Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Twenty Eight

22 Februari 2013   06:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

previous chapter

Al dan Rhein melangkah melewati Maya yang masih mematung di dekat pintu. Maya sendiri setengah takjub melihat Rhein. Gadis yang dilihatnya sekarang amat berbeda dengan foto yang ia lihat di buffet. Tidak ada lagi rambut hitam sebahu dan lengkung bibir manis pada wajah polos tanpa riasan. Kini yang terlihat hanya rambut warna burgundy yang dipotong sangat pendek dan riasan mata yang sangat gelap.

“Bolos sekolah lagi?!”

Rosi langsung menyerang Rhein dengan pertanyaan tajam. Tapi, Rhein malah langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa, membuka wedges warna khaki, dan membiarkannya di sembarang tempat. Tangannya segera menyambar remote tivi.

“Guru-guru lagi pada rapat, Ma. Dua hari. Daripada panas-panasan di Jakarta, mending ngadem di Bandung.”

“Alesan!” bantah Rosi. “Apa Mbak Rara tau kamu ke sini?”

“Enggak,” jawab Rhein dengan santainya.

“Rhein…, Rhein. Mama, kan, udah bilang kalo minggu depan Mama ke Jakarta. Jadi, kamu nggak perlu ke Bandung. Kalo Papa tau kelakuanmu ini, pasti jatah uang jajanmu bakal dipangkas habis. Nggak bakalan ada lagi liburan semester ke Sydney, apalagi beli mobil. Papa nggak bakal ngasi,” tegas Rosi.

“Rhein pengen ngadem, Ma. Nggak boleh?” Rhein setengah memelas. “Jakarta lagi panasnya ampun-ampunan, Ma.” Lagi-lagi, Rhein berusaha membela diri.

“Kamu juga Al,” Rosi beralih mengomeli Al, “ngapain kamu nurut disuruh-suruh Rhein?”

Al kaget dirinya jadi tertuduh. “Sumpah, Tante. Al juga nggak tau apa-apa. Tiba-tiba Rhein telepon minta dijemput. Ini juga sebenernya Al ninggalin banyak kerjaan gara-gara dia. Terus, tumben-tumbenan dia minta jemput di stasiun.”

“Stasiun?” Rosi heran, lalu Rhein. “Kenapa kamu nggak naik travel aja? Kan, nggak perlu minta jemput Al.”

“Lagi males naik travel, Ma,” sahut Rhein tanpa merasa bersalah. “Males lewat Cipularang.  Bosen liat batu cadas mulu. Enakan naik kereta, bisa liat jurang-jurang yang keren.” Tangan Rhein asyik menekan-nekan tombol remote tivi, memindah-mindah saluran seenak hati. “Kayaknya asyik, deh, kalo bisa bungee jumping di situ. Keren.”

Rosi memandang Al dan seolah sedang menyampaikan permintaan maaf lewat mata atas tingkah Rhein hari ini. Al selalu memaklumi segala tingkah Rhein dan berusaha tidak gegabah menyikapinya. Rhein memang senang bertindak sesuka hati dan itu tak jarang membuat orang-orang di sekitarnya senewen.

“Ini apa?” Rosi baru sadar ada yang aneh dengan rambut Rhein. Ia menarik rambut Rhein hingga warna burgundy itu lepas dari kepala. Sekarang yang terlihat adalah rambut hitam sebahu yang berantakan “Udah Mama bilang, jangan pake lagi wig ini. Anak kecil kayak kamu itu belum waktunya pake wig. Punya rambut bagus, tapi nggak bersyukur. Gundulin aja sekalian kalo kamu tetep pengen pake wig.”

“Mama.... Rhein suka warnanya. Please, jangan dibuang.”

Terlambat. Rosi sudah melempar rambut palsu itu ke tong sampah. Dan, Rhein langsung terperanjat.

“Mama jahat.” Rhein merajuk, lalu kembali sibuk dengan remote tivi.

“Kalo kamu masih nyembunyiin wig di rumah, Mama bakal bakar semuanya. Inget itu, Rhein!”

“Itu siapa, Ma?” Rhein menunjuk Maya dengan mengangkat sedikit dagunya. Perhatiannya tidak lagi ke soal rambut palsu. “Pembantu?” tanyanya.

Lagi, Rosi memandang Al. Kali ini Rosi meminta bantuan Al untuk menjelaskan perihal Maya kepada Rhein. Namun, Al juga menyerah. Ia belum sanggup.

“Itu Maya,” jawab Al.

“Oh, Maya. Bisa minta tolong? Bikinin es teh, atau es jeruk, atau apalah yang dingin-dingin. Gue haus.”

“Rhein!” seru Al.

Rosi malah memijit pelipisnya dengan satu tangan.

“Kenapa?” tanya Rhein.

Al tidak menjawab, tapi langsung menarik lengan Rhein dan membawanya ke salah satu kamar tamu. Sementara itu, Rosi menghampiri Maya yang sedari tadi masih berdiri di dekat pintu. Rosi membimbingnya ke sofa. Maya diam saja, tak bertanya atau menyoal perkataan Rhein. Rautnya pun hampir tidak berubah. Datar.

“Maafin Rhein, ya, Sayang,” kata Rosi.

“Nggak apa-apa, Ma. Rhein, kan, emang belum tau siapa Maya,” Maya menegaskan. “Wajar kalo sikapnya seperti itu.”

“Tapi, nggak wajar kalo tiba-tiba dia bilang kamu pembantu di sini,” sahut Rosi.

Maya hanya bisa tersenyum.

