Maya melangkah keluar rumah untuk menuju tempat kerjanya. Bukan gedung kantoran atau mini market dengan merk tertentu, hanya sebuah ruas jalan ibukota yang ramai lalu lalang kendaraan, bahkan ketika semua manusia terlena oleh bunga tidur mereka. Tapi tidak dengan Maya. Ia tidak boleh menikmati mimpi indah karena ia harus bekerja. Inilah saatnya ia mengadu nasib dan mempertaruhkan dirinya demi sesuap nasi untuk esok hari.
Sekarang baru jam sembilan lewat dua puluh menit. Suasana di sekitar rumah Maya sudah teramat sepi. Ada dua orang pemuda sedang nongkrong di warung Bu Sari, tak jauh dari rumah Maya. Ia tahu, dua pemuda itu sedang membicarakan dirinya. Siapa yang tidak? Sementara orang – orang di sekitar tempat tinggalnya sudah tahu apa pekerjaannya. Maya hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.
Maya menumpang ojek untuk sampai ke ruas jalan Teuku Umar. Di ruas jalan itu, Maya harus mendapatkan rupiah untuk dirinya. Terkadang ia takut, dan itu mungkin seonggok rasa takut yang wajar, mengingat apa yang ia lakukan bukanlah sesuatu yang “bersih”.
Malam merayap tak kenal ampun, menyisakan dingin di tubuh indah Maya. Tubuh yang hanya terbalut pakaian minim itu menggigil. Namun Maya berusah keras menyembunyikannya. Ia tidak ingin dianggap lemah oleh rivalnya.
Pagi hampir menyapa bumi yang menjadi pijakan Maya. Sampai saat itu, ia belum mendapat satu pelangganpun. Rekan – rekan yang lain sudah mendapat paling tidak satu pelanggan malam ini. Bukan karena Maya tidak terlalu memaksakan diri untuk mendapat perhatian pelanggan. Hanya saja ada yang terasa aneh baginya malam ini. Seperti ada suara yang menyuruhnya untuk duduk diam dan tak bergerak. Tapi itu tidak mungkin, ia harus mendapat uang. Dan itu tidak mungkin terjadi jika ia hanya diam.
“Maya…. Aku dan Susi pulang duluan ya,” ujar Diana yang sudah bersiap dengan sepeda motornya.
“Oke,” sahut Maya singkat.
“Kau juga harus pulang, May. Ini sudah hampir subuh,” saran Susi.
“Iya, aku tahu. Aku hanya ingin tinggal sebentar lagi,” tukas Maya.
Diana dan Susi berlalu dari hadapan Maya. Ia mematikan rokok terakhir yang ia punya malam ini. Di dompetnya hanya ada uang seribu rupiah. Dan Maya bingung, apakah uang itu untuk membeli makanan atau sebatang rokok? Atau ia pertahankan saja uang itu? Maya tak dapat berpikir.
Maya sudah akan melangkah pulang ketika pria itu menghampirinya. Sontak, ia terkejut. Tapi juga menyimpan sedikit harapan pada pria itu. Siapa tahu saja, pria itu bersedia memakai jasanya.
“Ikutlah denganku,” ujar pria itu sambil menggenggam jemari Maya dan mengajaknya menaiki sebuah sepeda motor.
“Kita akan ke hotel mana, Mas?” tanya Maya di tengah perjalanan.
“Kau lihat saja nanti,” jawab pria itu.
Perjalanan itu tidak memakan waktu lama. Sang pria membawa Maya menyusuri pemukiman padat di sekitar jalan Waturenggong, Denpasar. Setelah melewati jajaran rumah - rumah kos, pria itu menghentikan motornya di depan sebuah rumahmungil. Maya menebak, itu hanya rumah kontrakan.
Si pria mengajak Maya memasuki rumah itu. Ia mempersilahkan Maya duduk di sofa ruang tamu. Lalu si pria beranjak ke ruangan di bagian belakang rumah.
Maya keheranan melihat tingkah pria itu. Untuk apa pria itu mengajaknya kemari? Mengapa pria itu tidak langsung saja menjamah dirinya? Ah, mungkin ia perlu persiapan dulu, pikir Maya.
Pria itu kembali dari ruang belakang dengan membawa secangkir minuman. Ia menyodorkan teh hangat itu kepada Maya. Maya meninumnya karena memang ia kehausan. Dan pria itu hanya memperhatikan Maya tanpa sepatah katapun.
“Ini rumahmu?” tanya Maya.
“Ya.”
“Rumah kontrakan?” tanya Maya lagi.
“Tidak. Ini milikku sendiri,” jawab pria itu.
Hening kembali merajai percakapan antara Maya dan pria itu. Maya ingin menanyakan lebih banyak pertanyaan lagi, tapi ia ragu. Nampaknya pria itu adalah pria baik – baik.
“Mas….”
“Ya….”
“Apa bisa kita mulai sekarang?” tanya Maya dengan hati – hati agar tidak menyinggung pria itu. “Ini sudah hampir pagi,” sambung Maya lagi.
“Hmm…. Ini memang sudah pagi, kan?!” sahut pria itu. “Siapa namamu?” tanyanya.
“Maya.”
“Maya…. Apa yang kau pikir ketika melihatku tadi?”
“Aku pikir… kau sama seperti yang lain. Tapi ternyata…. Aku tidak tidak tahu, Mas. Aku bahkan tidak tahu siapa dirimu. Dan aku pun tak tahu untuk apa kau membawaku kemari.”
Maya menunduk dan tak terasa, air matanya meleleh membasahi pipinya yang masih terbubuhi riasan.
Pria itu duduk mendekat ke arah Maya. Ia menyentuh dagu Maya perlahan dan mengangkatnya. Ia melihat paras ayu Maya yang tertutup riasan tebal. Air mata masih saja mengalir dari sudut mata Maya. Pria itu segera menghapusnya. Dan… mencium bibir Maya. Mereka berdua berpagutan tanpa ada yang bisa melarang.
“Sudah berapa pria yang menciummu, Maya?”
“Aku tidak pernah menghitungnya, Mas. Mungkin sudah ratusan. Tapi…,” Maya menghentikan ucapannya.
“Tapi apa?!”
“Aku belum pernah merasakan ciuman seperti milikmu, Mas.”
“Yang seperti apa?”
“Entahlah. Sulit untuk menjelaskannya, Mas. Yang jelas, aku tahu, itu bukan nafsu semata.”
“Hmm…. Mungkinkah itu cinta?”
“Cinta?! Aku tidak tahu itu. Dan aku tidak pernah tahu apa itu cinta. Bagiku, cinta adalah lenguhan napasku untuk para pejantan di luar sana. Cinta adalah setiap tetes keringatku demi lembar – lembar rupiah yang akan menghidupiku beberapa hari. Cinta adalah geliat dan gelinjang tubuhku di atas ranjang reot losmen murahan. Jika bukan itu yang kau maksud, maka aku tidak tahu apa itu cinta, Mas.”
Ada kemarahan ketika Maya bicara. Si pria bisa melihat itu, tapi ia tidak mencegahnya. Ia membiarkan wanita di sampingnya menumpahkan beban yang sepertinya sudah lama tak pernah tersentuh.
“Pulanglah. Aku akan menelepon taksi untuk mengantarkanmu sampai ke rumah. Dan ini…. Ini untukmu. Aku rasa cukup untuk beberapa hari,” ujar pria itu sambil menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan kepada Maya.
“Ah, tidak. Kau belum berbuat apa – apa padaku. Kau tidak perlu membayarku. Apalagi dengan uang sebanyak itu. Aku tidak mau berhutang kepada orang asing,” tukas Maya.
“Aku ikhlas memberi uang itu untukmu. Kalau uangmu sudah habis, datanglah lagi kemari. Kau sudah tahu jalan masuknya. Aku tidak akan mengunci pintu untukmu, Maya.”
Pria itu beranjak dari samping Maya.
“Mas….”
“Ya?!”
“Aku belum tahu namamu.”
Pria itu tersenyum dan menjawab, “Panggil saja Andara.” Lalu ia masuk ke kamar dan mengunci pintunya dari dalam.
Beberapa menit kemudian, taksi datang dan membawa Maya pulang.
Enam tahun kemudian…
“Happy Anniversary, Sayang. Ini tahun ketiga pernikahan kita. Semoga cinta kita bisa bertahan sampai maut memisahkan kita,” ucap Andara kepada istrinya yang tengah mengandung.
“Terima kasih, Mas.”
“Apa kau bahagia, Maya?”
“Jika bahagia itu berarti selalu di sampingmu, maka ya, aku sangat bahagia.”
“Aku pun bahagia jika kau bahagia, Maya.”
“Aku masih saja membayangkan, jika malam itu kau tidak menemukanku…. Entah di mana aku sekarang, Mas.”
“Sudahlah, Maya. Jangan kau ingat lagi masa lalu itu. Sekarang kita sudah bersama, dan aku harap, kita akan terus bersama.”
@----@----@
Note : Cerpen ini adalah versi pertama cerpen kolaborasi dengan Ari Jaka. Namun setelah melakukan "pertempuran" selama beberapa hari, lahirlah versi kedua dari cerpen ini yang jauh lebih colorful dan jauh lebih menarik. Semoga bisa menginspirasi :)
gambar nyomot dari pakde google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H