Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi begitulah ia dipanggil oleh teman-temannya.
Aku mengenalnya sejak dua tahun lalu ketika aku tak sengaja menonton sajian musik akustik di pelataran mal. Aku waktu itu sedang duduk di salah satu bangku kedai kopi, sendirian, menghadap laptop dengan setumpuk tenggat yang harus dituntaskan. Di antara lalu lintas tanganku dari laptop, ponsel, botol air mineral, juga gelas kopi kedua, telingaku menangkap nada-nada itu.
All I Want dari Kodaline. Aku mengenali lirik dan nadanya sebab aku juga kerap memutar lagu itu ketika bekerja. Bukan favorit, tetapi cukup mendinginkan otak saat harus bertempur dengan pekerjaan. Jadi, ketika mendengar intronya, aku benar-benar menjatuhkan pandanganku ke arah lelaki yang memegang gitar sekaligus menyanyikan lagu itu.
Suara Dez biasa saja, sama dengan para penyanyi akustik lainnya. Cukup merdu untuk ukuran siaran langsung dengan peralatan terbatas. Namun, suara itu benar-benar membuat hatiku menghangat. Dan, lepas lagu Kodaline itu, aku malah tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Ada sesuatu yang menarikku untuk diam sejenak dan menikmati dua lagu berikutnya. Di akhir lagu ketiga, matanya bertemu denganku.
Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi aku tidak peduli.
Bulan-bulan berikutnya, aku dan Dez cukup kerap berinteraksi. Kami membahas nyaris segalanya. Ia semacam menggilai ilmu pengetahuan, apalagi yang kelihatan rumit untuk orang lain. Sebisa mungkin aku mengimbanginya. Sebab, aku sendiri baru kali ini menemukan lelaki yang punya ketertarikan besar terhadap alam semesta, juga tidak pernah terlalu ambil pusing perihal fisik perempuan. Katanya, ia nyaris tidak peduli dengan bentuk, asalkan otakku bisa bekerja dengan baik.
"Memangnya kenapa kalau tubuhmu tidak seperti Scarlet Witch atau Black Widow?" begitu tanyanya saat kukatakan aku benci difoto. "Aku tidak suka kalau kamu selalu insecure seperti itu. You have everything, Em. You also have me. Berhentilah bersikap seolah-olah tidak ada lagi peduli padamu."
Tak jarang kami berdebat layaknya orang yang benar-benar berlawanan pemikiran. Matanya menyala, berisi kobaran semangat. Tangannya bergerak ke sana kemari, memperlihatkan ketertarikannya dengan topik bahasan yang kami pilih. Kata-kata yang ia gunakan mencerminkan sedalam apa ia berpikir. Jujur, sepertiga masa dari durasi obrolan itu hanya kupakai untuk mengamati bahasa tubuhnya. Ia sungguh lelaki yang berbeda.
Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi kurasa aku mulai menyukainya.
Oh, jangan berpikir terlalu jauh dulu. Aku sedang tidak memikirkan soal berpasangan di masa depan. Tidak, bukan itu. Belum sampai ke sana. Aku menyukai Dez karena ia mencintai seni seperti seorang ibu mencintai anaknya. Tampak tanpa pamrih, tidak mengharap orang lain memuji atau sebangsanya. Itu betulan. Sebab, tiap kali aku memujinya seusai tampil secara akustik di beberapa kesempatan, aku selalu mendapat omelan. Katanya, "Bilang saja suaraku jelek, Em." Padahal, aku benar-benar sedang memujinya.
Sungguh, kalau ia bukan orang yang istimewa di hidupku, sudah kutinggalkan ia dari dulu. Sayangnya, aku tidak tega berbuat itu. Sekesal apa pun aku dengan Dez---biasanya gara-gara mendebatku soal alur yang kupakai dalam tulisan-tulisanku, atau soal eksistensi Tuhan, atau soal betapa aku tidak menyukai tubuhku sendiri, atau soal warna langit sore hari yang kerap berubah-ubah sesuai intensitas cahaya matahari---aku tidak pernah berpikir untuk menjauh darinya. Semakin aku kesal, semakin aku ingin tetap di dekatnya, menjadi orang yang pertama tahu kabarnya di pagi hari, dan mengucapkan selamat tidur saat malam tiba.