Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teduh

11 Januari 2020   00:08 Diperbarui: 11 Januari 2020   00:22 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah sekian purnama Ru pergi, sekian purnama pula aku tidak melihat wajahnya. Biasanya, aku akan ke taman kota untuk mengusir resah, menyerap energi dari hijaunya dedaunan di sana. Duduk berjam-jam di undakan monumen, hanya untuk mengulang segalanya. Meskipun pada pengujung hari, aku tidak peduli pada diriku sendiri. Aku akan tetap menjalani ritual yang sama. Bekerja, pulang, lalu bermimpi.

Hingga hari itu, aku terjebak antara mimpi dan kenyataan. Aku melihat wajah Ru.

Hanya wajahnya.

Aku mengerjap sekali, berharap wajah itu hilang dari pandanganku, tetapi tidak berhasil. Kerjapan kedua malah membuat aku melihat torsonya. Dan, kerjapan ketiga membuat aku sadar, Ru memang berada di hadapanku.

Wajahnya agak berbeda. Mungkin karena cambang tipis yang tumbuh di wajahnya. Aku tidak tahu kalau Ru bercambang. Selama aku mengenal lelaki itu, wajahnya selalu bersih. Namun, sorot matanya tetap sama. Sorot yang selalu meneduhkanku, sorot yang mampu membuatku menarik otot-otot di sekitar bibirku. Ru tidak pernah gagal membuatku tersenyum. Seperti kali ini.

"Ayo kita ke taman, Moy," ajaknya.

Ru begitu saja menarik lenganku tanpa menunggu aku menjawab ajakannya. Itu tidak perlu, mungkin, sebab aku tidak pernah menolak.

Rumput-rumput di taman kota masih berbalut embun ketika aku dan Ru menjejakkan kaki di sana. Ini baru pukul enam pagi, ngomong-ngomong. Langit masih temaram dan udara masih sedikit membekukan lubang hidung. Ini bulan Juni, apa yang bisa kauharapkan soal cuaca hangat? Tidak akan ada.

Ru memungut satu kuntum jepun yang tergeletak di rumput. Kelopaknya masih segar, mungkin belum lama gugur. Ru memberikannya begitu saja padaku, lalu ia kembali berjalan. Aku menikmati pemandangan punggungnya yang tegap. Aku tahu, aku akan berlama-lama memaku mataku pada punggungnya, seperti yang sudah-sudah.

"Moy, berhentilah membuatku takut," kata Ru tiba-tiba.

Aku tertawa.

"Apa yang membuatmu takut, Ru? Aku tidak pernah memakai topeng lagi."

"Senyummu membuatku takut, Moy."

"Senyumku?"

Ru mendekat hingga nyaris tak berjarak denganku. Kini, aku yang mulai takut. Bukan karena tatapan mata orang-orang di sekelilingku, tetapi karena aku tahu, setelah ini, mungkin masih sekian purnama lagi aku bisa mendapati wajah Ru yang hanya sejengkal dariku.

"Apa kamu tidak sadar, Moy, kalau senyummu bisa meneduhkan langit?"

Oh, my!

Aku merasa kaki-kakiku tenggelam, jantung lepas dari sarangnya, dan paru-paruku pensiun meminta oksigen. Aku ingin teriak meminta tolong, tetapi tenggorokanku tercekat. Yang ada, bibir Ru menempel begitu saja di dahiku. Lalu, jutaan kembang api meledak di atas kepala kami.

***

(Sumber gambar: koleksi pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun