“Aku tidak pernah mengerti jalan pikiran mereka. Maksudku, para pria. Apakah mereka selalu enggan mengingat kejadian penting dalam sebuah tanggal?” Nara tiba-tiba mengoceh di tengah hiruk pikuk kencangnya dentuman musik di sebuah ruang diskotik.
“Apa maksudmu?” tanya Yoda sembari menghembuskan asap rokok dari cuping hidungnya.
“Aku pernah mengenal seorang pria. Dulu…, jauh sebelum aku bertemu denganmu, Yoda. Katakanlah… aku dan pria itu, pernah punya cerita yang ya… cukup indah. Paling tidak, itu menurut versiku. Tapi sayangnya, keindahan itu tidak bertahan lama.”
“Apa yang terjadi dengan kalian?”
“Kami menikah.”
“Kau?! Pernah menikah?! Jangan katakan itu benar!!’ Yoda setengah tak percaya.
“Itu memang benar,” ada sedikit amarah tersirat dari ucapan Nara. “Walaupun tidak berjalan lama. Hanya dua tahun.”
“Jadi kau berpisah dengannya hanya karena ia tak mampu mengingat tanggal pernikahan kalian?” Yoda melihat Nara mengangguk lemah. “Hmm…. Itu… aneh,” sambungnya lagi.
“Hahahaha…, “ tawa lepas Nara menyeruak di antara kepulan asap rokok di ruangan diskotik. “Itu bukan penyebab utama, Yoda. Butuh lebih dari sekedar itu untuk membuatku memutuskan untuk berpisah darinya.” Nara berhenti sejenak dan meneguk bir yang tersisa sedikit di gelasnya. “Dia… tidak pernah menganggapku sebagai seorang wanita yang seharusnya ia muliakan dalam hatinya. Disamakannya diriku dengan kebanyakan wanita yang pernah ia jumpai. Ia… memaksaku untuk bertingkah seperti apa yang ia inginkan. Kau boleh menyimpulkan, aku ini hanya sekedar boneka plastik pelengkap tampilannya.”