Sudah pukul enam sore. Frea, gadis tiga belas tahun itu meletakkan buku dongeng milik adiknya, Molly, yang masih berumur empat tahun. Molly sekarang sedang disuapi melon oleh ibunya. Frea masuk ke kamarnya. Ia ingat, PR Matematika yang tadi siang ia kerjakan, belum tuntas. Masih ada empat nomor lagi.
Sebenarnya, bukan ia yang sengaja menunda menuntaskan tugasnya. Tapi, tadi pensilnya patah. Pun sudah teramat pendek. Ia keluar kamar dengan membawa dua pensil baru. Rautan pensil ada di kamar kerja ayahnya – tidak boleh dibawa ke ruangan lain, titah sang ayah. Jadi, tiap hendak meraut pensil, Frea harus ke kamar ayahnya, yang mana kamar itu harus melewati zona bermain sang adik di ruang tengah. Siang itu Molly merajuk, tidak mau ditemani ibunya. Molly ingin Frea duduk di sampingnya dan membacakan buku dongeng, seperti yang sering ia lakukan. Frea menghela napas. Pensil-pensilnya yang masih utuh itu ia masukkan ke kantong jaket.
Sang ayah baru akan pulang larut malam nanti. Hari ini Mr. Broderick bertugas di rumah sakit sampai pukul sebelas malam. Itu berarti Frea bisa bebas menjelajah kamar kerja ayahnya. Frea suka aroma buku-buku tua koleksi ayahnya. Buku-buku kedokteran, novel-novel, majalah-majalah terbitan belasan tahun yang lalu, dan belakangan, Mrs. Broderick menambahkan satu rak lagi di sudut ruangan untuk buku-buku dongeng Molly yang sekarang jumlahnya sudah mencapai ratusan. Lebih cocok jadi perpustakaan alih-alih kamar kerja, pikir Frea.
Frea tersandung salah satu buku dongeng Molly yang tergeletak di lantai. Ia meringis. Ujung ibu jari kakinya terantuk sudut buku yang lancip. Buku itu terbuka, dan sekilas Frea melihat gambar para tokoh dongeng tersebut. Ada sang putri, pangeran, makhluk perpaduan naga dan kuda, beberapa kurcaci, dan pohon-pohon bonsai yang bisa bicara. Frea sendiri sudah sekitar lima kali membacakan buku itu untuk Molly.
Mengabaikan nyeri pada jarinya, Frea terus saja melenggang ke meja kerja ayahnya. Di sana rautan pensil itu diletakkan. Frea memutuskan akan langsung ke kamarnya untuk menyelesaikan PR Matematika. Masih ada besok untuk menyambangi buku-buku tua di ruangan ini, pikirnya.
Batang pensil sudah masuk ke lubang rautan. Tapi, tiba-tiba saja ada udara yang bergerak di depan wajah Frea. Poninya berantakan. Matanya kemasukkan debu. Sejenak Frea bingung dengan apa yang terjadi. Lalu, ia melihat jendela ruangan itu belum ditutup.
Ah, Mom pasti terlalu sibuk sampai lupa menutup jendela kamar kerja Dad, pikirnya.
Frea menutup jendela, lalu kembali meraut pensilnya. Namun, tiap putaran yang ia buat, ada bunyi aneh menyertainya. Bukan, bukan dari rautan pensil. Di telinga Frea, suaranya terdengar seperti dari sudut ruangan. Suara yang mirip deritan engsel pintu yang lama tidak diminyaki.
Tangan Frea berhenti sejenak. Telinganya berusaha menangkap sesuatu yang janggal. Tapi, tidak terjadi apa-apa. Kamar kerja itu kembali sunyi.
Frea selesai dengan batang pensil pertamanya. Kini, batang pensil kedua mulai ia raut. Dan, bunyi derit itu kembali!
Lalu, BLAARRRR!!!
Frea terlonjak. Bagaimana mungkin kilat datang menyambar dengan tiba-tiba, padahal langit sedang teramat cerah? Buru-buru ia keluar dari kamar kerja ayahnya dan bertanya pada ibunya.
