“Yoda…,” ujar Nara sambil memainkan ujung rambutnya.
“Ya…,” sahutnya Yoda yang pandangannya masih melekat pada sebuah buku di tangannya.
“Mengapa kau memilihku?” tanya Nara.
Yoda terkejut dengan pertanyaan Nara. Mau tidak mau, ia menutup buku yang sedari tadi ia baca dan meletakkannya di atas meja kerja. Ia menghampiri Nara yang tengah duduk di sofa.
“Aku tidak mengerti pertanyaanmu, Nara. Memilihmu sebagai apa?”
“Aku tahu kau mengerti maksudku. Aku ini… ehm… bukan seorang wanita baik-baik. Aku ini… pelacur kelas rendah. Tapi mengapa kau masih sudi berbicara denganku?”
“Jika yang kau maksud bicara adalah berteman denganmu, apa yang salah dengan hal itu? Bukankah aku berhak dan bebas memilih siapapun yang ingin kujadikan teman?! Dan kau, Nara…. Kau bukan sekedar teman biasa bagiku. Kau… yang telah membuatku bisa melihat seorang wanita dari sisi lain. Kau juga yang telah membuatku lebih memaknai kehadiran wanita dalam hidupku.”
“Benarkah itu?! Akhir-akhir ini, kau menjadi semakin pintar bicara, Yoda.”
“Aku tidak hanya sekedar bicara, Nara. Aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Tidakkah kau mendengar nada kejujuran dalam ucapanku?!”
“Pria terkadang berbohong demi menenangkan hati wanitanya. Aku melihat hal itu sekarang.”
Yoda menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengacak-ngacak poni Nara dan beranjak dari samping wanita itu.
“Kau selalu saja menyamakan kisahmu dengan milik orang lain. Sekali lagi kukatakan, tolong…, jangan lalukan hal itu lagi.”
“Oke. Aku tidak akan melakukannya lagi. Tapi kau seorang penulis. Aku tahu, penulis biasanya terlalu senang berkhayal. Maksudku, semakin sering kau menulis, semakin kau berkhayal sesuatu yang absurd tentang diriku. Kau menganggap aku sebagai wanita impianmu. Begitulah yang aku baca dari bukumu. Padahal aku teramat sangat tak layak menerima hal itu.”
“Aku… tak pernah menganggapmu sebagai seorang pelacur, Nara. Aku tetap menganggapmu sebagai seorang wanita seutuhnya. Apa yang terjadi padamu saat ini, aku tidak punya hak untuk mengusiknya. Kubiarkan kau dengan apa yang kau pilih. Aku menyayangimu… lebih dari yang kau tahu, Nara…. Mungkin baru kali ini aku mengatakannya, tapi kuharap kau menyadari hal itu sebelum hari ini. Dan aku menulis tentangmu, bukan berarti aku ingin kau menjadi seperti apa yang kutulis. Aku ingin semua orang tahu, bahwa seorang pelacurpun, tetaplah seorang manusia. Ia selalu menganggap dirinya tidak sempurna. Tapi ia lupa bahwa ada seseorang yang bisa membawanya menuju kesempurnaan itu.”
“Itu… terlalu berlebihan, Yoda. Aku benar-benar tak layak menerima itu semua darimu.”
“Semakin kau menolaknya, makin dekat pula hal itu menghampirimu. Kau tidak bisa hidup terus menerus dalam kesendirian, Nara. Suatu saat, kau pasti merindukan hadirnya seorang teman. Dan aku… ingin hadir mengisi peran itu untukmu. Tapi aku tidak pernah memaksakan kehendakku padamu. Tetap, kau punya hak untuk menyingkirkanku dari hidupmu. Walaupun aku tak pernah mau itu terjadi.”
Bahkan pelacur sepertikupun tetap membutuhkan seorang teman, ujar Nara dalam hati. But this is more than I expected. Yoda berhak mendapatkan yang lebih baik. Bukan wanita sepertiku yang tidak pernah memiliki masa depan. Batin Nara berkecamuk.
“Aku tahu kau berpikir bahwa aku seharusnya bersama wanita lain yang bukan sepertimu,” Yoda memulai percakapan lagi.
“Kau membaca pikiranku?!” Nara terkejut, karena apa yang dikatakan Yoda memang benar.
“Tidak. Aku bukan mind reader. Tapi aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku mengenalmu bukan satu atau dua tahun, Nara. Lebih dari itu, kan?! Dan itu waktu yang cukup untukku mengenalmu lebih jauh. Aku tahu kau sebenarnya tersiksa dengan pekerjaanmu. Dan kau ingin secepatnya lari dari kenyataan itu. Tapi semakin kau ingin lari, kau malah semakin terbelenggu dengan sumpahmu sendiri.”
“Sumpah?! Sumpah apa?”
“Kau katakan dirimu telah mati rasa. Tapi kenyataannya kau hanya ingin membalas dendam terhadap perlakuan yang kau terima di masa lalu.”
“Mengapa kau jadi membicarakan hal itu, Yoda?”
Sejenak Nara dan Yoda terdiam. Bunyi mesin pendingin udara menggantikan riuhnya percakapan mereka berdua. Yoda hanya memandang Nara dengan tatapan iba. Tapi Nara balas menatap Yoda dan seolah berteriak di antara tatapannya bahwa ia tidak butuh dikasihani. Ia hanya butuh dirinya dianggap sebagaimana mestinya, yaitu sebagai seorang pelacur jalanan. Tidak lebih. Namun Yoda tidak pernah setuju dengan hal itu.
“Nara…. Aku memilihmu karena aku yakin, kau adalah wanita yang luar biasa. Aku bisa melihat itu dari pancaran kedua matamu. Kedua mata yang selalu aku rindukan ketika kita saling berjauhan. Kedua mata yang selalu membuatku merasa nyaman di tengah kehangatan yang kau suguhkan, Nara. Kau… bukanlah seperti yang orang lain lihat.” Yoda menghela napas panjang. “Aku menunggumu… dan akan tetap menunggumu, sampai kau bisa menyayangiku dengan tulus. Aku tidak menginginkan wanita lain dalam hidupku. Aku hanya ingin dirimu.”
“Seandainya saja semua pria sepertimu, Yoda, tentu aku bisa merasakan kebahagiaan lebih awal. Rasanya aku sudah lupa bagaimana manisnya hal itu.”
Yoda kembali duduk di samping Nara. Ia merengkuh Nara ke dalam pelukannya. “Tapi jika itu terjadi, kau tidak akan pernah mengenalku, Nara,” ujarnya. “Tuhan sudah menggariskan hal ini pada hidupmu. Dan percayalah padaku, Nara. Aku bisa membuatmu kembali menikmati manisnya kebahagiaan.”
***
Sumber gambar Red Rose klik image.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H