Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Fifteen

22 November 2012   05:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:52 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

previous chapter

Dua minggu sudah berlalu sejak Rosi memberitahukan perihal kehamilannya kepada Berta. Belum ada lagi yang diberitahu soal itu. Keduanya masih sepakat untuk diam, tidak bicara, apalagi berkoar, soal kehamilan yang belum saatnya terjadi. Pun Rosi berusaha untuk tidak berlaku seperti kebanyakan wanita hamil, apalagi di hadapan Bayu, walaupun rasa mual benar-benar menyiksa Rosi.

Pernah satu hari, Rosi menelepon orangtuanya yang kala itu berada di Singapura. Hanya iseng. Rosipun sangat tidak berharap mereka pulang dalam waktu dekat ini. Jika semuanya sesuai jadwal, mereka baru akan pulang ke Indonesia setahun lagi. Waktu yang cukup, gumam Rosi dalam hatinya.

Kadang Rosi merasa jadi anak yang terabaikan. Benar, harta mereka berlimpah. Rosi tidak perlu repot mencari kerja paruh waktu seperti yang banyak dilakukan mahasiswa di Bandung untuk mendapat uang saku lebih. Ia hanya perlu datang ke bank dan mengambil uang sebanyak yang ia perlu. Orangtuanya sudah menyiapkan dana untuk banyak hal yang Rosi perlukan. Benar-benar Rosi tidak perlu khawatir soal itu. Namun, ya, rasa terabaikan itu tidak bisa begitu saja menguap dengan limpahan materi yang hampir tak berbatas. Rosi kesepian.

Di satu saat, Rosi merasa ia sudah menemukan cara untuk mengusir rasa sepi itu. Keluarga Berta jawabannya. Orangtua mereka bersahabat sejak lama. Dan, Rosi merasa keluarga itu sudah menjadi bagian dari keluarga besarnya. Ia tidak pernah merasa sungkan kepada orangtua Berta, walau ia sudah pasti menaruh hormat kepada Tuan Wawan dan Nyonya Yanti. Terkadang lagi, Rosi merasa, orangtua Berta adalah orangtuanya. Pun Tuan Wawan dan Nyonya Yanti seringkali menganggap, Rosi adalah adik kandung dari anak semata wayang mereka, Berta.

Dan, Bayu adalah hal kedua yang dapat mengusir rasa sepi yang Rosi rasakan. Rosi mengenal Bayu di kampus. Bayu adalah mahasiswa satu angkatan di atas Rosi. Bidang studi mereka sama, ekonomi manajemen. Bayu tidak hanya menjadi kekasih Rosi sejak tahun pertama Rosi menimba ilmu di bangku kuliah. Bayu dapat menjelma menjadi siapapun. Kakak yang baik, kawan yang perhatian, teman diskusi yang menyenangkan, sahabat yang selalu ada dalam kondisi apapun. Bagi Rosi, Bayu adalah segalanya. Hanya di hadapan Bayu, Rosi bisa menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi putri tunggal dari pasangan kaya raya.

***

Sore yang nyaman. Tidak ada awan yang terlampau besar yang sanggup menutupi indahnya warna biru pada langit dataran Lembang. Rosi sudah satu jam yang lalu sampai di rumah Berta. Keduanya kini – ditemani Al – sedang menikmati es teh lemon dan kudapan di teras belakang. Suami Berta, Hartono, kebetulan sedang melakukan inspeksi di kebun teh, jadi tidak dapat menemani mereka bersantai di rumah.

Al sendiri sibuk dengan beberapa mainan plastik di lantai teras. Sesekali ia mendatangi meja kecil yang diapit dua kursi yang kini diduduki Rosi dan Berta, untuk mengambil kudapan atau meminum susu cokelat hangat.

“Teteh belum berani bilang ke Papa dan Mama, Ros,” ujar Berta setelah menyesap sedikit es teh lemonnya.

Rosi mengangguk, lalu menyahut, “Nggak apa-apa, Teh. Biar Ros yang bilang langsung sama Om Wawan dan Tante Yanti.”

“Tapi, kan, Ros….”

“Nggap apa-apa, Teh,” potong Rosi dengan cepat. “Ros yang salah. Jadi, Ros yang harus tanggung jawab. Biar Ros yang menyampaikan ke orangtua Teteh.”

Berta memandang Rosi dengan rasa iba yang teramat sangat.

“Jangan ngeliat Ros kayak gitu, Teh. Ros bukannya sedang mencari belas kasihan. Ros hanya butuh dukungan.”

“Teteh paham, Ros. Dan, bagaimana dengan rencanamu sendiri? Apa kamu berniat untuk membiarkan janin itu tumbuh di rahimmu? Atau….” Berta tidak meneruskan kalimatnya.

Rosi segera menengok ke arah Berta. Ia yakin, ia tahu apa yanghendak dikatakan Berta. “Demi Tuhan, Teh. Pikiran itu memang sempat ada di otak Ros. Tapi, walaupun Ros bukan manusia yang rajin ibadah, Ros nggak akan membuang janin ini.” Suara Rosi bergetar, namun ia yakin dengan apa yang baru saja ia katakan.

“Lalu, bagaimana selanjutnya, ketika bayi itu nantinya lahir?”

Rosi kembali menekuni motif ubin di lantai teras. “Bisakah… kita pikirkan itu nanti, Teh? Sekarang ini, Ros hanya ingin fokus dengan apa yang terjadi hari ini. Buat Ros, bersembunyi dari Bayu adalah hal yang lebih berat daripada harus memikirkan bagaimana membesarkan janin ini. Ros pengen banget Bayu tahu hal ini. Tapi, Ros nggak mau Bayu malah merasa bersalah kepada Ros.”

Berta tertawa sinis.

“Kalau bolah Teteh bilang, Ros, kamu itu gadis bodoh. Kamu dibutakan sama cinta. Okelah, Bayu bukan laki-laki yang buruk. Tapi, tidak bisakah kalian menunggu sampai beberapa tahun lagi? Paling nggak, sampai kamu lulus kuliah, Ros. Teteh tahu, orangtuamu sudah – kasarnya – menjodohkan kamu dengan pemuda lain. Dan, Teteh juga tahu banget, kamu bakal menentang perjodohan itu. Tapi, kalau nantinya kamu bisa meyakinkan orangtuamu soal Bayu, Teteh yakin, pelan-pelan orangtuamu bakal nerima Bayu.”

Rosi makin tak sanggup bicara. Ia menyibukkan diri dengan gelas es teh lemonnya yang kini tersisa separuh isinya. Pelan-pelan, ia mulai mencerna perkataan Berta. Tak dimungkiri, ia membenarkan apa yang perempuan itu ucapkan, bahwa ia terlalu terburu-buru. Seharusnya, apa yang ia impikan bersama Bayu, bisa jadi hal terindah dalam hidupnya. Apa daya, nasi telah menjadi bubur, kapas telah menjadi benang. Segala yang terjadi tidak dapat dikembalikan seperti sediakala.

***

“Jadi benar kau hamil, Ros?!” cecar Nyonya Yanti yang duduk berseberangan dengan Rosi.

Rosi menunduk, keringat dingin mulai membanjiri pelipisnya. Ini malam hari, namun Rosi berkeringat. Hawa sejuk yang terhembus dari kipas yang terpasang di langit-langit ruang tengah itu, nampak tidak membawa pengaruh bagi Rosi. Ia tetap berkeringat karena situasi yang ia pikir menyudutkan dirinya.

Ruang tengah itu hanya terisi empat orang. Rosi, Berta, Tuan Wawan, dan Nyonya Yanti. Hartono sedang menemani Al bermain di kamar. Rosi baru saja menyampaikan perihal kehamilannya kepada orangtua Berta. Dan, itulah reaksi pertama yang Rosi dapat.

“Iya, Tante,” jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar.

“Kok bisa?!” Kekalutan dan rasa tak percaya Nyonya Yanti terhadap Rosi, membuatnya tak sadar telah melempar pertanyaan konyol.

“Ma,” Berta mengingatkan Ibundanya. “Tolong jangan tekan Rosi seperti itu,” bisiknya kepada sang ibu.

“Ya, tapi, kan….”

“Ma.” Berta sedikit menekan nada suaranya. “Biar Papa bicara dulu.”

Tuan Wawan bukannya diam karena tidak peduli. Pria tua itu sangat peduli dengan kondisi Rosi. Apapun itu. Rosi tak ubahnya seperti putri kandungnya sendiri. Sekarang ini ia sedang berpikir. Memikirkan segalanya. Soal sebab musabab, alasan-alasan yang mungkin terlontar, dan apa yang kira-kira harus dilakukan. Usia membuatnya bijak memahami masalah. Ia memang belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Berta, putri tunggalnya, menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, sampai akhirnya ia nikahkan dengan Hartono, salah seorang pegawai kepercayaannya di perkebunan teh.

Tuan Wawan akhirnya bicara setelah beberapa jenak terdiam, “Mereka tidak boleh tahu, Ros. Tidak boleh ada yang tahu selain orang-orang di rumah ini. Usahakan, dalam waktu dekat ini, kamu mengurus cuti kuliah. Selanjutnya, kamu harus tinggal di sini. Tidak boleh keluar, tidak boleh berinteraksi dengan orang lain selain yang tinggal di rumah ini.”

Rosi hendak membuka mulut untuk menyahuti perkataan Tuan Wawan, tapi telunjuk Tuan Wawan menggagalkannya.

“Perintahku,” lanjut Tuan Wawan, “bukan untuk disanggah. Ini demi kebaikanmu, Rosi. Juga demi kebaikan janin yang ada di perutmu.”

Selesai bicara, Tuan Wawan langsung berdiri dari kursinya. Ia menatap Rosi sebentar. Tatapan yang penuh sesal, juga sedikit rasa ingin melindungi. Ia memilih pergi dari ruang tengah itu dan menuju kamarnya. Nyonya Yanti mengikutinya, masih dengan rasa tak percayanya yang begitu besar terhadap Rosi.

Berta berdiri, lalu duduk di samping Rosi. Ia mendekap gadis itu dan mengusap-usap bahunya, seolah ingin menyalurkan sedikit kehangatan untuk Rosi.

“Kami semua sayang kamu, Ros. Jangan anggap perkataan Papa tadi adalah sesuatu yang jahat. Kami sepakat menjauhkanmu dari dunia luar, semata-mata untuk menjaga reputasi.”

“Reputasi?”

“Ya.”

“Reputasi siapa?”

“Semua orang. Kamu, orangtuamu, keluarga Teteh, juga Bayu. Mungkin sekarang kamu belum mengerti, tapi nanti pasti kamu bakal mengerti kenapa Papa seolah-olah bersikap jahat padamu. Semua ini, demi kebaikanmu, Ros.”

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar angel on forest, klik image.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun