Mohon tunggu...
Sekar Langit
Sekar Langit Mohon Tunggu... -

Pecinta fiksi, tapi tak bisa menuliskannya. Di sini, hendak belajar dari teman-teman semua...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Membuka Rasa dan Cerita

13 April 2015   14:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:09 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tentang tulisanku terakhir kali di sini lebih dari setahun lalu, ada hal yang membuatku sedikit memperhatikan beberapa baris kalimat ini, “Ketika engkau mencintai, tak usah kau pendam dalam hati karena kodrat hati itu terbolak-balik. Titiplah orang yang kau cinta dalam doa, karena ia akan abadi di atas langit sana.”

Ya, tak ada yang abadi, karena kodrat hati itu terbolak-balik.

"Kak, Kak, Kak... Aku mungkin lagi jatuh hati" ceritaku suatu hari kepada seorang teman dekatku Suraip. Dia teman satu genk, partner keren kalau diajak kerja sama untuk hal-hal kebaikan dan berbagi. Dia, bulan depan akan menikah.

"Uweeee... Lelaki beruntung manakah yang jadi inceran?" Suraip membalas chatku dengan memasang emoticon love besar-besar.

"Apa beruntungnya? Sepertinya hanya aku saja yang jatuh hati, tidak dengan dia," aku membalas cepat. "Dan... Kali ini aku mau belajar mengejar hati, Kak. Isk, aku kok egois."

"Kata siapa? Egois kenapa? Ayolah, hidupkan memang untuk diupayakan. Dont ever regret," balasnya lagi. Dia seperti biasa, multitasking mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu. Berkutat dengan pajak, membalas pesan di whatsapp dan sambil berbincang dengan orang lain.

Aku tidak menyangka kalau cerita sekilasku tentang rasa membuatnya begitu antusias menyimak, antusias bertanya dan penasaran siapa orangnya. Ah, aku jadi ingat salah seorang teman akrabku, teman yang sudah saya anggap seperti adik sendiri, Snupy.

"Kirim doa buat kamu juga, Kak. Diminta saja kita harus mengantri, bahkan belum dapat giliran. Yang satu itu harus kamu minta, Kak. Kamu ingat obrolan kita pertama kali tentang "ini: di stasiun kereta Kuala Lumpur Sentral setahun lalu. Waktu itu, aku masih dengan yang di Palembang dan kamu hanya cerita sedikit demi sedikit saja tentang perasaan," aku terdiam menyimak dia mengetik laju sekali di atas papan touch screenya. Aku menunggu, juga kembali mengingat obrolan entah apa-apa di Kuala Lumpur tahun lalu. Obrolan yang ingin membuatku cepat-cepat berkelit dan berpindah ke bahasan lain.

"Seperti songong aku membicarakan ini denganmu, Kak. Tapi aku hanya berpikir  satu hal, kamu punya potensi kebaikan yang tak terbatas. Jika kamu dengan seseorang, sempurnalah semua. Doa dari adikmu yang tidak tahu diri inibanyak-banyak untukmu, Kak." dan membaca baris-baris terakhirnya betul-betul membuatku berinai air mata. Tak lagi hati yang berembun, tapi juga mata. Dan saya hanya menjawab sekilas saja.

"Heh... Snupy, kamu membuatku menangis..."

Sehari dua hari, aku diam dengan segala macam perasaan. Perasaan yang entah apa disebutnya, perasaan yang acap membuatku banyak mengingat-Nya. "Duhai, Robku, kalau ini baik untukku, maka berikanlah jalan kebaikan." berkali-kali, berulang kali rapal doa itu kuucap dalam hati.

Bersambung....



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun