Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Eight

15 September 2012   17:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:25 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

previous chapter

Sore ini adalah Sabtu sore yang cerah, pikir Al. Dan juga sejuk!

Ah, tidak juga. Faktanya, terik matahari pukul tiga sore masih saja menguasai bumi Bandung. Jadi, walaupun Bandung berada pada dataran tinggi, kesejukan masih lebih terasa di sebuah ruangan berpendingin udara dibanding dengan di luar ruangan.

Tapi lain halnya dengan Al. Dia benar-benar merasa sejuk dimanapun ia berpijak. Sejuk itu, ada di sana, di dalam hati Al. Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Shinta, ia mulai menata hati dan perasaannya.Ia fokuskan hanya pada satu nama. Maya. Dan sore ini, pria penyuka warna abu-abu hendak mengunjungi Maya.Tidak ada janji sebelumnya. Ia hanya ingin melihat paras ayu Maya. Beberapa hari hanya berkomunikasi dengan ponsel, tanpa bertemu langsung, membuat rindu Al membuncah kepada gadis berambut lurus itu.

Dan nanti malam adalah malam minggu, malam yang tepat untuk mengajak Maya pergi ke luar untuk jalan-jalan. Ia menyiapkan diri lagi begitu sampai di apartemen. Pakaian terbaik dikenakannya, parfum mahal disemprotkan ke tubuhnya.

Aku harus tampil sempurna.” Al berbicara sendiri di depan cermin sembari memerhatikan pantulan bayangannya. Dilihatnya jam di tangan, jarumnya menunjuk di antara angka empat dan lima. Ini artinya harus segera berangkat kalau tidak mau kemalaman sampai rumah Maya. Sedikit saja Al menunda keberangkatannya, maka ia akan terjebak kemacetan akhir minggu yang parah. Dan tak banyak lagi berpikir Al segera mengambil kunci mobilnya yang bergeletak sembarang di samping laptop di atas meja kerjanya.

Ah, benar saja. Jalanan sudah mulai ramai. Mungkin sebentar lagi akan menjadi sangat ramai, ujar Al dalam hati. Baru setengah perjalanan, ponsel Al berbunyi. Tanpa meminggirkan mobilnya Al mengangkat telepon yang masuk. Nama seseorang muncul di layar ponselnya.

“Halo,ujar suara di seberang sana. Suara wanita. Dan itu suara yang pernah menggetarkan hati Al beberapa tahun lalu.

Halo, Shinta. Ada apa?” balas Al dengan santai. Matanya tak lepas dari jalanan yang ia lalui.

“Aku ingin mengobrol denganmu. Sebentar saja. Apa kau punya waktu , Al?”

“Maaf, Shinta. Aku tidak bisa. I’m in the middle of something. Kind of hurry. Lain kali aku akan meneleponmu,” jawab Al sekenanya. Ia enggan mengatakan jika ia akan bertemu dengan Maya. Tapi iapun tak mau berbohong.

Baiklah. Kutunggu teleponmu besok,” suara Shinta bercampur sedikit kekecewaan.

Maafkan aku, Shinta. Aku memang sedang ada urusan lain sore ini.”

Aku mengerti. Maaf, aku sudah mengganggu urusanmu. Bye, Al.”

Lalu hening. Nampaknya Shinta menutup telepon sebelum Al sempat membalas. Ia hanya tersenyum sambil menaruh ponsel di saku kemejanya. Di hatinya kini hanya ada Maya. Tidak ada niatan untuk menyakiti gadis itu, apalagi mempermainkan hatinya.

Suasana hampir redup, tapi belumlah gelap sangat, ketika Al memarkir Vios hitamnya tak jauh dari rumah Maya. Ponselnya berbunyi lagi. Padahal Al sudah hendak keluar dari mobil. Ia melihat sebuah nama. Tidak, bukan nama. Lebih tepatnya hanya sebuah sebutan untuk seorang wanita yang telah melahirkannya dua puluh delapan tahun yang lalu.

“Ya, Mama?!”

“Kau dimana?” Pertanyaan tegas, singkat, dan langsung ke inti masalah.

“Di luar. Ada janji dengan seorang teman di sebuah kafe.” Tak tega sebenarnya Al memanipulasi jawaban. Tapi ia belum siap mendapat keterkejutan ibundanya terhadap nama Maya. “Ada apa, Ma?” Biasanya setelah ini, akan ada sebuah permintaan yang hampir tak bisa ia tolak.

“Mama ingin bicara. Besok kau harus datang ke rumah.”

Benar saja, kata Al dalam hati. Ia menarik napas panjang, lalu menjawab, “Iya, Ma. Jam sepuluh aku akan datang ke rumah.”

Tak ada suara lagi. Rupanya sambungan telepon telah terputus. Ia masukkan lagi ponselnya ke saku celana dan beranjak keluar mobil dengan segera.

Teras rumah lengang. Tapi Al mendengar sayup-sayup suara televisi. Ada orang di dalam, pikir Al. Ia mengetuk pintu rumah. Agak keras. Ia takut seseorang yang berada di dalam rumah tak mendengar gara-gara suara ketukan itu kalah dengan suara televisi. Sejenak, dua jenak, belum ada yang datang membukakan pintu. Ini hampir gelap, gumam Al dalam hati. Ia mengetuk lagi. Sama kerasnya dengan yang pertama. Lalu ia mendengar langkah kaki mendekat ke arah pintu rumah. Dan pintupun terbuka. Seketika, Al mendapati wajah terkejut Maya.