“Mom, did you hear that?” Napas Frea tersenggal-senggal.
“Hear what?” Mrs. Broderick menatap Frea keheranan. “Kau keliatan seperti baru saja berlari sepuluh mil, Frea. Apa PR-mu sudah selesai?” tanya ibunya lagi yang sudah kembali menyuapi Molly.
“Be… lum…,” gumam Frea. Kakinya masih terpaku di lantai. Otaknya mencoba merekonstruksi apa yang terjadi di ruang kerja ayahnya.
Kamar kerja Dad mulai berhantu, simpulnya.
Frea kembali masuk ke kamar kerja ayahnya. Ia berjongkok, mengambil pensil yang jatuh ke lantai. Dan ketika bangkit, di hadapannya tersaji pemandangan yang tidak biasanya. Pensilnya kembali jatuh ke lantai.
“Halo, Frea,” sapa sosok wanita di depannya. Lalu, pintu tertutup begitu saja, seolah ada tangan tak kasat mata yang mendorong.
Rahang Frea bergerak-gerak, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu, matanya tidak asing dengan beberapa sosok yang kini berdiri di depannya. Terlalu familier, malah. Si wanita memakai gaun pesta berwarna biru muda yang terlihat mewah, kerlap-kerlip di sana-sini, rambut pirang panjang dikepang rapi dengan hiasan bunga-bunga yang nampak seperti aslinya, juga sepatu berwarna senada dengan gaunnya. Di samping si wanita, si pria memakai baju ala pangeran dari negeri dongeng. Lalu, di belakang mereka ada sekitar lima kurcaci dengan pakaian lusuh dan terkena noda lumpur. Semuanya bertopi, dengan warna yang berbeda-beda. Kemudian ada makhluk yang merupakan perpaduan naga dan kuda – dari perut ke atas menyerupai naga, lalu sisanya berbadan kuda. Dan di kaki naga-kuda itu ada pohon kecil dengan daun yang cukup rimbun mirip pohon oak.
Tapi oak itu terlalu kecil. Dan semuanya terlalu familier, ulang benak Frea.
Lalu, tumit Frea terantuk sesuatu yang tergeletak di lantai. Frea melirik ke bawah. Buku dongeng Molly masih di sana, masih terbuka halamannya. Tapi, Frea tidak mendapati gambar para tokohnya di halaman itu.
Frea kembali memandang sosok-sosok di hadapannya. “Apa kalian….”
“Ya, ya, ya. Kami memang keluar dari buku dongeng. Ala kazam!” Si pria menggerak-gerakkan tangannya seolah hendak menakut-nakuti anak kecil.
Lalu, PLAAAKK!!!
“Aww….” Kepala si pria ditampar dari bekalang oleh si wanita.
“Sopanlah sedikit, Edward,” kata si wanita. “Maafkan sepupuku, Frea. Ia kadang suka seenaknya sendiri kalau bicara. Maklumlah, ia terlalu sering bergaul dengan para Troll.”
“Sepupu?” Dahi Frea mengernyit.
“Ya,” sahut si wanita. “Kenapa? Ada yang salah dengan hal itu?” Giliran ia yang bingung.
“Tidak. Maksudku, kalau memang kalian keluar dari buku dongeng adikku, berarti kau adalah Putri Ilana dari Kerajaan Barat. Dan kau,” Frea menunjuk si pria, “adalah Pangeran Edward dari Kerajaan Timur.”
“Dan kami adalah kurcaci dari Hutan Grimmlock,” sahut si topi merah.
“Dan aku adalah Horgon. Juga dari Hutan Grimmlock,” tambah si naga-kuda.
“Kami bangsa Trepeak, bonsai yang bisa bicara, juga dari Hutan Grimmlock,” ujar si bonsai oak.
“Tapi…, sepupu?” Frea tidak mengindahkan si naga-kuda, si bonsai oak, dan kurcaci-kurcaci berpakaian lusuh itu.