Di kamar tamu, Al mendudukkan Rhein di kursi, sementara ia berdiri berkacak pinggang di depan Rhein.

“Kok bisa-bisanya elu bilang Maya pembantu di sini?!” tanya Al.

“Gue, kan, emang nggak tau siapa dia,” Rhein mencari-cari alasan untuk menutupi penyesalannya.

“Tapi, kenapa langsung ngejudge dia pembantu?”

“Abisan, dandanannya biasa. Mukanya potongan pembantu banget,” gumam Rhein dengan wajah tertunduk. Ia hampir tak berani menatap Al.

“Cuma gara-gara Maya nggak pake make up kayak elu, atau ngeblow rambut ala salon, terus elu seenaknya bilang dia pembantu?! Mikir pake otak, Rhein! Jangan pake dengkul!”

“Sorry,” gumam Rhein tak jelas.

Al menghela napas panjang. “Maya itu pacar gue. Calon istri gue,” ujar Al.

Rhein mengangkat kepala, lalu tertawa keras. Ia bangkit dari kursi dan berdiri tepat di hadapan Al, melempar pandangan meremehkan.

“Calon istri?! Lagi ngelindur?!”

“Enggak,” jawab Al. Ia malas berdebat dengan Rhein.

“Emangnya elu lupa nyokap kita berdua pernah bilang apa?”

“Enggak, tuh.”

Rhein mulai bingung. “Ya, berarti elu nggak bisa seenaknya nganggep perempuan itu calon istri lu,” seru Rhein. “Ortu kita berdua udah sepakat.”

“Sepakat apa? Terserah gue, dong. Gue bebas milih siapa aja buat jadi istri gue.”

“Oke. Nggak masalah. Emangnya gue sudi punya suami elu?! Bakalan repot kalo elu udah reyot, sementara gue masih seger.”

“Rhein. Gue minta tolong banget. Sekali-kali, coba elu pikirin dulu apa yang mau elu omongin. Jangan asal jeplak nggak jelas. Salah-salah malah elu nyakitin orang lain. Nggak masalah kalo lawan bicara elu, tuh, gue. Gue udah hapal tabiat lu. Kalo orang lain, pasti mereka tersinggung sama omongan lu.”

“Oke. Gue minta maaf.”

“Jangan sama gue. Bilang langsung sama Maya.”

“Oh, come on, Al. Masa gue harus ngulang lagi?! Nggak bisa gue nitip ke elu?”

“Nitip apaan? Jangan ngeles, deh. Atau gue perlu bilang kalo elu sering bolos ke Bandung tiap bulannya?!”

“Eit, jangan! Please. Nanti Mama bakalan ngamuk tingkat dewa ke gue. Ntar gue batal dapet mobil baru.”

“Ya, udah. Minta maaf sama Maya, dan gue anggap kita impas.”

Rhein mengacungkan jempolnya. Al beranjak ke pintu dan menyuruh Rhein keluar lebih dulu.

“Sekarang?” tanya Rhein. “Nggak bisa entaran aja? Gue, kan, baru dateng. Masih capek, Al.”

“Nggak pake ngeles!” tegas Al.

Rhein menurut. Ia keluar kamar diikuti Al. Rhein melihat ibunya dan Maya tengah duduk di sofa, lalu ia pun mendekati keduanya.

“Gue…. Ehm, maksudnya, aku…. Aku… aku minta… maaf.” Gugup, Rhein memilin-milin ujung kaosnya.

“Nggak apa-apa,” balas Maya sambil tersenyum.

“Oke,” seru Al. “Masalah beres. Al harus balik ke kantor, Tante. Masih banyak yang harus dikerjain,” pamit Al.

Rosi berdiri dan menyalami Al. “Nanti malem ke sini lagi, ya. Tante perlu bicara sama kamu.”

“Iya, Tante.” Al membalas jabat tangan Rosi.

“Gue anter ke lift,” sahut Rhein yang langsung membuka pintu depan.

“Nggak usah. Elu temenin Mama sama Maya aja.”

“Gue maksa,” sahut Rhein.

“Oke.” Al menyerah.

Di depan lift, sambil menunggu pintu terbuka, Rhein berkata, “Gue iri sama elu, Al.”

“Iri kenapa?”

“Elu bisa dapet pasangan, sementara gue, pacaran paling lama cuma sebulan. Itu juga ternyata gue diporotin.”

“Makanya,” Al mengacak-acak rambut Rhein, “kalo nyari pacar jangan cuma liat tampang.”

“Yaelah. Masa iya gue harus nyari yang tampangnya kayak tukang parkir di bawah?!”

Al tertawa. Pintu lift terbuka dan Al masuk. Sebelum pintu lift menutup otomatis, Al sempat menjawab pertanyaan Rhein.

“Yang penting hatinya, Rhein.”

Quick lesson, please. Gimana caranya biar gue tau bersih apa enggaknya hati seorang cowok?” tanya Rhein sambil menahan pintu lift.

“Elu bakal tau ketika elu melihat matanya,” jawab Al.

“Gitu doang?” Tangan Rhein masih menahan pintu lift.

“Kalo cara itu nggak berhasil, well, yeah…, you just feel that he’s the one.”

Rhein menarik tangannya, lalu pintu pun menutup otomatis. Ia mulai mencerna kata-kata Al, sambil melihat bayangan buram dirinya yang terpantul dari pintu elevator. Sekilas, Rhein melihat wajah gadis manis yang sedang bersedih. Bukan sedih karena rambut palsunya yang kini menjadi penghuni tempat sampah, tapi karena di dalam hatinya kini merasa kosong. Rhein amat kesepian.

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar, klik image.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun