Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jepun Rangkat 2 - Chapter Eight [ECR 4]

1 April 2012   09:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:10 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kisah sebelumnya di Jepun Rangkat Chapter 7

Citra duduk di salah satu bangku taman. Sambil mengawasi kedua pria yang sedang memunguti kuntum-kuntum jepun di tanah, ia sesekali melirik jam tangannya.

“Aku tak habis pikir,” celetuk gadis dua puluh tiga tahun itu.

“Berpikir soal apa?” tanya Hans.

“Semuanya. Tentang kakakku yang tak pernah bebas dari galaunya, tentang pria-pria yang selalu memperebutkan dirinya, tentang tantangan konyol ini. Semuanya,” jawab Citra.

Chevil berhenti memunguti jepun sejenak, “Karena kau tidak menjalaninya, Citra. Coba saja kalau kau berada di posisi kami bertiga, mungkin kau akan berpikiran lain soal hal ini.” Ia kembali memunguti jepun.

“Bang Chevil betul, Citra. Kami melakukan ini semua karena cinta. Dan cinta… kadang enggan, bahkan tidak mau sama sekali disejajarkan dengan logika dan akal sehat. Tapi bukankah seperti itulah cinta?! Kau tidak akan pernah mengerti logika cinta karena ini semua soal perasaan.”

“Seharusnya ada. Aku yakin ada. Cinta yang hanya soal memberi dan menerima, cinta yang hanya ada saling mengerti dan saling percaya. Dan bukan cinta yang melibatkan patah hati, saling mengkhianati, atau sejenisnya,” sahut Citra.

“Suatu hari kau akan mengerti apa yang terjadi saat ini, Citra,” ujar sang kades.

Citra, Chevil, dan Hans sudah kembali. Sekar sudah menanti mereka bertiga di teras rumah.

“Kita ke teras belakang saja. Tak enak dilihat warga yang kebetulan melintas,” usul Sekar yang langsung disetujui oleh Hans dan Chevil.

Sekar, Hans, dan Chevil bergegas menuju teras belakang. Citra tidak bisa ikut mendampingi karena ia harus kembali menyelesaikan pekerjaannya menilai hasil ulangan harian murid-muridnya.

Menit-menit berikutnya, Sekar sibuk menghitung jumlah kuntum-kuntum jepun. Setelah menghitung ulang sampai tiga kali, Sekar akhirnya angkat bicara.

“Aku tidak tahu apakah ini disengaja atau hanya kebetulan.”

“Ada apa, Sekar? Berapa jumlah jepun milikku?” tanya Hans yang tidak sabar.

“Kalian tidak curang, kan?!” cecar Sekar. “Kalian hanya memunguti jepun yang sudah gugur , kan?! Tidak memetik dari pohonnya atau mengambil dari tempat lain, kan?!”

“Tidak.” Hans dan Chevil menjawab hampir bersamaan.

“Aku sudah menghitung ulang sampai tiga kali.”

“Lalu?!” Kali ini Chevil ikut menjadi tidak sabar.

“Jumlahnya sama, dua puluh enam,” ujar Sekar.

“Apa?!” Lagi, Hans dan Chevil menyahut hampir bersamaan.

“Iya. Hasilnya sama. Tidak ada yang menang dalam tantangan kedua ini,” kata Sekar.

Ketiganya kini terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

“Apakah yang ini juga termasuk hitungan?” tanya Hans sambil membuka dompetnya. Ia mengeluarkan sekuntum jepun yang lain. Tapi yang satu ini bentuknya pipih karena telah terlapisi plastik laminating.

Dengan wajah heran, Sekar memperhatikan jepun pipih yang sekarang berada di tangan Hans. Ia menggeleng pelan dan berkata, “Sayangnya, itu tidak bisa masuk hitungan, Mas. Bunga itu tidak dipungut dari Taman Rangkat. Entah kau mendapatkannya dari mana.”

“Tapi ini aku sendiri yang memungutnya, Sekar. Tidakkah kau ingat saat sore sebelum malam tahun baru?”

“Ehm… tidak.”