“Kami punya kehidupan yang tidak diketahui pembaca, Frea. Pembaca sepertimu hanya tahu apa yang tertulis di buku. Kalian tidak pernah tahu pohon silsilah keluarga kami. Ayahku dan ayah Edward bersaudara. Tapi, masing-masing mendapat warisan wilayah yang berjauhan. Ayahku mendirikan Kerajaan Barat, dan ayah Edward mendirikan Kerajaan Timur. Tapi pencipta kami ternyata punya pikiran berbeda. Yah, seperti yang kau baca sendiri,” jelas Ilana.
“Tapi, kalian memang seharusnya jadi pasangan kekasih yang menikah di akhir cerita, kan?!”
“Oh, come on, Frea. Apa kau tidak bosan membaca cerita kuno semacam itu?” tanya Edward.
“Terjemahannya,” tukas Ilana, “kami yang bosan mendapat peran seperti itu di buku-buku dongeng.”
“Bosan?” Frea makin bingung.
“Pernah nonton Night at the Museum?” tanya Edward.
Frea mengangguk pelan.
“Seperti itulah kami,” sambung Edward.
“Kalian hidup di malam hari?”
“Ya. Ehm, tidak. Maksudku, ya, kami keluar dari buku, kami hidup, atau apa pun sebutan kalian. Tapi, tidak selalu malam hari.”
“Maksud Edward,” potong Ilana, “kejadian seperti ini hanya berlangsung ketika kalian tidak ada di rumah. Kami sering menonton televisi, memutar beberapa DVD, membaca buku-buku ayahmu….”
“Mencicipi pai apel yang lezat,” tukas si kurcaci bertopi biru.
“Kau makan pai?!” tanya Frea, dan si kurcaci pun mengangguk. “Pantas saja Mom selalu mengira rumah ini dihuni tikus-tikus raksasa karena pai apelnya selalu hilang tanpa bekas.”
“Tapi, Frea,” Ilana memotong lagi, “kau pasti tahu bahwa bukan tanpa tujuan kami menampakkan diri di hadapanmu. Kami menempuh risiko yang besar. Bisa saja kau ketakutan melihat kami muncul, lalu kau bercerita pada ayah-ibumu, lalu mereka tidak percaya dan akhirnya menganggap kau adalah anak aneh yang punya daya khayal berlebihan.”
“Owh, kalian tidak perlu khawatir dengan itu,” kata Frea. “Aku sudah terbiasa dianggap seperti itu. Tambahkan saja huruf K di belakang namaku, lalu kau akan tahu maksudnya.”
Edward tertawa. “Tidak, Frea. Aku bahkan tidak berpikir ke situ.”
“Lantas, apa mau kalian?” tanya Frea.
“Sudah kubilang, kan, kalau kami sedang bosan?!” Edward memungut pensil Frea dari lantai. “Aku penasaran, bagaimana reaksi pembaca jika melihat seorang pangeran dari abad delapan belas ternyata adalah penggemar gokart dan suka menonton Spongebob Squarepants.”
Frea memutar bola matanya. “Gokart belum ditemukan saat itu, Edward. Dan, kau terlalu tua untuk menonton Spongebob.”
“Aku tidak peduli.” Edward menyodorkan pensil di tangannya kepada Frea. “Ambil kembali pensilmu, Frea. Tulis sesuatu untuk kami. Sesuatu yang bukan putri-dan-pangeran-bertemu-lalu-menikah-dan-hidup-bahagia-selamanya. Tulis saja. Kau punya jagat raya yang luas di kepalamu.”
“Baiklah. Akan kutulis sesuatu tentang kalian,” ujar Frea.
“Tapi, sebelum itu,” ujar Ilana, “bukankah kau punya PR Matematika yang harus dikerjakan?”
Frea meringis. “Yeah, Matematika.”
Kabut tebal kemudian menyelubungi Ilana, Edward, dan makhuk-makhluk lainnya. Dengan satu kedipan mata, kamar kerja itu kembali lengang.
Untuk melihat karya teman-teman yang lain, silakan menuju artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H