“Kau?!” Suara Maya tertahan.

Al hanya tersenyum.

“Untuk apa kau kemari?” tanya Maya.

Kedua alis Al hampir menyatu karena kerut dahinya. Benarkah pertanyaan yang ia dengar? Karena baginya, pertanyaan itu, dan juga nadanya, terdengar seperti kedatangannya sangat tidak diharapkan di sini.

“Aku… ingin bertemu denganmu,” jawab Al.

Dan sedetik kemudian, Al melihat sebuah penyesalan tergambar di wajah Maya. Mungkin gadis itu menyesal telah melontarkan pertanyaan yang salah kepada pria di hadapannya. Selanjutnya, sorot mata penuh permintaan maaf terlihat oleh Al.

“Masuklah,” ujar Maya.

Kini keduanya telah duduk di ruang tamu sederhana milik keluarga Pak Dahlan. Di kursi tamu usang yang posisinya berhadapan dengan televisi berwarna keluaran beberapa tahun yang lalu. Gambarnya agak sedikit goyang. Sekilas Al melihat tayangan yang ada di benda kotak itu, masih menampilkan iklan berbagai macam barang. Ada rasa penasaran dalam otak Al, tontonan macam apa, atau film dengan genre apa yang Maya sukai. Suatu hari ia ingin mengajak gadis itu ke bioskop.

“Mau minum apa?”

Pertanyaan Maya membuyarkan lamunan Al.

“Ehm…. Tidak usah.”

Hening lagi. Maya hanya menunduk sambil memainkan ujung blousenya. Ia tak berani menatap langsung wajah Al. Ia takut, tak bisa mengendalikan rasa rindunya. Tadi belum terasa, tapi sekarang malah menjadi-jadi, rutuk Maya dalam hati.

“Aku ingin mengajakmu keluar,” kata Al.

“Kemana?”

Terlalu cepat Maya, seharusnya kau tahan dulu pertanyaan itu. Maya malah memarahi diri sendiri karena kekonyolannya di hadapan Al. Sementara Al hanya tersenyum saja melihat Maya melakukan hal itu.

“Kita lihat saja nanti,” jawab Al. “Yang jelas, aku ingin melihatmu tersenyum sepanjang malam ini.”

Oh, tidak. Itu kalimat paling romantis yang kudengar dari mulut Al, ungkap Maya dalam hati. Dan karena itulah, Maya bingung hendak bereaksi seperti apa. Ia senang, terharu, sekaligus ingin berteriak lantang. Ia ingin semua orang tahu, ia sedang jatuh cinta kepada Al untuk kesekian kalinya. Tak pernah, atau paling tidak, belum ada komitmen apa-apa di antara mereka. Tapi Maya ingin melantangkan juga kepada semua orang, bahwa Al adalah kekasihnya. Bukan kekasih orang lain atau siapapun juga.

“Kau sudah mandi, kan, Maya?!”

Itu bukan pertanyaan. Hanya sekadar membuktikan bahwa tebakannya benar. Maya mengangguk. Samar, tapi tetap terlihat oleh Al.

“Gantilah pakaianmu,” pinta Al. “Aku menunggu.”

Maya tak segera bangkit dari duduknya. Ia seolah masih mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya. Kencan pertamanya dengan Al adalah sebuah ketidaksengajaan. Ketika Al tiba-tiba mengajaknya ke sebuah taman kota. Lalu mereka duduk di sebuah bangku di tepian danau kecil di taman itu. Di sana, meluncurlah kisah tentang Maya, tunangan Al yang telah meninggal. Juga tentang mengapa Al ingin sekali menjadikan dirinya kekasih. Bagi Maya, saat itu hampir tidak bisa disebut kencan. Ada air mata setelahnya. Dan itu bukan sesuatu yang ia inginkan. Sekarang, mungkin inilah kencan pertamaku, gumam Maya.

“Maya….”

“Ehm…. Iya….” Maya gugup. “ Aku ke dalam dulu sebentar.”

Di dalam kamar, Maya langsung menghambur ke lemari pakaian di sudut ruangan. Ia membuka  kedua daun pintu lemari kayu itu. Ia menyapukan pandangan ke seluruh pakaian yang terlipat rapi di sana. Lalu ia menggeleng. Ia baru sadar, di lemari itu, tidak ada baju yang layak untuk dipakai berkencan. Semuanya adalah pakaian bekas pemberian orang. Entah siapa yang memberinya, terkadang ayahnya tidak mengatakannya. Seketika ia menjadi lemas.

Lalu pandangannya beralih ke kabin sebelah, tempat beberapa potong pakaian tergantung berderet. Ia menghela napas lagi. Menurutnya, pakaian-pakaian itu juga tidak cocok untuk mengimbangi gaya berpakaian Al. Akhirnya mata Maya tertuju pada tiga potong pakaian yang belum lama ia beli dengan tabungannya sendiri. Ia membeli tiga benda itu di pasar. Tapi ia berusaha memilih model semirip mungkin dengan yang dipakai para pesohor-pesohor yang wajahnya sering muncul di televisi. Dan memang tiga benda itu diperuntukkan untuk situasi seperti yang ia hadapi saat ini.

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar angel on forest, klik image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun