Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Book

Bersuara dengan Menulis

26 Juli 2023   13:05 Diperbarui: 26 Juli 2023   13:07 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu membaca judul buku ini, pertanyaan pertama yang muncul adalah, bagaimana caranya? Kita tahu, melawan sistem yang sudah berjalan ribuan tahun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sama seperti pelacuran, perbudakan adalah isu purba. Hanya bentuknya yang berubah seiring zaman. Kalau dulu perbudakan banyak dipraktikkan secara individual (selain kerajaan tentunya), sekarang secara tidak sadar, negaralah yang melakukannya, melalui pemikiran pemimpinnya.

Sebenarnya sama seperti aktivis lainnya, bahkan sama seperti Pramoedya, Nawal melawan semua itu dengan jalan menulis. Akan tetapi, mengapa menulis? Mengapa tidak bersuara langsung saja dengan pita di tenggorokan? Oh, tentu saja, bicara secara lisan pun ia lakukan di banyak forum nasional maupun internasional. Hanya saja, ketajaman pena lebih terasa melalui tulisan daripada lisan. Lagi pula, menulis bisa sangat menyenangkan jika kita menikmati tiap prosesnya.

"Aku menulis untuk mengubah diriku dan dunia menjadi lebih baik." (halaman 14)

Dan, Nawal bercerita dengan ringan namun tulisannya memiliki ketajaman luar biasa. Dari penuturannya perihal sebuah perjalanan ke luar Mesir, ia seperti hendak menohok leher semua pria di dunia yang masih mengagungkan kelaminnya sebagai jaminan kekuasaan (yang sayangnya hanya bisa sebatas dalam rumah). Esai Perjalanan Pertama Meninggalkan Tanah Air terasa seperti naskah cerpen. Wajar, sebab Nawal pun menulis fiksi, jadi kita bisa menikmati ayunan diksi yang menarik.

Perempuan bukan tentang gaun atau keinginan untuk segera bersanding dengan mempelai laki-laki. Perempuanjuga laki-lakiadalah tentang kebebasan berkreasi atau mengutarakan pendapat. Atau bahkan bepergian ke tempat yang jauh, yang mungkin tampak mustahil dijangkau bagi orang lainhanya karena ia seorang perempuan. Nawal sendiri bukan seorang perempuan yang terlalu mendamba pernikahan. Ia bahkan merelakan pernikahan pertamanya berakhir demi karier menulis.

Ketika kaki tidak lagi menginjak Tanah Air, ada sepotong diri kita tertinggal di sana. Ada nyeri aneh dalam diri yang muncul, meminta perhatian sejenak, sekadar menjaga ingatan kita akan rumah. Namun, ingatan perempuan kerap dibatasi. Ingatan dan pandangannya. Harfiah dan konotatif.

Perempuan sejak lahir seolah-olah tidak memiliki hak selain 'menundukkan pandangannya'. Tidak heran jika muncul aturan seperti itu. Perempuan yang benar-benar memaknai otaknya akan dengan mudahnya mengalahkan laki-laki, apalagi jika para laki-laki ini dicekoki slogan 'tidak boleh kalah dari perempuan'. Maka, tiap aturan yang lahir selalu membatasi gerak perempuan. Sebab, dengan pandangan yang lebih luas, yang lebih menyentuh langit, pikiran perempuan (tentu saja beserta hatinya) akan sanggup menghadapi tantangan sebesar dan seberat apa pun.

Perjalanan itu membuat Nawal menjadi pengamat. Ia memperhatikan sekeliling, terheran-heran, lalu membuat kesimpulan. Salah satunya adalah perkara kebijaksanaan pada diri perempuan yang ternyata bukan yang paling diinginkan. Kunjungan ke Louvre membuat Nawal kembali mengingat kehidupan masa kanak-kanak, tentu beserta momen-momen bersama orang tuanya.

Perjalanan, bagi siapa pun, pasti membuka kotak Pandora yang lama terkubur. Bisa jadi, ini terpengaruh kepercayaan diri yang meningkat, bisa juga memang diri kita membiarkan pengetahuan baru terangkat dari memori terdalam. Apa pun itu, tiap orang memiliki perjalanannya sendiri, harfiah maupun konotatif. Dan, dalam perjalanan itu, tetap kita yang memiliki kendali atas segalanya.

Perempuan pun sering dikaitkan dengan pembangkangan. Padahal, mereka hanya sedang memanfaatkan kreativitas yang ada. Ada catatan panjang dari Nawal perihal topik ini melalui esai Wanita, Kreativitas, dan Pembangkangan.

"Kreativitas melahirkan pengetahuan baru, kesadaran baru. Ketika wanita memberontak melawan kebodohan, ketundukan, dan ketidakadilan, mereka menanamkan ketakutan dan kecemasan pada orang-orang yang memerintah mereka." (halaman 97)

Sebenarnya, dunia mengakui bahwa perempuan memiliki kekuatan yang tak terduga. Ini bukan soal fisik semata, tetapi di ranah pemikiran dan strategi. Karena itulah, sebagian lainnya, yang tergabung dalam kelompok-kelompok senapas, membuat berbagai aturan untuk membatasilalu menundukkanpara perempuan.

Mereka berpendapat bahwa perempuan kerap berasosiasi dengan iblis, mengeksplorasi diri demi mendapat pengetahuan lebih banyak lagi sehingga bisa berkreasi lebih banyak pula. Dengan adanya aturan-aturan itu, juga bantuan dari otoritas agama, terciptalah kesadaran palsu pada diri perempuan. Sampai nanti di titik seorang perempuan rela mengorbankan dirinya untuk laki-laki. Saat itulah kita bisa mengatakan seorang perempuan telah sempurna membenci dirinya sendiri. Tentu itu dalam kesadaran palsu yang bisa saja membuat dirinya malah menikmati kondisi dikendalikan orang lain.

Padahal, dengan berkembangnya kreativitas (tidak hanya pada perempuan, tetapi juga laki-laki) dunia dapat mengatur kembali harmoninya sehingga tercipta kondisi yang adil, tenang, dan damai. Bagaimanapun, perang fisik maupun ideologi hanya akan menghasilkan kehancuran yang lebih parah. Lantas, hidup macam apa yang diharapkan?

"Menulis adalah senjata dalam memperjuangkan keadilan, demokrasi sejati, dan perdamaian yang dibangun di atas hak asasi manusia dan bukan kekerasan." (halaman 109)

Ada betulnya jika dikatakan mata pena lebih tajam dibanding senjata apa pun. Seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi, kita bisa melakukan perlawanan tanpa mengangkat senjata.

Esai-esai lain yang menarik untuk disimak adalah Perempuan dan Kaum Miskin: Tantangan Keadilan Global; Tuhan di Atas, Suami di Bawah; Perempuan Muslimah di Pasar; Bodour; serta Tiga Tabu Universal: Seks, Agama, dan Politik. Dalam Bodour, mungkin Anda akan terkejut setelah membaca hasil pemikiran Nawal perihal pemotongan alat genital, baik pada perempuan maupun laki-laki.

Dunia di Mata Nawal El Saadawi

Lack of justicejauh dari adil. Mungkin itu sedikit kesimpulan yang bisa ditangkap dari 17 esai yang memuat pemikiran Nawal perihal dunia. Jelas, sebab ini kumpulan cerita tentang perbudakan: dari berbagai sudut pandang, dengan macam-macam bentuk. Namun, intinya sama, yaitu penguasaan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya.

Nawal banyak memakai pengalamannya sendiri sebagai materi tulisan. Wajar saja. Sebab, ketidaknyamanan itu memang harus diakhiri. Tidak ada perempuan (atau mungkin laki-laki) yang bersedia direduksi sebagian tubuhnya demi sesuatu yang katanya perintah Tuhan. Menurut salah satu teman yang berprofesi sebagai dokter, sesuatu yang diciptakan (atau bahasa sainsnya 'muncul sebagai bagian dari tubuh makhluk hidup') pasti ada fungsinya. Praktik pemotongan alat genital hanya upaya untuk mengontrol tingkah laku seseorang. Apa namanya jika bukan perbudakan?

Tidak hanya soal agama, Nawal pun banyak bicara soal politik, budaya, dan seks. Pembaca harus bersiap diri menerima apa yang disajikan Nawal di sini. Bukan karena dianggap tabu, tetapi karena tema-tema itu memang menjadi pemicu seseorang mulai mengubah sudut pandangnya terhadap banyak hal.

Ini bagus. Peta dunia memang perlu perubahan, bukan hanya pergantian pemain serta pergeseran kepentingan para pelakon utama. Pemain figuran pun tetap pemain. Jumlahnya banyak. Dan, mereka sebenarnya mampu menggulingkan panggung.

Meskipun sarat akan ketegangan, Nawal tidak sampai membuat pembaca kebingungan. Ia penulis yang baik. Premis-premis disampaikan dengan begitu jelas melalui diksi yang tepat. Pembaca akan paham pesannya pada pembacaan pertama. Bahkan, mungkin juga pembaca akan menangkap betapa besar energi Nawal, dan betapa tebalnya emosi perempuan ini saat menuliskan idenya.

"Kesenangan menulis bagiku lebih dari kesenangan seksual, lebih dari kesenangan apa pun. Menulis sangat penting untuk hidupku, seperti bernapas." (halaman 13)

Terlepas dari apa pun manfaat pribadi yang ia dapatkan dari menulis, dunia butuh banyak sosok seperti Nawal El Saadawi. Kesadaran palsu yang terbangun ribuan tahun peradaban manusia hanya bisa dihancurkan lewat serangan besar dan masif. Tentunya serangan itu butuh banyak pasukan serta komandan yang cerdas. Dan, komandan pasukan tidak harus laki-laki.

Lewat buku ini pula, Nawal ingin menegaskan bahwa perempuan tidak boleh hanya berakhir di dapur, sumur, dan kasur. Memang, secara fisik, laki-laki dan perempuan itu berbeda. Untuk urusan kekuatan fisik pun berbeda, meskipun ada sebagian perempuan yang lebih kuat daripada laki-laki. Akan tetapi, dalam kehidupan, dan dalam meraih cita-cita, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Inilah yang dimaksud keadilan dan kesetaraan.

Penguasaan dan hak kepemilikan adalah vicious partnerpasangan kejam. Keduanya akan melahirkan sebuah ikatan. Dan, ikatan itulah yang memicu emosi negatif, yang membuat seseorang 'ingin lebih' dalam mengontrol orang lain. Padahal, jiwa-jiwa terlahir dalam keadaan bebas. Lantas, mengapa harus menindas?

Dunia sedang tidak baik-baik saja akibat sistem patriarki kapitalis, juga para pelakon yang masih betah di atas panggung. Dunia butuh suara yang mampu menghentikan tingkah beringas para pelakon itu. Dan, siapa pun bisa bersuara dengan menulis. Sekian.

SEKAR MAYANG

Editor dan pengulas buku

Hidup di Bali

---

Judul buku : Melawan Sistem Perbudakan (Perempuan dan Kemanusiaan dalam Peradaban Dunia)

Penulis : Nawal El Saadawi

Penerbit : IRCiSoD

Cetak : Pertama, April 2022

Tebal : 230 halaman

ISBN : 978-623-6166-92-5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun