Mengapa Nyai Cilok tidak pernah menurunkan tangan besinya? Ya, secara, tangan gue bukan dari besi. Terminator, dong, gue, kalo tangan gue terbuat dari besi ngihihihi…
Eniwei, setahun belakangan gue jarang banget bikin postingan. Entah itu fiksi atau nonfiksi. Dan artikel ini jaraknya jutaan tahun cahaya dari artikel terakhir yang gue bikin. Kalo nggak ada yang nyentil, nggak bakalan gue nulis. Sibuk, mameeeeennnn… Antrean naskah udah kayak antrean pembagian sembako gretongan ajah *lirik Bapak dan Bu Bos* Bonus eike nambah, kan, Pak, Bu? *kemudian disambit cireng basi.
Okey, gini, kalian pada tau kan kalo FC sekarang sedang menggelar event menulis yang bertajuk Fiksi Bersambung, yang disingkat jadi fikber, yang bikin para pesertanya pada gemeter, yang bikin para pesertanya rame-rame ke dokter nyahahahaha… Okey fix, selesai berlebay-lebaynya, Moy.
Jadi, ceritanya gue abis disentil sama momon Ahmad. Doi bilang gue nggak pernah turun tangan buat menertibkan member yang masih banyak bikin typo di artikel mereka. *eeaaa satpol PP kali, menertibkan* Typo-nya bukan sekadar salah tik, tapi juga masalah tanda baca, kata baku, serta teknis penulisan yang lain. Momon Ahmad juga bilang, mungkin kalo soal EYD diterapkan ketika penjurian di event menulis yang digelar FC, praktis (mungkin) sebagian besar peserta akan gugur di tahap awal penilaian.
Dulu, awal jadi editor, gue emang mengagungkan kemampuan penulis untuk taat pada EYD. Galak banget deh gue. Kurang koma sebiji aja si penulis udah gue omelin pake cabe sekarung. Lalu, gue sadar, siapa sih gue? Bukan lulusan sastra, tapi galak soal EYD. Bukankah ada yang lebih mahapenting daripada sekadar taat EYD? Yak, bener. Membuat naskah yang brilian.
Brilian yang macem gimenong, nih? Brilian itu, ketika pembaca nggak punya waktu untuk sekadar ngupil saat membaca bukumu. Brilian itu, ketika ending dari satu bab membuatmu otomatis bergerak membuka halaman buku untuk membaca bab selanjutnya. Brilian itu, ketika pembaca bisa ikut hadir dalam panggung yang kamu buat dalam naskahmu. Brilian itu, ketika pembaca ikut merasakan kesedihan dan kegembiraan tokoh-tokoh di dalam bukumu. Brilian itu, ketika pembaca memutuskan untuk membeli karya keduamu tanpa memedulikan cerita apa yang bakal kamu buat karena mereka sudah terlanjur memercayai bahwa kamu akan membuat kisah-kisah yang emejing. Itulah brilian versi gue.
Terus, apa yang bikin gue sadar dari kepingsanan gue selama ini? Nggak lain dan nggak bukan adalah temen berantem gue sendiri yang merupakan penulis teenlit berbakat, Citra Rizcha Maya.
Citra memang nggak pernah ngomong langsung ke gue soal itu, tapi gue belajar dari karya-karyanya. Jujur, dari segi teknis, naskah adek (ketemu gede) gue itu amat berantakan. Kadang doi bikin kalimat panjaaaaaang bener, kayak rangkaian gerbong kereta barang *eh* Cuma, ketika gue baca naskahnya, gue bisa amat sangat abai sama kondisi berantakan itu. Gue terhipnotis sama jalan kisah yang doi bikin. Teenlit yang doi bikin nggak berasa kosong, bikin gue terus-menerus pengen membuka halaman selanjutnya. Nah, dari situ gue mulai berprinsip bahwa EYD bukan segalanya, meskipun itu juga penting.
Itulah kenapa gue nyaris nggak pernah turun tangan buat sekadar bikin artikel yang membahas perbedaan kata depan dan awalan, atau membahas letak koma, atau membahas letak hatinya terhadap hatiku *eeaaaa* Kecuali yes, kalo typo-nya udah parah banget, yang kalo ditotal bisa ngasi makan bebek-bebek di kandang, ya, gue balikin dulu tuh naskah ke pemiliknya. Gue suruh dia perbaiki sekaligus revisi, sambil gue omelin, “Gimana lu pengen jadi penulis besar kalo sama naskah sendiri aja elu nggak sayang? Liat tuh naskah! Berantakan kayak kamar kosan elu. Lu sama aja kayak ngebedakin naskah lu pake tepung, bukan pake bedaknya Dewi Sandra (abaikan anak kalimat terakhir). Yang bener dong kalo ngedandanin naskah, biar naskah lu menarik hati calon mertua, eh, menarik hati reviewer.”
Daripada mempermasalahkan EYD, gue lebih mempermasalahkan setting lokasi yang dibuat penulis. Nggak masalah kalo lokasi yang dibuat nggak tercantum dalam peta dunia. Toh Gotham City di Batman dan Metropolis di Smallville juga fiktif. Yang penting lokasi itu bisa dibangun di benak para pembaca. Kalo pembaca sampe nggak bisa membayangkan setting lokasi yang kalian bikin, berarti kalian belum berhasil mengajak pembaca menikmati karya kalian.
Hal lain lagi, ketimbang ngurusin EYD, gue lebih suka penulis serius menerapkan prinsip show, not tell. Kalimat seperti “Keluarga Aminah termasuk keluarga miskin” bisa dijabarin jadi beberapa paragraf. Kata miskin bisa digambarkan dengan bermacam-macam kondisi. Mulai dari kondisi rumah, cara berpakaian, makanan sehari-hari yang disantap, pekerjaan, sampai cara si tokoh menghargai sampah botol plastik, misalnya.
So, soal EYD itu bisa dipelajari dalam waktu singkat. Yang sulit itu adalah membuat calon pembaca jatuh hati dengan karyamu.
Sekian tausiyah nan singkat dari Nyai Cilok yang kece badai. Semoga selesai baca artikel ini, nggak ada yang muntah-muntah yes.
Salam fiksi *cipoks satu-satu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H