Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Coffee Theory

31 Maret 2021   18:17 Diperbarui: 31 Maret 2021   18:24 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu cangkir kopi dengan gula aren yang ia pesan sudah kuberikan. Ia tersenyum padaku sebelum aku kembali ke meja barista. Lalu lintas di pikiranku mendadak kacau hanya karena mataku tak sengaja kembali pada perempuan berambut sebahu yang duduk di dekat jendela itu. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba saja pikiranku sekusut ini, seperti mendung yang pelan-pelan tampak dari kaca jendela.

Demi Tuhan, aku tidak ingin memandang perempuan itu lebih lama. Namun, rupanya hatiku tak bisa mencerna kode yang amat sederhana dari otakku sendiri. Hujan perlahan turun. Tempiasnya membuat kaca di depan perempuan itu basah, mengembun, mengaburkan kelengangan jalan dan segala hal yang ada di luar. 

"Satu Arabika Gayo. Cowok di dekat pintu." Mario berbisik. Ia rekanku di kafe ini. Meski umurnya lebih muda dariku, kelihaian Mario dalam meracik kopi tak perlu diragukan.

Tanganku membuka satu bungkus arabika Gayo dan menghidu aromanya beberapa detik seperti yang selalu aku lakukan sebelum meracik kopi. Mengakrabi setiap butir bijinya. Dan, sumpah, saat kepalaku mendongak untuk menuju mesin kopi, pandanganku kembali tertuju pada perempuan itu. Pada caranya memandang hujan di luar, pada detik-detik ketika ia perlahan melumat keik tiramisu, pada saat ujung jarinya menyentuh cangkir dan bibirnya lembut menghirup kopi. Seolah-olah semua yang ia lakukan memberi satu nuansa aneh dalam diriku. Aku sendiri masih merabanya. Semacam memantik diriku pada sesuatu sekaligus menenggelamkannya pada dasar paling jauh. 

Untunglah Mario datang. Tangannya cepat menyambar satu cangkir arabika Gayo dari meja dan begitu saja mengalihkan pandangan serta pikiranku. Bukan Mario jika tak membuat kekacauan, bahkan menjelang kafe ini tutup. Setelah memberikan kopi pada pria muda yang duduk di dekat pintu, langkahnya mengarah pada perempuan di dekat jendela. Sialan! Mario membuat perempuan itu tersenyum, menerbitkan setitik rasa tidak rela yang aneh menjalariku. Entah bagaimana ekspresiku ketika Mario kembali dengan senyuman yang sungguh aneh.

"Ia menunggumu. Kubilang padanya, kamu ingin berkenalan," Mario terkekeh.

"Sialan!"

"Mataku tidak buta, Jos. Kamu pikir aku tak tahu apa yang kamu lakukan sedari tadi?"

"Sok tahu. Itu penyakitmu dari dulu."

Mario mengangkat bahunya. Ia kembali terkekeh. Aku pura-pura menuju toilet demi menghindari tatapan matanya yang terasa sekali menodong sebuah pengakuan dariku. 

Aku menghela napas panjang. Satu kali. Dua kali. Namun, detak jantungku malah menggila. Ah, sudahlah. Kalau bukan sekarang, mungkin aku tidak akan pernah dapat kesempatan lagi.

"Hai! Boleh ikut duduk?" tanyaku.

Ia mendongak dan tersenyum. "Silakan," sahutnya.

"Aku Joseph," kataku sambil menyodorkan tangan.

"Diandra," balasnya, sekaligus menyambut tanganku. "Sastroraharjo. Diandra Sastroraharjo."

Jabat tanganku dengannya mungkin hanya beberapa detik, tetapi rasanya aku sudah mengenalnya lama sekali.

"Tumben hari ini kamu tidak membawa laptop," tanyaku, yang sedetik kemudian amat kusesali telah kulontarkan. Seharusnya aku bertanya soal dirinya. Soal pekerjaannya, soal warna favoritnya, soal buku kesukaannya, atau soal kopinya yang selalu sama.

Wajah Diandra bersemu. Ia menunduk, memainkan cangkir kopi dengan gerakan pelan.

"Jadi, aku ini identik dengan laptop, ya?"

Mungkin giliran wajahku yang seperti kepiting rebus. Sungguh, aku menyesal sudah menyebut soal laptop.

"Tidak juga," sahutku. "Kamu juga identik dengan kopi krim gula aren. Dan, hanya mau kopi dari merek tertentu."

Diandra tertawa.

"Iya, itu karena lambungku rewel. Hanya bisa menerima satu merek, tidak mau dengan yang lain."

Mario muncul dari belakang. Kulihat ia membalik tanda 'Buka' menjadi 'Tutup' di pintu. Kulihat jam dinding, ini bahkan belum pukul sembilan malam, masih kurang lima menit. Lalu, terlintas sesuatu di pikiranku.

"Diandra, maukah kamu menungguku beberapa menit sementara aku membereskan konter?"

"Untuk apa?"

Aku menghela napas lagi. Mencoba meredam detak jantung yang makin sialan saja iramanya. "Boleh aku temani kamu pulang?" tanyaku.

Tiba-tiba Mario sudah berada di samping meja, memberikan cengiran super menjengkelkan seperti biasanya. Ia menepuk bahuku sambil berkata, "Biar aku yang beres-beres, Jos. Tidak banyak kekacauan malam ini, jadi, ya, tidak akan makan waktu lama untuk beberes. And, you! Please, do something you have to do, my friend."

Begitu saja, lalu Mario bergerak lagi ke balik konter. Kadang aku ingin sekali membungkam mulutnya dengan kantong-kantong bekas bungkus kopi. Akan tetapi, di mana lagi aku bisa menemukan teman sepengertian Mario? Ia memang agak menjengkelkan---mungkin karena ia tidak pernah pura-pura bersikap baik---tetapi rekan kerjaku itu selalu jujur.

"Ehm, ya, rezeki tak boleh ditolak," kataku kepada Diandra. "Tunggu sebentar."

Diandra mengangguk. Kulihat sekilas sebelum aku bangkit dari kursi, ia kembali menyesap sisa kopinya.

***  

Ini adalah malam kesekian yang kami lewati berdua. Temaram lampu jalan mengiringi langkah-langkah kakiku dan Diandra. Gerimis turun tipis, persis ketika untuk pertama kali aku mengantar Diandra pulang. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasakan sekali bagaimana malam memihakku. Memihak kesendirianku.

"Kenapa?" tanya Diandra setelah kami sampai di kamar kosku. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa.  "Kamu memikirkan sesuatu?"

Aku menggeleng, memberinya jawaban. Ia lantas berjalan ke meja kecil di sudut kamar. Melihat persediaan beberapa jenis kopi kesukaanku. Giliranku merebah di sofa, menunggunya membuatkan kopi untukku. 

Tangan Diandra tak kalah mahir meracik kopi. Aku suka dengan caranya mengambil serbuk kopi dari kemasan. Suka dengan caranya menghirup aroma serbuk itu sampai nyaris menyentuh ujung hidungnya sambil memejamkan mata. Seolah-olah itu adalah ritual yang tak boleh dilewatkan. Seolah-olah dengan melewatkannya,  akan menghancurkan cita rasa racikan kopi tersebut.

Namun, Diandra tak membuatkan kopi untukku. Yang ada di genggamannya adalah satu kantong kecil biji kopi yang kusimpan di lemariku. Aku merasakan tangannya mengelus lututku. Lembut. Sangat lembut.

"Arabika Flores," ucapnya lirih.

Aku bangkit dan duduk di sisinya. "Bajawa," sambungku. "Perkebunan paling tinggi di Bajawa."

Aku tak tahu apakah Diandra paham ucapanku.

"Artinya, kopi dengan cita rasa paling enak," ia menambahkan. Membuatku semakin yakin bahwa ia tak hanya pintar soal teori mengolah kopi, tetapi juga mengerti asal usulnya. 

"Bersyukurlah, Jos, perutmu cocok dengan jenis  kopi apa pun. Tak sepertiku," Diandra masih menciumi aroma kopi itu pada satu tangan sementara tangan yang lain kembali mengelus lututku. Menepuknya beberapa kali.

"Tidak untuk yang satu itu." ucapku nyaris menggumam. Kukira, Diandra tak mendengar, tetapi aku salah. Matanya merongrong sebuah penjelasan dariku. "Hiruplah kopi itu lama-lama."

Wajah Diandra terlihat bingung.   

"Sebab, dengan begitu, rinduku sedikit terobati."

Seketika, Diandra menghunjamku dengan tatapannya. Tatapan yang haus akan penjelasan.

"Di, kamu pikir dari mana aku mewarisi kulitku yang nyaris perak dan begitu kasar ini?" Aku mengamati wajah Diandra. Menyusuri setiap lekuk yang tampak di sana. Entah mengapa, aku selalu merasakan segalanya lembut dan jernih.

"Dari orang Eropa keparat."

Diandra masih terdiam. Berusaha menyusun puing-puing kalimat yang mulai aku susun. Kepadanya kuceritakan bahwa ibuku menikah dengan seorang turis dari Eropa yang bahkan namanya pun aku lupa. Ibuku salah seorang petani kopi di Flores. Urat-urat tangannya telah berkawan dengan biji-biji Bajawa. Aroma kopi Bajawa mengaliri seluruh relung-relung kehidupannya. Bahkan, dari Bajawa-lah ia mengenal seseorang yang tak lain adalah ayah kandungku. Orang itu membawa Ibu pergi dari kehidupanku hingga aku nyaris tak punya kenangan bersamanya. Satu-satunya yang aku ingat, Ibu selalu memperlakukan biji-biji kopi layaknya manusia. Memperlakukan seakan-akan biji-biji kopi itu adalah denyut nadi yang membuatnya hidup, yang mengaliri seluruh peredaran darahnya.

