Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jepun Rangkat 2 - Chapter Nine [ECR 4]

7 April 2012   18:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:54 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kisah sebelumnya Chapter Eight Malam sudah merangkak naik di tanah Rangkat. Semua warganya sudah terbuai alam mimpi masing-masing. Hanya para hansip yang masih terjaga untuk mengamankan desa itu. Tapi nyatanya, tidak semua warga Rangkat benar-benar terlelap. Sekar, wanita muda penjual kripik itu, masih saja terbaring dengan mata yang tidak terpejam. Sekar bangkit dari ranjang dan beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ia berharap kegundahan hatinya saat ini dapat berkurang dengan sholat malam. Selepas sholat, ia pergi ke dapur. Ia panaskan sedikit air untuk membuat teh hangat. Ia lalu duduk di salah satu kursi makan, menyesap sedikit demi sedikit teh di dalam cangkir besar sambil memandang jarum jam yang terus bergerak maju. Ia berpikir, entah akan memakan waktu berapa lama tantangan ketiga ini. Seandainya saja pagi itu ia tidak mempedulikan apapun yang terjadi di stasiun dan berlalu dengan kereta pagi menuju Jakarta, mungkin hal ini tidak perlu terjadi. “Kau belum tidur, Mbak?!” Sekar terkejut, ternyata Citra sudah berada di dekatnya. “Belum,” jawab Sekar. Citra duduk di samping Sekar. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya. “Tidak ada.” Citra merasa sedikit kasihan kepada kakaknya. Ia tahu, kakaknya pasti sedang sangat menderita. Terlalu menderita mungkin. Dan itu hanya karena satu hal yang dinamakan cinta. Seharusnya, segala hal tentang cinta adalah hal yang indah dan manis, bukan hari-hari yang diisi dengan air mata, pikirnya. “Look…. Mungkin memang seharusnya kau tidak di sini malam ini. Aku minta maaf karena sudah bersikap sangat egois terhadapmu. Aku hanya membayangkan, seandainya kau sudah berada jauh dari sini, kau akan bahagia. Aku paham, cinta sejatimu hanya pada pria itu. Walaupun ia telah membuatmu terlalu sering sakit hati. Tapi bukankah memang cinta seperti itu, sedikit menyakitkan di awal, tapi berakhir manis untuk selamanya.” Sekar tersenyum. “Yeah, I wish. Tapi ternyata cinta tidak semudah yang kau ucapkan. Dan aku pun membayangkan, jika dalam proses saling mencinta itu tidak pernah ada kata sakit atau kecewa, I think that would be nice.” Citra menggenggam jemari kakaknya, lalu tersenyum. “Aku ingin sekali mendukungmu, Mbak. Jika kau berubah pikiran dan ingin pergi kapanpun kau mau, aku tidak akan menghalangimu lagi.” “Dan membiarkan kedua pria tadi patah hati?!” Sekar menggeleng, “Tidak. Aku tidak ingin menjadi sebegitu jahatnya pada pria. Aku memang pernah merasa tersakiti, tapi bukan berarti itu melegalkan langkahku untuk membalas dendam.” Sekar menggeleng lagi. “Tidak. Sekali lagi, tidak.” “So… you stay?!” “Ya.” “Sebenarnya aku penasaran dengan tantangan ketiga yang kau berikan pada mereka.” “Kau menguping lagi?!” “Oh, I heard all of it. Maksudku… apa kau yakin dengan itu?” Sekar menyesap lagi teh yang sudah mulai dingin. Ia kembali memandang gerak jarum jam di dinding. Perlahan, tatapan matanya semakin jauh dan pikiran melayang tak tentu arah. “Aku tidak tahu, Citra. Semoga saja, aku melakukan hal yang benar.” Sekar diam lagi. “Seandainya aku mengenal kedua pria itu sebaik aku mengenal… ehm, you know who…, tentu tidak perlu ada pertandingan konyol ini. Aku hanya perlu berpikir… dan akhirnya memilih. Tapi itu pun berat, walau terlihat begitu mudah.” “Hei…. Aku berpikir soal membukukan kisahmu. Pasti akan jadi buku bestseller,” ujar Citra sambil tersenyum jahil. “Ah…. You better kill me before you do that.” Sekar berlalu dari hadapan Citra dan segera kembali ke kamarnya. Lima minggu kemudian… Pagi yang cerah telah menyapa tanah Rangkat. Awan tipis sedikit menutup matahari namun sinarnya tetap mampu memberikan terang bagi tanah Rangkat. Udara yang bergerak membuat hawa tanah Rangkat menjadi begitu sejuk. Kesejukan inilah yang sangat dinikmati oleh semua warga Rangkat, termasuk Sekar. Pukul sepuluh, Sekar sudah berada di kiosnya. Ia sudah melayani pembeli sejak dua jam yang lalu. Tidak terlalu banyak, tapi cukup membuat ia sedikit berkeringat. Citra datang tak lama setelah Bunda Enggar meninggalkan kios Sekar. Ia langsung menghempaskan diri di sofa dan melepas sepatu high heels miliknya. “Tumben kau tidak langsung pulang ke rumah,” kata Sekar sambil merapikan bungkusan-bungkusan kripik di etalase. “Ada apa?” “Tidak ada. Aku hanya ingin mampir saja kemari.” “Bagaimana pekerjaanmu?” “Melelahkan, seperti biasanya. Dan akan tambah melelahkan karena ujian akhir sudah semakin dekat,” jawab Citra. Ia mengambil segelas air dan meneguknya. “Dan… bagaimana kabar bonsai-bonsai jepunmu, Mbak?” Sekar berhenti sejenak dan memandang Citra. Ia mencari tahu maksud pertanyaan Citra yang seolah mengejeknya. “Aku tidak meledekmu, jika itu maksud tatapan matamu, Mbak. Aku hanya bertanya karena ini sudah lebih dari sebulan.” “Yang jelas, belum ada seorangpun dari mereka datang kepadaku. Entahlah…. Rasanya aku sudah mulai merasa bahwa ini akan sia-sia.” “Why?” “Aku tidak tahu,” ujar Sekar lirih. “Well…. Mungkin kau perlu tahu hal ini – atau mungkin juga tidak – tapi, aku melihat seseorang di kantor desa. Seseorang yang kau kenal dan….” “Siapa?” potong Sekar. “He’s back,” bisik Citra, lalu ia memakai kembali sepatunya. “Ya, tapi siapa?” Sekar semakin tak sabaran. “Ehm…, mungkin lebih baik kau tahu sendiri nanti. Sepertinya sebentar lagi dia akan mampir kemari. Atau mungkin juga tidak,” sahut Citra yang segera berlalu dari kios kripik Sekar. Ingin sekali rasanya Sekar melempar sesuatu ke kepala adiknya, seolah ingin menyadarkan sang adik betapa perkataannya tadi sangat menyebalkan. Tapi yang dilakukannya malah diam sambil menatap kepergian adiknya. Begitu Citra menghilang dari pandangannya, saat itu juga ia sadar bahwa sudah ada dua orang yang berdiri di depan kios. Yang satu pria dan satu lagi wanita. Ia mengenal sang pria, sangat mengenalnya. Tapi tidak dengan si wanita. Sekar bertanya-tanya dalam hati, siapa wanita itu. Ia tidak pernah sekalipun melihatnya. Ia merasa wanita itu bukanlah warga Rangkat. Dan mengapa si pria membawa wanita itu kemari? Apakah wanita itu adalah pasangannya? “Mbak, bisa tolong berikan lima bungkus kripik nangka dan tiga bungkus kripik singkong pedas untuk saya?” pinta wanita itu. --- bersambung --- Chapter Ten

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun