Apa? Mendengarkan hujan? Aku yakin, mataku membelalak sampai titik terjauhnya. Buat apa mendengarkan hujan? Apa kamu sudah tertular otak kacauku, Ru?
"..., lalu kita bisa berdansa dengan melodinya," sambungmu.
Rasanya aku masih memproses ucapanmu dan baru separuh jalan ketika kamu meraih tanganku dan menaruhnya di bahumu. Kamu merengkuh tubuhku, memecah jarak yang ada. Kamu membawa kepalaku bersandar di dadamu, mengecup pelan puncak kepalaku, dan berkata, "Dengarkan saja, Moy."
Kita pun berdansa dengan gerakan yang paling sederhana. Kamu membimbing tubuhku yang limbung ini dengan manisnya, membiarkan aku menemukan sendiri ritmeku.
Dan, ternyata kamu benar, Ru. Aku mendengarnya. Aku mulai menangkap melodi itu. Beberapa nada yang tidak asing di telingaku. Terangkai, terlantun, tersaji, membawaku menjauh dari ingar bingar pikiranku sendiri. Pikiran-pikiran yang membuatku tak pernah menikmati lantun indah dari apa pun yang ada di sekitarku. Pikiran-pikiran yang membuatku kerap merasakan denyut-denyut kesakitan di kepala. Pikiran-pikiran yang juga tak jarang membuat jemari tangan kiriku kebas, yang lalu rasa itu menjalar dengan cepat ke dadaku, tepat menuju hati. Pikiran-pikiran yang menyebalkan!
Ah, Ru, inginnya aku menikmati melodi itu lagi. Inginnya aku berdansa dalam dekapanmu lagi. Inginnya aku menghapus semua pikiran-pikiran yang membuatku terpuruk. Namun, rupanya itu terakhir kalinya aku merasakan keindahan yang kaubawa bersama jiwa manismu.
***
Artikel pertama tayang di blogspot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H