Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Julie Andrews's Note (Episode 10)

1 April 2012   13:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:09 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kisah sebelumnya di episode 9

William Crowe mengambil kotak terakhir dari truk dan meletakkannya di dalam gudang penyimpanan. Ini kiriman terakhir untuk malam ini. Ia dan para pekerja lainnya sedang bersiap untuk pulang. Sebelum meninggalkan tempat kerja, ia dan rekan-rekannya terlebih dulu antri untuk menerima upah minggu ini.

“Terima kasih, Mr. Dale,” ujar William.

“Gunakan uang itu dengan cermat, William,” sahut Mr. Dale.

“Oke.”

William memilih kereta bawah tanah untuk mengantarnya sampai ke Queens. Sebelum benar-benar pulang ke apartemennya, ia singgah ke kedai untuk makan malam. Namun ia mendapati kedai tempat ia biasa makan ternyata sudah tutup. Ia sedikit heran. Biasanya kedai itu buka sampai pukul dua belas malam, dan ini belum juga genap pukul sepuluh malam. Akhirnya ia berjalan sedikit jauh dari stasiun subway untuk menemukan kedai makanan yang masih buka. Dan ia menemukan kedai itu setelah berjalan kaki sejauh satu blok.

Meja di sudut kedai itu kosong. William sengaja memilih untuk duduk di situ. Entah apa sebabnya. Ia hanya tak ingin terlihat oleh pengunjung kedai yang lain. Ia menyulut sebatang rokok dan melihat ke luar jendela kedai. Gerimis turun, dan perlahan berubah menjadi hujan yang lumayan deras.

“Nampaknya kau akan berada di sini cukup lama, Tuan,” ujar seorang wanita pramusaji.

William memalingkan wajah dari jendela kedai. Ia mendapati seorang wanita yang menjadi pramusaji itu nampak sebaya dengan dirinya. Rambutnya coklat kehitaman, warnanya matanya biru pucat, sepucat rona wajahnya. William melihat wanita itu seperti menderita kelelahan yang teramat sangat. Bukan hanya lelah fisik, tapi batinnya juga kelelahan.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Ma’am?” tanya William.

“Apa?!” wanita di hapadannya terheran-heran.

“Ah, tidak. Saya pikir, Anda mirip sekali dengan seorang kawan lama saya.”

“Oh, begitu,” wanita itu mengguman. “Anda pesan apa?”

“Apa saja yang bisa membuat cacing-cacing di perutku ini berhenti berteriak.”

“Hanya tersisa, beefburger, spicy chicken wings with scrambled egg, dan onion bread.”

“Oke.” William berpikir sejenak. “Dua onion bread dan spicy chicken wings. Ehm… tanpa telur.”

“Oke. Lalu minumnya?”

Just water.”

Wanita pramusaji itu berlalu setelah mencatat pesanan William. Dan William, kembali menghisap rokoknya. Hujan di luar masih saja mengguyur New York.

Sepuluh menit kemudian, setelah satu batang rokok habis terhisap, pramusaji kedai datang membawakan makanan untuk William. Tapi kali ini bukan pramusaji yang mencatat pesanan William. Wanita itu juga berambut coklat kehitaman, tapi warna matanya hijau. Seperti warna mata Julie.

“Bill?!” ujar wanita itu setelah meletakkan piring-piring di meja.

William terkejut. Awalnya ia mengira pandangannya kabur karena kelelahan, jadi ia mengira seperti melihat Julie. Tapi ternyata, wanita itu memang Julie.

“Jules?! Apa yang kau lakukan di sini?”

Sedetik kemudian, William merasa menyesal telah melontarkan pertanyaan itu. Ia melihat Julie memakai pakaian yang sama dengan pramusaji yang satunya.

“Ehm…, aku…,” Julie tergagap.

“Maafkan aku, Jules. Aku….” William terdiam. “Duduklah.”

Julie menurut. Lagipula, kedai sedang sepi. Hanya William yang mengisi meja konsumen.

“Apa yang kau lakukan di sini, Julie?”

Pertanyaan William sebenarnya tidak sesederhana kedengarannya. Julie pun tahu maksudnya. Dan jika harus memberikan jawaban, berarti ia harus menyediakan waktu yang cukup luang untuk menceritakannya.

“Ehm…. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang.”

“Mengapa?”

“Maksudku, bukan saat ini. Setengah jam lagi jam kerjaku berakhir. Kita bisa bicara saat itu. Sebaiknya kau habiskan dulu makananmu.”

“Entahlah, Julie. Awalnya aku memang lapar. Tapi setelah melihatmu, aku hanya ingin mendengar suaramu, mengamati wajahmu, dan mencari kebenaran masa lalu.”

Julie tersenyum, dan senyum itu juga telah membuat William tersenyum.

“Jika kau tak mau memakannya, maka aku yang akan melakukannya,” sahut Julie sambil melempar senyum jahil. Ia lalu beranjak dari hadapan William.

--- to be continued ---

episode 11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun