Kini giliran Maya yang menyandarkan tubuhnya di bangku taman. Ditatapnya langit, masih miskin bintang dan sepotong bulan yang malu-malu bersinar dari balik awan tipis. Suasana kembali menjadi sepi, seperti hati Maya. Beberapa jam yang lalu, ia masih sangat gembira karena Al mengajaknya bertemu lagi di taman ini. Ia bisa melepas rindu dua pekan yang menggebu-gebu terhadap lelaki dua puluh tujuh tahun itu. Sekarang, semuanya lenyap. Kegembiraan berubah jadi senyap luar biasa. Bahkan, Maya mencari-cari ke mana hilangnya suara nyaring dari hewan-hewan malam itu.
"Maya?" Suara Al memecah sunyi. Matanya masih memandang langit.
"Ya?"
Al lalu mengubah posisi duduknya. Menatap Maya dengan tajam. "Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk..." Suara Al terputus.
Hati Maya kembali tidak menentu. Dalam hatinya, banyak sekali kemungkinan yang akan terungkap dari Al. Mungkin saat ini Al hendak mengambil keputusan yang terbaik untuknya. Apakah Al akan meninggalkan kekasihnya untuk Maya? Atau, justru malah Maya yang akan ditinggalkan? Perang batin. Tetapi, Maya telah mempersiapkan diri dan hatinya andai nanti Al lebih memilih kekasihnya. Itu risiko, pikir Maya. Maya pasrah. Namun, Al masih saja bergeming.
"Oh, ayolah, Al! Katakan saja apa yang menguasai pikiranmu saat ini. Aku ingin tahu tentang..., ah, tentang aku, kamu, dan masa depan. Apa itu mungkin, sebuah masa depan untuk kita?"
Terpaksa Maya harus berkata seperti itu, agar Al paham benar dengan apa yang sedang diinginkannya. Tidak ada satu wanita pun di dunia ini yang betah digantung perasaannya.
"Jujur aja," Al membuka suara, "aku punya perasaan lebih kepadamu. Tapi..."
"Tapi, ada gadismu yang tak mungkin kamu tinggalkan. Iya, kan?" potong Maya tiba-tiba.
"Bukan, Maya. Bukan itu."
"Lalu, apa?!" Suara Maya meninggi.