Rabu di siang hari.
"Terima kasih, Pak. Bapak baik sekali mau mengantarkan surat ini."
Seorang anak bergegas masuk ke dalam rumah setelah mengambil surat dari Pak Pos yang mengantarkan surat.
Minggu berikutnya pada hari yang sama, anak itu menunggu Pak Pos datang. Di teras rumah ditemani alunan musik.
"Pooossssss!"
Pak Pos dengan lantang berteriak di depan rumah anak itu. Kulitnya terbakar teriknya rabu siang. Sambil mengusap peluhnya, beliau menunggu ada yang mengambil surat. Tak lama ketika beliau sedang bersandar di pagar rumah anak itu, anak itu pun datang.
"Terima kasih, Pak Pos. Bapak pasti orang hebat ya! Bapak mengantarkan lagi surat ke rumah saya."
Sebelum Pak Pos bisa membalas ucapan anak itu, anak itu sudah bergegas pergi masuk ke dalam rumah. Ada rasa heran dibenak Pak Pos. Mengapa anak itu selalu mendapat surat di hari rabu. Namun tak digubris. "Ah cuma perasaan." ucapnya dalam hati.
Minggu berikutnya dihari yang sama, dengan perasaan tak sabar yang meletup, anak itu duduk manis menunggu Pak Pos datang.
"Pooossssss!"
Kemudian anak itu bergegas lari menghampiri Pak Pos.
"Ini untuk Bapak. Bapak yang baik hati selalu mengantarkan surat ke rumah saya."
Setelah yakin suratnya diterima Pak Pos, anak itu bergegas lari. Pak Pos heran. Ya, baru kali ini beliau mendapat surat dari anak yang biasa beliau antarkan suratnya. Rasa heran sedikit tersapu dengan haru yang perlahan menyapa.
Bapak Pos Yang Terhormat,
Nama saya Anya. Umur saya 10 tahun. Saya senang sekali ketika Bapak mengantarkan surat saya. Bapak pasti orang hebat yang bisa mengalahkan panasnya matahari. Saya bangga dengan Bapak. Bapak baik sekali. Saya mau Bapak bisa merasakan senang yang sama seperti ketika saya menerima surat. Itu alasan saya menulis surat untuk Bapak. Sayangnya, saya tidak bisa melihat wajah Bapak karena saya buta sejak balita.
Rintikan air mata dibiarkan mengalir. Pak Pos tak tahan dengan derasnya. Kini beliau tahu mengapa anak itu selalu bergegas pergi masuk ke rumah. Surat setiap rabu yang didapat oleh anak itu merupakan surat dari ayah si anak yang bekerja diluar kota. Surat yang selalu dibacakan oleh ibunya. Dan anak itu membalas setiap surat dengan tulisannya sendiri. Memang tak serapi orang yang mampu melihat dengan normal namun isinya tertuang rapi langsung dari dalam hati terdalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H