kisah sebelumnya di Jepun Rangkat 2 - Chapter Six
Sekar tiba di rumah sebelum jam sebelas siang. Ia menjumpai adiknya sedang sibuk di dapur, sepertinya sedang membuat minuman.
“Kau sudah pulang, Mbak.”
“Ya. Hari ini luar biasa panas. Aku ada di teras belakang kalau kau perlu denganku.”
“Baiklah.”
Sekar berganti pakaian sejenak, lalu beranjak ke teras belakang rumah. Ia duduk di kursi kayu panjang dengan sandaran di bagian belakangnya. Ia merebahkan punggungnya ke sandaran itu dan mencoba memejamkan kedua matanya.
“Kau tidak akan bisa tidur di cuaca sepanas ini, Mbak.”
Citra datang menghampiri Sekar dengan membawa dua gelas besar iced lemon tea di kedua tangannya. Ia meyodorkan salah satu gelas itu kepada kakaknya.
“Aku tidak berniat untuk tidur,” sahut Sekar sambil menerima gelas berisi minuman dingin itu.
Citra mengambil salah satu kursi kayu dari sudut teras, lalu membawanya ke samping Sekar.
“Sekarang… lebih baik kau ceritakan padaku. Apa yang membuatmu kembali ke rumah?”
“Kau benar-benar tidak memberi tahu Mas Hans soal kepergianku?”
“Tidak.”
Citra bingung.
“Ya sudah. Bukan hal penting.”
“Jadi Mas Hans yang membuatmu urung pergi dari Rangkat?”
“Iya. Dan ada satu orang lagi.”
“Siapa?”
“Kau lihat saja nanti.”
“Dia akan kemari?!”
“Nanti, jam satu tepat.”
“Masih dua jam lagi,” gumam Citra setelah melirik jam tangannya.
“Ya.”
“Dan… kau berhutang satu cerita lagi.”
“Cerita apa?”
“Tidak mungkin tanpa alasan kau memutuskan pergi dari Rangkat.”
Sekar menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Pandangan matanya jauh ke depan, menembus benda yang ada di hapadannya. Ia meletakkan gelas lemon tea tadi di atas meja. Ia bangkit dan turun dari teras, menuju deretan bonsai jepunnya. Pohon-pohon kerdil itu belum mengeluarkan kuntum bunga.
Sambil menyiangi daun-daun yang kering pada salah satu bonsai, Sekar berkata, “Aku pergi untuk menemui seseorang.”
“Seseorang?! Siapa?” Citra ikut turun dari teras dan menghampiri kakaknya. “Apa aku kenal dia?”
“Tidak. Kau tidak mengenalnya.”
“Boleh aku tahu siapa… ehm… wanita itu?” Citra asal menebak.
“It’s him.”
“Oh, jadi orang itu adalah pria?!”
Sekar mengangguk.
“Dan dia adalah…,” ucapan Citra lebih mirip sebuah pertanyaan.
“Kau tidak perlu… mengenalnya.”
“Mengapa?”
“Karena tidak ada pengaruhnya untukmu.”
“Tentu saja ada. Orang… ehm… pria itu… telah membuatmu berencana meninggalkan Rangkat dalam waktu yang entah berapa lama. Pria itu… yang membuatmu seolah tidak mempedulikan aku lagi. Kau berniat meninggalkanku di sini, tanpa meninggalkan alasan yang jelas mengapa aku harus rela membiarkan kau pergi.”
“Cukup!!!”
Hening sejenak. Citra menunduk, tak berani memandang wajah Sekar. Ia tahu, kakaknya tidak ingin pembicaraan itu dilanjutkan. Ia bisa saja terus memojokkan kakaknya hingga mengatakan semuanya secara jelas. Tapi jika ia melakukan itu, ia takut, kakaknya akan kembali keluar dengan membawa koper. Ia sangat tidak mengharapkan itu terjadi lagi.
Suara dering ponsel milik Sekar membuyarkan keheningan.
“Tolong ambilkan ponselku,” pinta Sekar.
Citra menurut. Dia kembali ke teras dan mengambil ponsel kakaknya yang tergeletak di atas meja kecil. Sekilas ia melihat sebuah nama yang ditampilkan layar ponsel. Ia sedikit terkejut. Ia mengenal nama itu, sangat mengenalnya. Pria itu yang telah membuat hati kakaknya sakit.
“Aku akan ke dapur untuk menyiapkan makan siang,” ujar Citra sambil menyerahkan ponsel kepada Sekar.
Sekar mengangguk.
Citra beranjak ke dapur. Ia mengambil sekaleng sarden dari lemari pendingin. Ia membuka kaleng sarden sambil mengintip kakaknya dari balik kelambu tipis yang terpasang di jendala dapur. Ia berusaha menguping pembicaraan kakaknya dengan si penelepon. Samar-samar ia mendengar potongan-potongan percakapan itu. ‘Maaf, tidak bisa datang ke Bandung’. Itu salah satu potongan kalimat yang ia dengar. Siapa yang ada di Bandung? Ia bertanya dalam hati. Ah, sudah pasti lelaki itu, pikirnya.
Saat makan siang, “Jadi kau pergi dari Rangkat untuk menemui Jaka di Bandung?!” tanya Citra.
Sekar terkejut.
“Apa?!”
“Sudahlah. Tidak perlu berkelit lagi, Mbak. Aku mendengarnya.”
“Kau menguping pembicaraanku?!”
Citra mengangguk. “Tak masalah buatku jika kau memang tak ingin melanjutkan penjelasanmu. Yang penting, aku sudah tahu apa alasanmu. Aku tidak akan menyinggung soal itu lagi. Aku janji.”
“Aku…. Maksudku, dia…. Dia menawarkan diri untuk menemaniku mencari lokasi yang pas. Aku akan membuka kedai kripik di Bandung. Tapi rencana itu sepertinya harus terhenti.”
“Mengapa harus di Bandung? Mengapa tidak di Denpasar saja? Toh kita sudah sangat mengenal kota itu. Aku pun bisa membantumu nantinya.”
“Bukankah baru beberapa menit yang lalu kau berjanji tidak akan menyinggung lagi soal itu?! Aku anggap masalah di antara kita sudah selesai. Aku masih di sini. Dan tidak akan pergi kemana-mana. Aku pikir aku sudah jelas berkata kalau rencana itu gagal. Jadi bisakah kita hentikan perdebatan konyol ini? Aku akan tetap di Rangkat. Paham?!”
Lagi, Citra tak mampu membantah tatapan tajam kakaknya. Makan siang berlanjut, dan ia berusaha bersikap seolah tak terjadi pertengkaran apapun sedetik yang lalu.
Jarum jam sudah menunjukkan lima menit menjelang pukul satu siang. Sekar duduk di salah satu kursi tamu dengan perasaan cemas. Ia penasaran, apakah kedua pria itu, Chevil dan Hans, akan menepati janji mereka? Dan apakah mereka bisa menjawab dengar benar tantangan yang ia berikan tadi pagi di peron stasiun? Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Sekar.
Sepuluh menit kemudian, bel rumah berbunyi. Sekar bergegas membukakan pintu. Yang datang pertama adalah Hans.
“Selamat siang, Sekar,” sapa Hans dengan senyum ramahnya. Di tangannya tergenggam sebuah gelas dengan cairan kuning kental di dalamnya. Dan dari gelas itu, keluar bau yang menyengat penciuman.
“Kau terlambat lima menit, Mas,” sahut Sekar. “Dan bau apa pula ini? Apa kau lupa menggosok gigimu selepas makan siang, Mas?”
Hans keki mendengar pertanyaan Sekar. Belum sempat ia menjawab pertanyaan yang diajukan Sekar, muncullah Chevil.
“Selamat siang, Sekar,” sapa Chevil. Pria itu juga membawa segelas besar jus yang berwarna hijau, dengan tambahan garnish sepotong stroberi yang membuat kontras penampilan minuman itu.
“Lebih baik kita bicara di dalam saja,” usul Sekar yang diamini oleh Chevil dan Hans.
“Jadi…. Aku mulai dari Mas Hans dulu,” ujar Sekar setelah semuanya duduk nyaman di kursi tamu. “Apa yang kau bawa, Mas?”
“Ini jus buah kesukaanmu, Sekar. Jus durian,” jawabnya dengan mantap.
“Dan siapa yang mengatakan padamu bahwa aku suka durian?”
“Asih,” jawab Hans lagi.
“Baiklah. Sekarang Bang Chevil. Apa yang kau bawa, Bang?”
“Ini… jus alpukat,” jawab Chevil dengan sedikit malu-malu.
“Lalu?!” Sekar menunggu penjelasan lebih detil dari Chevil.
“Aku masih ingat ketika bulan lalu kau mampir ke warungku di pasar malam. Malam itu kau datang bersama cici Jingga. Untuk menemani sepiring ketoprak yang kuracik, kau memesan segelas besar jus alpukat dari lapak Bunda Enggar yang kebetulan bersebelahan dengan warungku. Cici Jingga sempat menyeletuk, jus alpukat tidak cocok dengan ketoprak. Dan kudengar kau bilang, itu minuman favoritmu, kau tidak peduli soal cocok atau tidaknya dengan makanan yang kau makan.”
“Oke. Jadi kita sudah tahu siapa pemenangnya,” ujar Sekar sambil mengambil gelas berisi jus alpukat. Ia menyesapnya sedikit. “Ini enak.”
“Lalu bagaimana dengan jus durian ini?” tanya Hans dengan sedikit kesal.
“Silahkan mas Hans coba sendiri bagaimana rasanya.”
Dengan sedikit menggerutu, Hans meminum sedikit jus durian itu. Dan wajah Kades itu langsung berubah seperti orang yang mengalami mual-mual.
“Aku memang suka durian, Mas. Tapi bukan berarti buah itu sama lezatnya ketika berubah jadi segelas jus.”
“Ya sudah. Aku mengaku kalah,” ujar Hans. “Lalu apa tantangan yang kedua?”
“Citra!” Setengah berteriak, Sekar memanggil adiknya.
Sesaat kemudian, Citra sudah bergabung di ruang tamu. “Ada apa, Mbak?”
“Aku ingin kau menemani Mas Hans dan Bang Chevil pergi ke Taman Rangkat.”
“Taman?! Untuk apa?” tanya Citra heran.
“Kau akan mengawasi mereka selama sepuluh menit. Mereka akan memungut kuntum jepun yang sudah jatuh. Dan jangan sampai mereka mengambil kuntum yang masih menempel di pohon.”
“Weird.”
“Please…,” Sekar memohon.
“Oke.”
Berangkatlah ketiga orang itu – Citra, Chevil, dan Hans – ke Taman Rangkat. Tinggallah Sekar sendirian di ruang tamu sambil menikmati sisa minuman favoritnya.
--- bersambung ---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H