[caption id="attachment_364938" align="aligncenter" width="624" caption="Ibu Berkarir (Shutterstock)"][/caption]
Sebenarnya apa sih yang ada dibenak para Ibu bekerja yang melihat seorang Ibu rumah tangga /IRT? Dan begitupula sebaliknya, IRT yang melihat seorang wanita karir/Ibu bekerja? Pasti mereka memiliki jawaban yang sama, iri. Lucu jika anda mengetahui bahwa antara wanita karir dan ibu rumah tangga memiliki kesamaan perasaan, dan itu memang sangat manusiawi. Mengapa saya bisa bilang begitu? karena berdasarkan fakta dari orang-orang yang ada disekitar saya, dan dari fenomena yang saya lihat dan amati selama ini. Mari kita telaah lebih lanjut.
Seorang Ibu rumah tangga tentu merasa iri melihat wanita karir yang bisa mempunyai penghasilan sendiri, berdiri dengan kakinya sendiri, mempertahankan eksistensinya sebagai manusia melalui pekerjaannya, selalu berpenampilan rapi dan dikelilingi orang-orang necis. Sementara dirinya hanya berkutat dirumah, mengurus anak dan suami setiap hari dengan jam kerja tak berbatas. Bosan dan jenuh sudah pasti akan mulai merasuk sehingga niat ikhlas untuk mengabdi kepada keluarga mulai terkikis apalagi membandingkan diri dengan teman-teman yang sudah sukses dan senantiasa terlihat menarik sementara dirinya setiap hari di rumah hanya mengenakan daster dengan pekerjaan rumah tangga yang sangat jauh dari kata keren. Aahhh.. lalu muncullah prasangka negatif terhadap suami yang pulang terlambat dari kantor, cikal bakal keributan dalam rumah tangga (ini pula yang kerap disampaikan rekan kerja saya dulu sewaktu saya memutuskan untuk resign).
Maka dicarilah pembenaran atas keputusan untuk menjadi ibu rumah tangga, guna membesarkan hati. Mulai dari pahala yang diterima akan jauh lebih besar mengurus keluarga selama suami masih cukup untuk menafkahi (toh.. merasa cukup atau tidaknya rezeki yang Tuhan berikan sebenarnya berdasarkan sebesar apa rasa syukur kita, kalau merasa kurang ya emang kurang terus. Tidak ada yang bisa merasa cukup, itulah manusia). Keuntungan lainnya dan yang paling utama yaitu bisa memantau tumbuh kembang anak dengan lebih maksimal.
Sementara wanita karir (ibu bekerja) apa yang membuatnya iri? Mereka merasa iri dengan ibu rumah tangga yang setiap harinya bisa mengurus keluarga, merawat anak-anaknya dengan baik, dengan tangan mereka sendiri. Selalu tersenyum untuk keluarga tanpa tumpukan beban stress pekerjaan dikantor yang seakan tak ada habis-habisnya.
Maka dicarilah pembenaran atas keputusannya untuk bekerja dengan berbagai alasan, mulai dari biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal, sembako mahal, apa-apa mahal dll. Mulai dari mempunyai cita-cita yang besar, mimpi-mimpi besar dan kenyamanan hidup. Tapi apa yang dikorbankan? Waktu bersama keluarga. Teman saya yang seorang wanita karir dan baru menikah sempat berujar "kayaknya saya belum siap untuk punya anak sekarang, suami sendiri saja masih kurang terurus, apalagi punya anak nanti?" Aahh...saya sendiri miris mendengarnya mengingat saya hampir dua tahun menikah dan belum dikaruniai momongan.
Sepertinya yang menjadi masalah disini (termasuk hasil pergulatan batin saya sendiri) hanyalah masalah eksistensi dan penghasilan. Bagaimana seorang manusia butuh untuk selalu membuktikan diri dan bagaimana seorang manusia akan selalu merasa kekurangan dengan apa yang sudah dimiliki. Sederhana sekali sebenarnya.
Tidak setiap orang memiliki kemampuan dan keberanian untuk berkarya serta dikaruniai kreatifitas untuk bisa menjadikan sesuatu berdaya nilai jual (guna memenuhi eksistensi dan penghasilan tadi) maka bekerja dikantor menjadi jalan termudah bagi seorang wanita untuk diakui dimasyarakat. Â Lantas bagaimana dengan seorang ibu rumah tangga? Ketidakmampuan itu hanya akan menjadikan seorang ibu rumah tangga apatis sehingga bisa menciptakan seorang anak yang jauh dari kata cerdas bahkan pembangkang, seorang 'emak-emak rumpi' yang sibuk arisan dan bergosip (pembuktian diri dengan cara yang keliru, padahal menjadikan anak cerdas itu termasuk salah satu cara agar kita bisa eksis dan merasa berarti). Dalam hal ini saya katakan seorang ibu bekerja akan jauh lebih baik, dengan catatan mereka mampu membagi sedikit waktu yang mereka miliki secara berkualitas sehingga menghasilkan anak-anak yang cerdas. (Saya pernah menjadi guru SD, fenomena ini saya lihat dan amati sendiri).
Mengapa saya bisa bilang wanita bekerja bisa lebih berpotensi menjadikan anak cerdas? Karena jika mereka seorang ibu yang peduli (hanya saja terhambat masalah eksistensi di atas) maka mereka akan mencari cara bagaimana agar anak mereka tumbuh tanpa merasa kekurangan dalam hal perhatian dengan memaksimalkan pertemuan yang sesaat dengan berkualitas. Ibu yang seperti ini bisa diacungi jempol, yang menurut saya sangat jarang terjadi. (Kenyataan yang sebenarnya kebanyakan ibu bekerja dengan pekerjaan yang menuntut sambil mengurus rumah tangga tidak akan maksimal hasilnya, entah pekerjaannya yang terbengkalai atau sebaliknya. Fenomena ini saya lihat dan amati sendiri karena saya juga pernah bekerja di bank).
Bagaimana dengan ibu rumah tangga? Kebersamaan dengan seorang anak hanya akan berlangsung sebentar (begitu mereka sudah mengenal kata 'teman', mereka pun mulai sibuk sendiri), jadi untuk menciptakan ikatan yang kuat antara ibu dan anak pun akan berlangsung singkat, ketika mereka masih sangat bergantung kepada anda. Alangkah sayangnya jika moment yang sesaat itu sampai terlewatkan. Inilah yang tidak dimiliki oleh wanita karir (ibu bekerja). Mengamati tumbuh kembang dan mengajarkan sibuah hati dengan tangan mereka sendiri, membentuk karakter dan watak yang lebih maksimal. Saya salut terhadap para ibu yang mau berkorban merelakan ijazah mereka demi menjadi seorang ibu dan istri yang sempurna bagi keluarganya. Mengapa saya bilang berkorban? Karena memang tidak gampang melepas seusatu yang sudah menjadi bagian dari hidup kita setelah sekian lama. Butuh penyesuaian, tapi yakinlah mereka kelak akan membentuk anak-anak yang jauh lebih cerdas, jauh lebih hebat karena mereka pasti tidak akan membuat pengorbanan mereka menjadi sia-sia. Mereka pasti malu jika sampai gagal mendidik anak setelah apa yang mereka korbankan.
Karena hidup adalah sebuah pilihan, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi alangkah baiknya jika seorang ibu tahu apa yang menjadi prioritas dalam hidupnya sehingga mampu memilih dengan bijak. Oleh karena itu, seorang ibu dituntut untuk  cerdas terlepas dia bekerja atau tidak karena seorang ibulah yang akan menjadi madrasah pertama kali bagi anak-anak mereka. Beruntunglah para wanita yang dapat menemukan passion mereka sedini mungkin sehingga bisa mengantisipasi langkah-langkah yang akan mereka ambil kelak dalam berumah tangga. Mungkin dengan mencari pekerjaan kantor yang lebih fleksibel, membuka usaha atau mencari peluang lain yang lebih bisa memaksimalkan waktu bersama keluarga?