Moy memakai kembali kacamatanya. Hanya Tuhan yang tahu, apakah ia akan menangis lagi atau tidak. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan ini bisa terjadi. Aku membayangkan hal lain, hal-hal yang lebih menyenangkan.
Aku membayangkan senyumnya.
Aku membayangkan gelak tawanya ketika mendengar lelucon yang kulempar.
Aku membayangkan binar matanya ketika kuceritakan soal kucing-kucingku.
Aku membayangkan menautkan jemariku di antara jemarinya.
Aku membayangkan merapikan rambutnya ketika angin pantai terlalu nakal kepadanya.
Aku membayangkan mengecup dahinya saat aku hendak kembali ke kota dengan burung besi.
Itu saja bayanganku. Namun, semuanya tidak aku dapatkan. Ketika aku melihatnya lagi setelah sekian lama, aku tahu, sesuatu telah terjadi. Moy terlalu sering terluka dalam rentang belasan tahun itu. Teramat sering, hingga aku bisa melihat hal itu di matanya, mengecap di balik senyumnya. Pahit, semuanya terlalu pahit.
Lalu, aku sadar, aku memang seharusnya tidak membiarkannya lari.
(Foto koleksi pribadi. Lokasi Pantai Sanur, Bali.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H