Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi terasa nyaman ketika kuucapkan.
Katanya, itu karena aku dan dirinya berada dalam vibrasi yang sama. Aku tidak mendebatnya kali ini, tetapi muncul pertanyaan dalam otakku: vibrasi apa?
***
Namanya Em. Penggalan dari Emily. Katanya, supaya orang lain mudah menyebutnya.
Ya, segala sesuatu tentang Em memang mudah, termasuk awal perkenalan kami. Benar-benar semudah membalikkan telapak tangan.
Aku yang menghampirinya lebih dulu ketika ia masih duduk di salah satu bangku Starbucks. Di hadapan Em ada setumpuk kopian naskah atau semacamnya, sebuah laptop yang terbuka, dua botol air mineral yang kosong, serta dua gelas kopi yang salah satunya sudah tandas. Entah, tidak ada alasan spesifik, aku hanya ingin berkenalan dengannya. Sebab, selama aku bernyanyi, ekor mataku menangkap bahwa di sisi kiri ada seseorang yang benar-benar memperhatikanku. Namun, sesungguhnya aku takut. Aku takut mataku kali ini menipuku lebih jauh. Hanya saja, ada bisikan di tempurung kepalaku bahwa kali ini apa yang kurasakan bukan sekadar ilusi. Jadi, menjelang akhir lagu ketiga, kuberanikan diri menatap apa yang aku harap adalah masa depanku.
Namanya Em. Penggalan dari Emily. Katanya, ia selalu menyukai nama dengan satu suku kata.
Sama seperti ia menyukai lagu, buku, dan kopi. Bagi Em, itu perpaduan sempurna dari aroma surga. Aku sempat mendebatnya. Bagaimana bisa aroma surga dimanifestasikan dalam bentuk lagu? Kira-kira satu jam lamanya aku mencecar Em dengan topik itu. Orang lain mungkin tidak akan tahan dengan kebiasaan burukku---kurasa---mempertanyakan segala sesuatu yang kuanggap belum logis. Akan tetapi, Em bertahan, mendengarku dengan saksama, serta menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan kesabaran luar biasa.
Aku bisa melihat dari matanya, ia bukan perempuan biasa, bukan perempuan yang mudah mengungkapkan isi hatinya kepada orang lain. Kalaupun pada akhirnya ia mau bicara, ada hal yang pasti membuatnya nyaman. Atau, versi lainnya yang tidak aku suka: terpaksa. Terpaksa, begitu ia sampaikan saat kutanya soal hubungan terakhirnya dengan seorang lelaki. Em terpaksa meninggalkan lelaki itu karena ia merasa tidak pernah dihargai. Ia mencoba bertahan dalam diamnya semata-mata tidak ingin berkonflik. Namun, rasa sakit itu membuatnya terpaksa bicara, dan pergi. Em tidak suka diamnya dimanfaatkan.
"Rasanya luar biasa lega, Dez, saat aku tahu aku terbebas dari beban seluas es Kutub Selatan. Beban yang berat dan dingin."
Aku hanya tersenyum sembari menggenggam tangannya. Menguatkan hatinya, membuatnya bersemu lagi, dan menjadikan ia sebagai perempuan indah dalam hidupku.