kisah sebelumnya di Jepun Rangkat
Jepunku hampir menemukan tuannya. Aku sudah bisa berani memastikan hal itu. Tapi nyatanya, kisahku belum boleh berakhir. Aku harus merangkai goresan warna-warni di atas perkamen kehidupan. Masih banyak yang bisa kulukis di atasnya. Dan masih banyak hal indah di luar sana yang mampu menginspirasi kisahku. Aku harus melangkah lagi. Menemukan sesuatu yang layak aku tukar dengan waktuku. Aku harus pergi dari sini.
Citra setengah berlari ketika keluar dari kamar kakaknya. Buru-buru ia mengunci semua jendela dan pintu rumah. Lalu ia berjalan secepat mungkin menuju Pasar Rangkat. Ia sadar, jika ia memilih untuk berlari, pasti orang-orang akan heran kepadanya. Berlari memang lebih cepat, tapi itu akan menimbulkan banyak pertanyaan di benak orang lain, pikir Citra.
Sampai di kios kripik, Citra langsung menyeret Sekar untuk duduk di sofa.
“Apa kau akan pergi, Mbak?” Citra langsung ke inti masalah.
“Pergi?! Apa maksudmu, Dik? Aku tidak kemana-mana,” sahut Sekar yang kebingungan melihat tingkah adiknya.
“Aku tahu kau bohong, Mbak. Katakan! Kau akan pergi kemana kali ini?”
“Citra…. Ada apa denganmu, Dik?” tanya Sekar sambil mengambil segelas air dari teko. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya sambil menyodorkan gelas itu pada Citra. “Tenangkan dulu dirimu. Lalu ceritakan semuanya dari awal. Pelan-pelan. Aku akan mendengarkan.”
Citra menerima gelas dari Sekar dan segera meneguk habis isinya. Ia letakkan kembali gelas itu di meja yang ada di samping sofa.
“Ini,” ujar Citra sambil mengeluarkan selembar kertas dari kantong celana jeansnya. “Aku tidak sengaja melihat kertas itu ketika hendak menyapu lantai kamarmu. Kertas itu tergeletak begitu saja di atas mejamu. Dan itu benar-benar memancingku untuk membacanya.” Citra berhenti sejenak dan menarik napas panjang. “Benarkah kau akan pergi, Mbak?” Nadanya kali ini ibarat seorang adik yang akan kehilangan kakaknya untuk waktu yang sangat lama.
Kali ini Sekar bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan adiknya.
“Citra…. Aku tahu ini terdengar tak adil untukmu. Ketika aku sudah membawamu untuk tinggal di Rangkat, aku malah ingin pergi dari sini. Tapi itu memang benar. Aku memang akan pergi dari sini untuk sementara waktu.”
“Berapa lama? Sampai kapan? Kemana kau akan pergi, Mbak?” Air mata Citra sudah tak terbendung lagi.
“Tenanglah, Adikku. Aku masih akan berada di Rangkat untuk beberapa minggu ke depan. Nanti, bila saatnya tiba, aku pasti akan mengatakannya padamu. Kau tidak perlu khawatir. Aku yakin kau bisa menjaga dirimu sendiri.”
“Mbak…. Mengapa kau bicara seolah kau tidak akan pernah kembali ke Rangkat lagi? Ada apa sebenarnya? Bukankah kau sudah merasa bahagia di sini?! Walaupun kau tidak sedang bersama siapapun saat ini. Tolong katakan, Mbak! Untuk apa kau pergi dari Rangkat?”
Sekar tidak menjawab pertanyaan Citra. Ia hanya memandang wajah sedih adiknya. Ia rapikan poni Citra yang berantakan lalu menggenggam tangan adiknya.
“Pulanglah, Citra. Jangan kau risaukan hal itu lagi. Please….”
Sekar sedikit memaksakan senyumnya. Ia ingin adiknya tidak mengkhawatirkan keberadaan dirinya atau selembar kertas putih yang kini berada di tangan adik kesayangannya. Semuanya harus sesuai dengan rencana, pikir Sekar, tidak boleh ada yang meleset.
“Mbak…,” Citra memohon.
“Pulanglah…. Hurry….”
Citra pulang dengan kekecewaan besar. Sebelumnya ia berharap kakaknya mau menjelaskan apa maksud tulisan di kertas itu. Langkahnya gontai menuju rumah. Ia tidak mempedulikan sapaan orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Tapi, tiba-tiba saja ia menghentikan langkahnya. Sejenak ia berpikir. Lalu ia kembali melanjutkan langkah kaki jenjangnya, tapi bukan untuk menuju rumahnya. Ia sedang menuju tempat lain, tepatnya rumah seorang warga Rangkat.
“Ia harus tahu hal ini. Mungkin dengan cara ini akan membuat Mbak Sekar mengurungkan niatnya untuk pergi dari Rangkat,” gumam Citra.
--- bersambung ---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H