Mohon tunggu...
Sekar Kanya
Sekar Kanya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pe(nulis)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengalaman sebagai Anak Minoritas di Sekolah Swasta

11 Juli 2013   22:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:41 4586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_254197" align="aligncenter" width="483" caption="Bisa tebak saya yang mana?"][/caption] Saya ingin berbagi pengalaman. Saya beragama Islam namun tumbuh dalan lingkungan pendidikan Katolik karena ayah saya beragama Katolik. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, saya bersekolah di sekolah swasta Katolik yang notabene berisi berbagai anak dengan latar belakang berbeda. Dari segi agama sampai status sosial. Keberagaman ini termasuk menonjol. Sesungguhnya, saya bahagia bisa mendapat teman beragam latar belakang. Dengan begitu, saya dapat berpikir lebih terbuka dan lebih luas dalam memandang lingkungan sekitar dan dunia. Selain itu, saya menjadi begitu menghargai setiap perbedaan dari orang lain sekecil apapun itu. Hal-hal ini mungkin tidak dapat dirasakan oleh semua anak.

Dibalik sisi positifnya itu, saya sering kali mengalami perasaan tersudut sebagai anak yang minoritas. Saya bukan berasal dari keluarga yang berlebih. Keluarga saya hidup pas-pasan. Berbanding terbalik dengan kondisi anak-anak sekolah swasta pada umumnya yang bermateri lebih. Hal ini sering kali menjadi beban karena saya sering mengalami penundaan bayar uang sekolah yang biasanya harus segera dilunasi sebelum hari pembagian rapot atau rapot saya akan disita oleh pihak sekolah. Kebetulan saya bersekolah di lingkungan sekolah Katolik yang sama sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Dulu saya pun sering merasa minder karena teman-teman saya mayoritas nonmuslim dan kebanyakan termasuk keturunan Tionghoa. Jujur saja, saat itu saya tidak punya banyak teman keturunan Tionghoa yang dekat dengan saya. Semua anak di sekolah kenal dengan saya namun sedikit yang bisa dekat. Gaya hidup sebagian besar dari mereka yang tidak cocok dengan saya, seperti memakai barang-barang ber-merk dan pamer gadget. Dalam satu kelas, anak yang beragama Islam bisa dihitung tidak lebih dari lima anak bahkan belum tentu satu kelas terdapat satu anak beragama Islam. Hal ini saya rasakan hingga lulus dari almamater sekolah selama 12 tahun.

Apabila seorang anak yang beragama lain bersekolah di sekolah negeri cenderung menjadi minoritas secara agama bahkan suku, saya pun demikian. Awalnya, saya cenderung sulit beradaptasi. Suatu hari saat saya baru duduk di kelas satu Sekolah Dasar, saya berdoa pagi dengan posisi tangan menengadah ke atas namun tak lama kemudian guru saya menyilangkan jari tangan saya agar posisi tangannya sama dengan anak lainnya. Saya merasa tidak nyaman dengan hal itu, semenjak kejadian itu, ada rasa untuk menonjolkan apa yang ada di dalam diri saya bahwa saya ini memang minoritas namun bukan berarti harus dibedakan.

Pertama kali berpuasa secara normal saat saya duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Saat itu, saya begitu bangga. Bagaimana tidak, semua kantin di sekolah buka seperti biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah tidak mengistimewakan murid yang berpuasa. Puasa ya puasa aja. Puasa normal saya saat itu full sebulan dan tetap masuk sekolah disaat sekolah lain libur sebulan. Saya mulai merasa minoritas itu justru kebanggaan. Penghargaan terbesar saya saat itu adalah sebuah kelapa utuh sebagai hadiah dari salah satu teman saya yang bukan beragama Islam.

“Ini titipan dari Mama. Kami bangga padamu yang sanggup menjalani puasa di sekolah.”

Sejak itulah saya semakin memperjuangkan keminoritasan saya. Kondisi anak-anak lain sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas tidak berubah namun sayalah yang berubah. Saat duduk di Sekolah Menengah Pertama, saya mulai berpengaruh di lingkungan sekolah. Saya menjadi kepercayaan guru-guru. Batas ekstrakulikuler yang seharusnya bisa diikuti hanya dua namun saya mengikuti lima ekstrakulikuler berbeda. Saya menjadi pelopor siswi yang ikut ekstrakulikuler futsal, bermain bersama siswa lain dalam satu lapangan. Saya tidak dibedakan. Saat saya duduk di Sekolah Menengah Atas, saya memperjuangkan berdirinya ekstrakulikuler futsal putri yang sebelumnya masih dipandang aneh dan tidak mungkin didirikan. Saya menghadap Pembina OSIS kemudian mengumpulkan tandatangan para siswi yang mendukung futsal putri hingga akhirnya pendirian ekstrakulikuler futsal putri diresmikan dan berjalan hingga saat ini. Sejak duduk di kelas satu Sekolah Menengah Atas hingga saat ini, saya mempunyai lima sahabat dekat yang semuanya laki-laki berketurunan Tionghoa dengan latar belakang kemampuan materi yang berbeda pula.

Kondisi sekolah swasta yang terlihat eksklusif, membuat saya berpikir bahwa sekolah swasta ini harus dipandang oleh dunia luar, bukan hanya jago kandang. Masih sebagai minoritas, saya mencoba sesuatu yang berbeda di luar sekolah yang bisa membawa nama sekolah. Saya bergabung dalam Peer Counselor (PC) Kota Bogor dimana perwakilan dari setiap sekolah di Kota Bogor bergabung untuk menjadi konselor sebaya di sekolahnya masing-masing. Dari sekian banyak sekolah hanya ada satu sekolah swasta berbasis Katolik yang ikut serta: sekolah saya dengan saya sebagai wakilnya yang paling bertahan dan tetap membawa nama sekolah. Sejak itu, sekolah saya semakin dikenal dunia luar. Pengalaman besar kemudian saya alami saat duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Saya diam-diam ikut serta dalam kompetisi karya tulis yang diselenggarakan oleh Kompas. Tidak ada yang tahu bahkan orangtua saya. Tak disangka, ternyata saya menjadi finalis lima besar. Nama lengkap saya dan sekolah saya muncul di Koran nasional, Kompas. Saat itu seolah terjadi revolusi pada anak-anak yang minoritas. Sekolah jadi lebih mendukung lomba yang diselenggarakan oleh penyelenggara dari luar sekolah.

Saya memang minoritas di sekolah. Saya tetap beragama Islam. Saya tidak sekaya teman-teman saya lainnya. Saya bukan keturunan Tionghoa. Saya cinta perbedaan Saya hanya mencintai diri saya apa adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun