gios, siswa berkebutuhan khusus di Semesta Hati. Gios adalah satu-satunya murid kelas I di sekolah ini.
Ia sukar sekali diajak belajar. Menulis huruf pun masih salah dan tertukar. Jika Gios diminta membaca, pastilah ia sukar. Namun, para guru di sini tidak menyerah. Mereka ikuti saja kemauan muridnya itu. Kalau Gios sedang semangat bermain di taman dan mengejar capung, para guru mengikuti seraya memberikan edukasi secukupnya. Andai Gios bosan bermain di taman dan hanya suka layang-layang, para pendidik di sini juga mengikutinya dengan baik.
Bahkan, saat Gios tak mau turun dari jok motor untuk menuju ruang kelas, para guru pun membiarkan saja. Belajar bisa dilakukan di mana saja, bahkan di atas motor sekalipun. Jika saat ujian, para pengawas demikian ketat dalam menerapkan aturan, khusus Gios, tak berlaku. Sehingga, saat siswa ini hanya mengerjakan soal yang ia kehendaki, para guru tak mempermasalahkan. Gios tetap naik ke kelas II. Ia bahkan mendapat ranking satu. Hebat bukan? Hehehe.
Para guru di Semesta Hati dengan tulus, ikhlas, mendidik Gios sebagaimana siswa lainnya. Sekolah ini tak pernah menutup penerimaan siswa. Para murid yang hendak sekolah di sini, kapan saja bisa datang. Para murid yang ingin mengembangkan semua talentanya, juga dipersilakan. Sekolah tidak membatasi kemampuan seorang anak dengan label-label tertentu. Makanya, di sini, para guru dilarang keras memberkan label tertentu kepada siswa. Baik yang berlabel positif, maupun negatif. Karena semua pada dasarnya cerdas, sekolah hanya memfasilitasi saja. Mengembangkan kapasitas yang ada sehingga menjadi makin optimal.
Kalau dinalar, sulit lo menjadi guru untuk anak-anak seperti Gios. Mungkin butuh jutaan kesabaran lebih tinggi daripada guru lain yang tidak mendapat kesempatan mendidik anak seperti Gios. Jika tak sabar, khususnya lagi tak ikhlas, sepertinya sulit menjadi guru seperti di Semesta Hati. Namun, itulah yang terjadi. Kita masih bisa menemukan para guru yang ikhlas, tulus, sehingga membuat siswa mereka cerdas. Di halaman 57 hingga 78 kita bisa membaca kisah soal Gios ini secara lengkap. Dijamin, Anda bakal senang dan mendapatkan sesuatu. Sebuah contoh tulisan yang menginspirasi.
Dari keikhlasan, muncul kreativitas yang membantu guru dalam membantu siswa mencapai tujuan. Tak hanya di Semesta Hati, ketulusan dan kreativitas juga ditunjukkan Retno Listyarti yang menulis artikel berjudul “Menciptakan Konflik di Kelas”. Retno adalah guru Pendidikan Kewarganegaraan pada SMAN 13 Jakarta Utara. Ia juga Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia. Apa sih keunikan Retno sehingga tulisannya mejeng di sini? Retno piawai dalam membawa suasana kelas menjadi aktif dan merumuskan sendiri materinya. Dalam cerita Retno di halaman 79 ini diceritakan bahwa Retno ingin memberikan suasana yang berbeda di kelas saat memberikan materi tentang konflik. Ia baru mempunyai ide saat melihat siswa-siswinya berpacaran. Adit dan Chintiya adalah siswa yang ia ajar.
Retno bersiasat mencoretkan spidol secara “tak sengaja” ke pipinya. Ia kemudian meminta Adit, pacar Chintiya, menghapus bekas coretan di pipinya dengan tisu. Kontan saja sekelas geger. Apalagi perintah Retno kepada Adit untuk mau menghapus coretan spidol itu cukup keras. Adit awalnya ragu-ragu. Kawan-kawan sekelas memberikan tepukan riuh rendah. Sementara Adit jelas tidak enak karena ada pacarnya di kelas. Mereka saat jam istirahat baru saja berbicara mesra dan Retno jelas melihat itu sebagai sebuah peluang permainan.
Setelah diteriaki warga kelas, Adit mau juga menghapus coretan spidol di wajah gurunya itu. Jelas saja Chintiya cemburu. Dan situasi makin ramai saat tahu itu hanya akal-akalan Retno untuk menghidupkan suasana kelas. Dari fragmen itu, Retno meminta semua siswa berpartisipasi. Dimulai dari merumuskan apa itu konflik, siapa yang terlibat dalam konflik, apa kerugian konflik, siapa yang paling disalahkan dalam setiap konflik, dan sebagainya.
Retno piawai membuat suasana kelas menjadi hangat. Ia tak ingin, materi yang ia ajarkan hanya begitu saja, tidak ada yang istimewa, dan tidak merangsang siswa untuk berpikir. Dengan model bermain ini, para siswa akhirnya “dipaksa” berargumentasi dan mampu memahami materi dengan mudah. Jadi, tanpa perlu membaca buku pelajaran, dengan drama, materi bisa diajarkan dengan baik.
Kreativitas juga ditunjukkan seorang Bambang Wisudo saat dipercaya mengajar bahasa Inggris di Sanggar Akar. Bambang Wisudo menulis di halaman 100 “Lagu Gaza untuk Murid-Muridku”. Ini bercerita soal pengalaman Bambang, yang juga editor buku ini, ketika memberikan materi bahasa Inggris. Bambang kemudian mencoba sesuatu yang lain. Ia melakukan pendekatan lagu. Diputarlah lagu milik Michael Heart “We Will not Go Down” yang bercerita soal kemanusiaan di Gaza. Betapa rakyat Gaza takkan menyerah meski rumah, masjid, dan sekolah mereka dibombardir tentara Israel.
Bambang dengan baik meminta siswa untuk menyanyikan lagu itu dengan lantang. Rupanya ia ingin setiap anak mengucapkan lirik bahasa Inggris dengan baik. Selain itu, BambangWisudo meminta siswa di sanggar itu untuk mengartikan secara bebas lirik lagu ini, tanpa kamus. Langkah berikutnya, mereka diminta mencari kosakata yang baru kali ini mereka temukan. Akhirnya, proses pembelajaran bahasa Inggris menjadi lancar.
Yang menarik, setelah kemampuan siswa ada peningkatan, mereka diminta menulis surat dalam bahasa Inggris. Semua siswa menyanggupi permintaan Bambang. Akhirnya, setiap murid di Sanggar Akar menulis surat. Sebagian besar menulis untuk Michael Heart, pemusik yang membuat lagu yang cukup spaktakuler “We Will not Go Down”. Ada juga penghuni sanggar yang menulis surat untuk Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. (Halaman 114-115)
Ketulusan Bambang, Retno, dan guru lain yang terangkum di buku ini memang semestinya menjadi inspirasi buat pendidik di daerah lain. Ternyata, di balik kesusahan kita menyukseskan pendidikan di negeri ini, masih banyak orang yang secara ikhlas berbakti. Tentu senang di kalbu seorang Bambang, saat semua siswa menyukai bahasa Inggris. Bambang juga tersentak saat seorang muridnya di sanggar itu sering mengiriminya pesan singkat atau dalam media sosial, dalam bahasa Inggris.
Kisah sukses para guru dan institusi sekolah dalam membantu para murid dalam belajar tidak hanya itu. Di SMPN 2 Pagedangan, Kab. Tangerang, Banten, kisah inspiratif juga ada. Bahkan, skalanya lumayan luas. Cerita di halaman 120 hingga 135 yang ditulis Tuti J Rismariniberjudul “Beasiswa dari Jepit Rambut” ini menarik untuk disimak. Cerita di bab ini dimulai saat penulis mengetengahkan kisah Rizki, siswa yang jarang sekolah karena ayah dan ibunya sakit keras. Rizki bukannya tidak mau sekolah. Ia tidak sekolah karena mesti menjaga orang tuanya.
Dari kesulitan Rizki, pihak sekolah terbuka pikirannya, bahwa sebagian siswa yang bersekolah di sini berasal dari keluarga tidak mampu. Kemiskinan menjadi hal yang lumrah. Tuti akhirnya menelurkan ide bahwa sekolah perlu upaya kreatif agar punya penghasilan sendiri. Pilihannya waktu itu membuat jepitan rambut. Walaupun pada sosialisasi awal banyak pihak tidak setuju, usaha membikin jepit rambut akhirnya disetujui. Dan sejak itulah anak-anak di SMP ini ada aktivitas mulia.
Seiring perjalanan waktu, karya anak-anak berupa jepit rambut ini diapreasiasi. Ada banyak event yang mereka aktif di dalamnya. Sampai kemudian sekolah mampu memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi, siswa miskin, yang salah satunya Rizki. Happy ending. Keikhlasan dalam bekerja melahirkan kreativitas yang tiada henti. Pasti ada hal baru yang kita temukan saat kita berupaya ikhlas dan kreatif.
Lantas, apa keunggulan buku ini dibandingkan dengan buku lain yang sejenis? Buku ini lahir dari pengalaman empiris di lapangan. Hampir semua naskah yang terangkum di buku ini hadir dari pengalaman nyata. Sehingga, buku enak sangat enak dibaca. Bahasanya yang mudah dimengerti menjadikan buku ini bisa dibaca siapa saja. Tidak mesti orang yang bergelut di bidang pendidikan, tapi juga kalangan lain. Bahkan, anak-anak saja, bisa membaca buku ini agar mengambil pelajaran dari beragam kisah yang terangkum di dalamnya.
Selain itu, buku ini punya makna yang mendalam. Makna bahwa menjadi pendidik mesti ikhlas dalam bekerja. Keikhlasan dalam bekerja menjadikan seorang pendidik mampu berpikir lain dari yang biasanya. Ia takkan terkungkung oleh konsep yang selama ini ada. Bahwa metode mengajar bisa saja berubah, sesuai dengan tuntutan di ruang kelas. Tidaklah sama memperlakukan siswa umum dengan siswa berkebutuhan khusus.
Jenis huruf yang ditampilkan dalam buku ini juga sangat pas dan enak dilihat. Mata tak terlalu letih saat kita membaca buku ini sampai tuntas. Ditambah lagi dengan kulit muka yang enak dilihat, membuat buku ini cukup paripurna. Selamat membaca.
Data Buku
Judul buku: Oase Pendidikan di Indonesia. Kisah Inspiratif Para Pendidik
Penyusun: Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan
Editor dan penyelaras akhir: Bambang Wisudo dan Lisa Esti Puji Hartanti
Penerbit: Tanoto Foundation dan Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup)
Cetakan: I, 2014 Tebal: 260 halaman
ISBN (13) 978-979-013-204-7
ISBN (10) 979-013-204-2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H