Bagaimana jika penggunaan kendaraan pribadi seperti mobil atau sepeda motor dibatasi?
Pertanyaan seperti itu tentunya akan menuai kontroversi dari berbagai pihak. Jelas tentu saja. Dewasa ini, kendaraan pribadi sudah menjadi barang wajib punya bagi siapapun, salah satunya sepeda motor. Tentu saja hal utama itu semua karena kebutuhan, yang mengharuskan kita menggunakan sepeda motor karena jarak tempat tuju yang cukup jauh. Kebutuhan yang dimaksud seperti keperluan berangkat kerja, untuk berangkat sekolah ataupun kuliah, atau untuk sekedar membeli belanjaan di pasar, dan berbagai kebutuhan lainnya.
Sama halnya dengan mobil, seiring taraf kesejahteraan hidup masyarakat yang semakin meningkat, orang-orang dari kalangan ini tidak cukup puas hanya dengan sepeda motor sehingga dibeli lah mobil. Tujuan utama pembelian mobil baiklah dikatakan untuk kebutuhan kerja. Alasan kedua, kebanyakan sebagai prestige. Benar, untuk melihat bagaimana orang itu terlihat kaya ya punya mobil. Kalau di kampung begitulah pandangan warga sekitar. Jadi punya kendaraan mewah itu udah kayak standarisasi kekayaan, sebagai bentuk menunjukkan eksistensinya.
Tidak dipermasalahkan memang, toh memang dia kelebihan uang, secara mampu untuk membeli sebuah mobil pribadi. Di sebuah perumahan di kampung halaman saya, dia memang sangat mampu terlihat dari rumahnya yang bergedung tingkat dan di garasi mobilnya ada tiga mobil pribadi dengan berbeda merk. Tiga anggota keluarga di rumahnya, tiga juga mobilnya. Belum lagi dengan motornya. Itu baru satu rumah. Masih banyak rumah modelan begitu, dan bisa diperkirakan baru dalam satu perumahan sudah bisa dihitung ada berapa banyak kendaraan pribadi.Â
Ada juga di sebuah perumahan yang bukan perumahan elite sewaktu saya tinggal di kota. Kebetulan saat di kota, saya suka berjalan-jalan memasuki berbagai perumahan. Rasanya seperti keseruan tersendiri menjelajah ke tempat baru. Masing-masing rumah sedikitnya memiliki satu unit mobil. Namun, masalahnya rumah yang memiliki mobil ini tidak memiliki garasi. Tidak usahlah garasi, halaman pekarangan rumahnya saja tidak muat untuk sebuah mobil. Model perumahan yang ini teras rumahnya langsung bertemu dengan pagar rumahnya, hanya jalan setapak untuk lewat saja menjadi pemisahnya. Nah, masalahnya orang yang punya mobil seperti ini sering parkirnya di pinggir jalan dan masalahnya itu loh sangat menggangu sekali menurut saya. Mana jalan gang perumahan itu cuma muat satu mobil, jadi kalau misalnya mobilnya mau keluar area rumah kudu mundurin sampai keluar dari gang sempit itu secara bergantian dengan pemilik mobil tetangganya yang lain.
Tidak bisa dimungkiri bahwa hanya dalam sebuah perumahan saja sudah bisa dihitung berapa banyak jumlah kendaraan pribadinya. Alhasil, kita bisa lihat hingga saat ini kemacetan terjadi dimana-mana. Tingkat polusi udara di perkotaan bisa dikatakan sangat tidak sehat, jika kita membandingkan dengan pedesaan.
Saya sempat tinggal di kota besar dalam waktu satu setengah tahun. Saat di kota, saya merasa kasian dengan bumi ini. Setiap harinya, tidak ada hari tanpa macet. Yeah, walau bukan jenis kemacetan parah seperti di Ibukota, tapi tetap saja namanya juga macet. Jam-jam macet itu sekitar pukul 07.00 hingga pukul 08.00, setiap Senin-Sabtu. Karena jam orang saat memulai aktivitas. Lalu, kemacetan terjadi kembali pada pukul 11.30 - 13.00, jam saat ishoma (istirahat, sholat, makan). Karena yang saya lihat, beberapa orang memilih makan siang di luar. Satu hal yang saya tahu saat itu, ternyata orang kota jarang memasak. Mungkin bisa dikatakan karena pekerjaan para orang kota berbeda dengan orang di desa, khususnya bagian perkantoran, karena pekerjaan mereka lebih menyita banyak waktu sehingga untuk bisa mengurus diri sendiri aja udah syukur, begitu. Lanjut, kemacetan juga terjadi saat sore sekitar pukul 16.30-18.00 dimana jam orang sibuk pulang kerja, dan anak sekolahan yang pulang sore juga baru pulang. Saat malam kemacetan juga kembali terjadi, terutama saat malam minggu. Pokoknya kalau malam minggu saya memilih untuk rebahan di rumah sambil baca buku daripada harus bertarung dengan kemacetan. Belum lagi suara klakson yang saling sahut-sahutan bikin nambah pusing.
Yang ingin saya sampaikan, di kota padahal sudah tersedia fasilitas yang cukup memadai. Mungkin di kota saya transportasi umum itu belum maksimal. Hanya ada Bus seperti Trans Metro. Tidak ada transportasi umum seperti commuter line di kota saya. Selain Bus, alternatif transportasi umum lainnya yaitu angkot. Yang mana keamanannya sangat tidak terjamin. Sering terjadi perampokan dan juga kasus pelecehan. Membuat kita berpikir dua kali sebelum menaikinya, walau bisa dibilang angkutan umum lebih murah harganya. Namun, sejenis angkot juga tidak bisa memasuki pusat kota. Dan bus, tidak beroperasi hingga malam hari. Yang terkadang bagi orang yang memiliki pekerjaan yang mengharuskannya untuk lembur, harus memesan taxi dengan biaya yang sedikit lebih mahal. Yeah, walau kini sudah dipermudah dengan adanya layanan seperti Grab, Gojek, Maxim sedikit mempermudah bagi yang tidak membawa kendaraan pribadi ketika bepergian.Â
Katakanlah di Jabodetabek yang moda transportasi umumnya sudah cukup memadai. Terlihat dari adanya KRT, MRT, LRT, Bus Trans. Namun, apakah transportasi umum itu sudah benar-benar cukup memadai dan tergarap dengan baik? Kenapa yang notabenenya di kota besar dengan segala kemudahan tersedia, segelintir orang-orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi umum itu sendiri? Apakah transportasi umum itu sendiri sudah cukup efektif dan juga efisien? Alasan yang pertama seperti, kurangnya kedisiplinan dari transportasi umum. Niatnya mau berangkat kerja cepet ngelak macet, eh taunya salah satu transportasi yang ingin dinaiki malah mengalami keterlambatan sehingga orang-orang lebih memilih untuk menaiki kendaraan pribadi saja. (sebuah pengalaman pribadi dari seorang teman). Selain itu, alasan lainnya mungkin seperti aksesnya yang masih sulit dijangkau. Saya tidak pernah tinggal di Pulau Jawa apalagi Jabodetabek, jadi kondisi secara langsung di sananya gimana saya juga kurang tau. Hingga pada akhirnya kemacetan tiada henti terus terjadi.
Lantas bagaimana untuk mengurangi kemacetan?Â
Salah satunya tentu saja mengurangi hal yang bikin macet itu sendiri, ya motor dan mobil. Memang, jika dibandingkan dengan peringkat teratas negara termacet di dunia seperti Istanbul (Turki), Moskow (Rusia), dan Kyiv (Ukraina) berdasarkan TomTom Traffic Index, Indonesia bukan termasuk negara yang memiliki kota dengan kemacetan terparah. Walau tidak termasuk peringkat 10 teratas kemacetan terparah pun, kondisi yang saat ini bukan juga termasuk yang aman. Setidaknya, sebelum itu semua terjadi, sebelum kondisi benar-benar parah harus diupayakan juga dalam pengendalian situasi kemacetan saat ini misal dengan upaya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Namun, mengurangi batas pembelian ataupun penggunaan kendaraan pribadi memang tidak bisa sembarangan diterapkan. Tentunya dalam hal ini butuh riset yang lebih mendalam lagi. Dalam hal pembatasan, pastinya perlu diterapkan juga kebijakan dalam moda transportasi umumnya. Misal dengan membangun moda transportasi publik secara merata ke seluruh wilayah Indonesia, sekalipun itu di pelosok dengan segala kemudahan aksesnya dan tingkat pelayanan, keamanan, dan kenyamanannya juga terpenuhi.
Alih-alih membangun moda transportasi publik di pelosok negeri, jalanannya saja masih banyak yang bolong sampai hari ini. Walau ditambal berkali-kali, tetap saja sebulan kemudian meletus lagi.
Sejenak, coba kita bayangkan sebentar saja, jika saja transportasi umum minimal saja bus sudah benar-benar tergarap dengan baik hingga ke pelosok negeri sekalipun, akankah penggunaan/pembelian motor dan mobil akan berkurang? Betapa indahnya negeri ini, jika hal itu terjadi kita bisa dengan bebas menghirup udara yang selalu bersih, tidak pusing menghadapi kelangkaan BBM seperti yang selalu terjadi, tidak sering melihat kemacetan, namun itu semua dengan catatan keamanan dalam menggunakan transportasi umum juga terjamin dan jalanan di pelosok negeri ini juga diperbaiki dengan layak. Soalnya kalau di kampung saya, masih banyak jalanan aspal yang sampai hari ini asik ditambal terus gak lama ditambal langsung meletus. Kan gak mungkin juga mau kembangkan moda transportasi umum, tapi jalanan masih banyak yang ompong. Sama aja boong kalau gitu.Â
Lagian, mungkin ini karena negeri kita yang juga kaya. Seperti kaya dengan hasil minyak bumi. Jadi kayak enak terus pakenya, pas udah rusak bumi baru sibuk gerakan untuk krisis iklim. Mungkin, akan ada solusinya ini semua bagi Pemerintah. Namun, saya pikir mengurangi penggunaan kendaraan pribadi itu sendiri salah satu upaya kita untuk menyelamatkan bumi kita sendiri, lho. Karena percayalah, jika suatu hari kita tiba di masa krisis iklim yang semakin parah, satu-satunya kendaraan pribadi yang bisa kita gunakan hanyalah sepeda.Â
Mungkin sulit untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi, namun jika hanya untuk keperluan yang tidak begitu mendesak sebaiknya kita kurangi penggunaan kendaraan pribadi itu, misal untuk pergi ke tempat yang jaraknya masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama sepuluh menit sebaiknya pilihlah untuk berjalan kaki. Atau bisa digantikan dengan menggunakan sepeda. Hal sederhana itu setidaknya mampu untuk menyelamatkan bumi, orang lain dan diri sendiri. Kalau tidak dimulai dengan langkah kecil, kapan lagi kita akan memulainya? Apakah nunggu Bumi sudah benar-benar hancur lalu kemudian baru tersadar arti semua ini? Di saat semua sudah terlambat, sampai tidak ada lagi yang bisa diperbaiki ulang. Langkah sederhana, namun sangat bermanfaat bagi kita semua. Dan juga butuh kesadaran dari pihak yang masih euforia dalam prestige nya, semoga segera mengerti betapa pentingnya hal ini demi menjaga rumah kita sendiri, yaitu Bumi kita ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H