Pada Bajawa, ada setitik rindu dan benci yang nyaris tak bisa kutakar. Kharismanya melenakan sebagian besar orang-orang Amerika dan Eropa, tetapi juga sanggup membuatku merasa terlempar jauh pada sebuah perasaan bernama 'sendiri'. Tak punya siapa-siapa.

"Dan, soal rindu?"

Kuputar posisi tubuhku ketika Diandra menanyakan itu. Kini, wajah kami hanya berjarak satu genggaman tangannya. Satu tangan Diandra berada dalam genggaman dua tanganku. Aroma kopi di dalam rengkuhan jari-jarinya menerbitkan rindu yang menusuk-nusuk. Membawaku pada lorong panjang yang selama ini enggan aku jelajahi. Pada cara Diandra menyentuh serbuk-serbuk kopi, aku melihat ibuku. Pada caranya menghirup aroma kopi, pada caranya menuang air dengan suhu tertentu, semua membuat rinduku berdenyar-denyar, tetapi juga membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian. Aku punya seseorang. Dan, itu adalah dirinya.

***

Aku dan Diandra baru saja tiba di Bandara Turelelo, Bajawa. Perjalanan yang cukup melelahkan. Soetta, El Tari, lalu Bajawa. Jika bukan karena rindu yang menggelembung besar, tentu jarak ini enggan aku tempuh.

Berkat Diandra, aku kembali menjejak tanah kelahiranku, Bajawa, Flores. Ia setengah memaksa, begitu saja mengirimkan tiket elektronik kepadaku, bahkan tanpa mengabari lebih dulu. Beruntung Mario bersedia bertugas sendirian untuk satu minggu.

"Aku ingin melihat rumahmu di sana, Jos. Tempat di mana tak ada sekat bernama rindu antara kamu dan ibumu," kata Diandra sehari sebelum kami berangkat.

Aku tidak tahu bagaimana kondisi rumahku sekarang. Aku bahkan ragu rumah itu masih ada. Aku sudah meninggalkannya belasan tahun lalu.  Semoga saja masih tetap begitu.

Dan, memang begitu adanya, meskipun bukan hal yang mudah menyusuri sepanjang jalan ke sana. Ada sakit hati yang menggelegak di antara ribuan pohon kopi yang kulihat di sepanjang jalan. Rinduku berlesatan di hamparan hijau yang mahaluas. Tiba-tiba saja, keinginanku untuk memasuki rumah terasa sedemikian besar.

Namun, langkahku berhenti ketika kulihat seorang laki-laki muncul dari dalam. Wajah sepuhnya menampakkan kombinasi antara haru, kaget, sekaligus bahagia. Ya, dia adalah pamanku. Olehnya, rumah ini terlihat masih layak dihuni atau setidaknya masih tampak berpenghuni. 

"Untuk apa?" tanyaku ketika ia bercerita tentang bagaimana ia merawat rumah ini.

"Jos," lekat, mata Paman menatapku. Aku hampir saja tak kuasa memandang sorot  matanya yang begitu teduh. Lantas, ia menyentuh pundakku, "Paman percaya bahwa entah kamu atau ibumu, suatu saat, akan kembali ke rumah ini." suara Paman bergetar. 

Paman benar. Aku memang kembali, dan tidak sendirian. Ada Diandra bersamaku saat ini, di kamar ini, ruang yang dulu mengiringi aku tumbuh.

Kami duduk di tepi tempat tidur, memandang ke arah jendela yang terbuka. Tampak di kejauhan, perkebunan kopi tempat Ibu dulu menghabiskan banyak waktunya. Pemandangan yang tak pernah kulupa, bahkan ketika aku pergi ke Jakarta. Pemandangan yang sesungguhnya selalu memanggilku untuk pulang. Pemandangan yang lebih memikat lagi jika dinikmati berdua.

Lamat-lamat, aku teringat tentang suatu sore yang temaram. Diandra menyeduh kopi untukku. Satu cangkir kecil, tetapi sanggup menumbuhkan rindu yang menyesakkan dada. Satu cangkir kecil, tapi begitu digdaya melemparkanku pada sepanjang setapak bernama 'kenangan'. Satu cangkir kecil, tetapi sanggup membuatku bersepakat dengan ucapannya, bahwa semua aroma kopi menguarkan ketenangan. Satu cangkir kecil itu seduhan Arabika Flores yang ia buat pertama kali untukku.

Rinduku memang telah terbayar,  tetapi cintaku untuk Diandra baru saja bertumbuh dan akan tetap ada. Seperti aroma Arabika Flores, yang selalu kusimpan, kubawa ke mana pun aku pergi.

---

Sragen - Denpasar

Maret 2021

Latif Nur Janah & Sekar Mayang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun