Ada yang mulai berubah, di mana aku berusaha sekuat hati untuk mengubahnya. Tentang rasaku kepadamu, yang kupendam sedalam yang aku mampu. Singgah ke timur kota, yang geliat pembanguannya begitu kentara, tiba-tiba aku mendengar namamu disebut oleh orang yang baru aku kenali saat itu. Ia menyebut namamu, berkisah sedikit. Katanya, ia kerap mendengar namaku dari ceritamu. Perasaanku kebas. Bias antara kaget dan berduka. Kenapa di saat menepikan rasa apapun tentangmu, justru aku mendengar namamu? Ah, apa peduliku. Aku abai saja cerita teman baru itu.
Jeda berlalu. Sesekali, aku bertanya kabarmu dari telpon genggam yang aku punya. Sepi, tak berjawab. Sampai kemudian beberapa kali baru terjawab. Pernah juga mendengar ceritamu dari talian. Engkau kembali berkisah sedikit tentang hidupmu yang mulai jatuh bangun.
Ah, lucu. Kau masih sama. Tak berteman di dunia maya, bukan berarti kita bermusuhan selamanya. Â Bertegur sapa sesekali melalui talian. Lantas, apa rasaku kini kepadamu? Entah...
Bahwa aku memikirkanmu, ia itu dahulu. Aku percaya dan yakin adanya ketika segala rasa digantung harap hanya kepada-Nya, semua akan menjadi baik-baik saja. Rasaku menepi, keikhlasan tetap ku pelajari. Yah, hidup adalah sebuah pilihan. Seperti ketika aku harus memilih berkelana dengan rasa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H