“Pasti kau ingat. Saat itu kita sedang berjalan berdua di Taman Rangkat. Kita duduk di sebuah bangku di tepian danau, dekat rerimbunan jepun. Aku ingat kau mengatakan bahwa tempat itu adalah tempat favoritmu untuk menikmati senja di Rangkat. Tak lama setelah kita duduk, ada dua kuntum jepun yang gugur, tak jauh dari tempat kita duduk. Aku memungut salah satunya, membersihkannya, lalu menyelipkan jepun itu di telingamu. Aku masih ingat betapa bahagianya dirimu saat itu. Tapi kau melepaskan lagi jepun itu dan malah menyerahkannya padaku. Kau bilang, aku harus menyimpan kuntum itu. Kau juga bilang bahwa aku harus menjaga jepun itu… selayaknya aku menjaga hati seorang wanita agar tidak tersakiti. Aku masih menyimpan kenangan itu dalam memori otakku. Tidakkah kau juga mengingatnya, Sekar?!”

Sekar masih diam, berusaha untuk mengingat-ingat kejadian yang hampir tiga bulan yang lalu itu. “Benarkah itu?!” Rasanya ia masih tidak percaya.

Chevil sendiri bingung mendengarkan percakapan antara Sekar dan Hans. Ia memilih untuk diam saja dan berusaha untuk tidak menyela.

“Apa kau ingat,” lanjut Hans lagi, “setelah matahari benar-benar tenggelam, aku mengajakmu ke kantor pos Rangkat?”

“Kantor pos?!”

“Iya. Ketika itu aku membujuk Kang Inin agar mau melaminating jepun ini. Kau pasti ingat tentang pertengkaran konyolku dengan Kang Inin, karena aku melihat kau malah tertawa mendengarkan kami bertengkar.”

Sekar tersenyum. Nampaknya ia mulai ingat kejadian yang dikatakan Hans. Ia lalu berpikir sejenak.

“Oke. Aku masukkan jepun itu dalam hitungan. Jadi… kita sudah tahu siapa yang mendapat poin untuk tantangan kedua ini.”

“Tapi kan… jepun itu tidak dipungut dalam waktu yang sama,” Chevil berusaha protes.

“Iya, memang betul. Tapi aku yang menentukan segalanya. Aku yang membuat tantangan ini dan segala peraturannya. Dan tentu saja, aku juga berhak mengubah apapun di sini.”

Wajah Hans tampak bahagia, sedangkan Chevil hanya bisa tertunduk lesu.

“Dan untuk tantangan ketiga…. Hmm… mungkin aku tidak bisa bilang ini sebagai tantangan, karena tidak ada intelejensi atau kecekatan yang dipertarungkan.”

“Memangnya apa itu, Sekar?” tanya Chevil.

Sekar tidak menjawab. Ia malah turun dari teras dan menghampiri deretan bonsai jepun. “Kemarilah,” ia memerintah Hans dan Chevil untuk mendekat. “Silahkan kalian pilih masing-masing satu dari sekian banyak bonsai yang ada di sini.”

“Untuk apa?” kali ini Hans yang penasaran.

“Ini bonsai jepun. Kalian lihat sendiri, keenam bonsai ini belum ada yang berbunga. Silahkan pilih satu, lalu aku ingin kalian merawatnya di rumah. Jika sudah berbunga, walaupun hanya satu, bawa lagi bonsai itu kemari dan perlihatkan padaku. Siapapun yang datang padaku lebih dulu – dengan bonsai yang sudah berbunga, tentunya – maka dia yang berhak menjaga jepunku di kemudian hari.” Sekar berhenti sejenak, lalu kembali berbicara, “Ehm… aku benar-benar berharap soal kejujuran di sini. Kalian paham kan, kalian tidak bisa menentang kehendak Tuhan. Tantangan terakhir ini murni bergantung pada keberuntungan. Aku…,” Sekar berhenti untuk menghela napas panjang, “aku akan terima… siapapun dari kalian. Aku tidak akan mengubah apapun yang akan terjadi nanti.”

Hans dan Chevil mengambil masing-masing satu bonsai jepun. Lalu keduanya beranjak pulang lewat pintu samping.

Sekar melihat punggung kedua pria itu menjauh. Ada sedikit keraguan di hatinya. Ia sungguh berharap yang dilakukannya kali ini benar. Ia tidak ingin ada yang tersakiti nantinya.

--- bersambung ---

Chapter Nine

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun