Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jepun Rangkat - Part 1 [ECR 4]

9 Februari 2012   17:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:51 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di malam yang sesunyi ini

Aku sendiri, tiada yang menemani

Akhirnya kini kusadari

Dia telah pergi tinggalkan diriku

Adakah semua kan terulang kisah cintaku yang seperti dulu?

Hanya dirimu yang kucinta dan kukenang

Di dalam hatiku takkan pernah hilang

Bayangan dirimu untuk selamanya…

Alunan suara Ariel, sang vokalis Peterpan, menggema dari headset milik Sekar. Ia terduduk di sofa di kiosnya. Pandangannya jauh dan pikirannya melayang. Ia merunut kisahnya sendiri yang sudah ia lalui bersama Jaka. Banyak hal manis kala itu. Dan Sekar ingin sekali mengalaminya lagi sekarang.

Sekar ingat bagaimana malam itu menjadi malam yang terindah dalam hidupnya, ketika ia dan Jaka berdansa dengan iringan nyanyian alam dan diterangi sinar bulan purnama. Ia masih ingat betul manisnya ciuman lembut yang mendarat sempurna di bibirnya. Dan, terasa masih segar dalam ingatannya ketika Jaka mengatakan “I Love You”. Akankah semua hal itu kembali mewarnai hari – harinya? Ia sendiri tak tahu jawabannya.

“Mbak Sekar…,” sapa Ajen.

Rupanya Sekar tidak mendengar sapaan dari Ajen. Ajen sampai harus menepuk bahu Sekar.

“Mbak Sekar. Kok melamun?!”

Sekar tergagap. Ia segera melepas headset dari kedua telinganya.

“Eh, ada Ajen. Mau beli kripik ya?!”

“Iya, Mbak. Kripik nangkanya ada?”

“Ada. Mau berapa bungkus?”

“Lima.”

Selesai melayani Ajen, Sekar kembali memasang headset di telinganya. Di putarnya kembali lagu dari Peterpan, berulang – ulang, tanpa bosan. Sampai ia tersadar sendiri, hari sudah beranjak senja. Pasar sudah sepi. Sudah banyak kios yang tutup. Bahkan kios pulsa Bunda Yety pun sudah tutup. Buru – buru Sekar merapikan kios dan menutupnya.

Malam merayap di atas langit Rangkat. Sekar baru sampai di rumah dan langsung menuju kamarnya. Ia menangis. Entah sudah berapa malam ia lewati seperti ini, ia tak sanggup menghitungnya. Seberapa kerasnya ia berusaha untuk tidak membiarkan air matanya jatuh, tetap saja, ia tidak bisa.

***

“Aku merasa sudah tidak sanggup lagi menunggu, Mbak,” ucap Sekar kepada Asih.

“Bertahanlah sebentar lagi, Sekar. Ia pasti akan kembali padamu. Aku yakin itu.”

“Kau bisa seyakin itu, Mbak?”

“Iya. Walaupun aku tidak begitu mengenal Jaka, tapi aku yakin, kaulah cintanya, Sekar.”

“Benarkah?! Karena aku sendiri tidak yakin dengan itu, Mbak. Aku merasa ia semakin jauh dariku. Aku tidak bisa menyentuh hatinya lagi. Aku berusaha mencari tahu, apa yang salah dengan diriku. Mungkinkah aku yang tidak bisa mempertahankan hubungan itu? Sehingga ia mengejar gadis lain.”

“Tidak, Sekar. Kau tidak salah.”

“Lalu mengapa aku harus menunggu sekian lama untuk mendengar jawabannya, Mbak? Jika memang ia tak ingin bersamaku lagi, harusnya ia katakan sejak lama. Bukan malah membiarkanku dengan setumpuk ketidakpastian. Aku lelah menunggu, Mbak.”

“Sabarlah, Sekar. Bertahanlah sedikit lagi.”

***

“Mbak Sekar….”

“Ya. Ada apa, Citra?”

“Eng…. Tadi sore, ketika aku sedang berbelanja di toko roti Mbak Mahar, aku mendapat ini dari seseorang. Ia bilang, aku harus menyerahkannya kepada Mbak Sekar.”

“Siapa dia?”

“Aku tak bisa mengatakannya, Mbak. Karena ia melarangku. Kau akan tahu siapa dia setelah membaca isi surat itu.”

Citra segera berlalu dari hadapan kakaknya setelah menyerahkan surat itu. Ia tahu, kakaknya butuh sedikit privasi untuk membacanya.

Sekar menerima sepucuk surat dari tangannya adiknya. Ia segera membukanya dengan rasa penasaran yang besar.

Dear, Sekar…

Aku minta maaf dengan hal yang terjadi di antara kita akhir – akhir ini. Sungguh bukan maksudku untuk menyakitimu. Jika aku menghindarimu, itu hanya karena aku masih ragu dan takut.

Sering aku mengutuki diriku sendiri. Betapa mudahnya aku jatuh cinta kepada gadis lain, sementara aku masih memilikimu. Aku tak ingin kau pergi, tapi nyatanya kesalahanku sendiri yang membuat kau pergi.

Aku ingin bisa bicara lagi denganmu. Temui aku di Taman Rangkat. Datanglah ketika mentari hendak beradu dengan horizon barat. Dan carilah aku di antara kuncup bunga yang kau suka. Aku akan berada di sana, menunggumu.

Jaka

--- bersambung ---

part 2

Note : Saat ini Desa Rangkat sedang mengadakan proyek "Pojok Baca Rangkat". Untuk info lebih jelasnya silahkan klik di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun