Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peran First Reader Bagi Penulis

13 Februari 2015   15:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:16 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1423791703308640598

Beberapa hari terakhir, saya lagi kumat jahilnya. Paling enggak, udah dua kali saya aplot screenshot dari naskah-naskah yang typo. Kesalahan mereka nggak cuma kesalahan biasa kayak seputar salah ngetik kata atau salah membedakan ‘di’ sebagai kata depan dan ‘di’ sebagai awalan. Kesalahan mereka cukup fatal dan bikin jempol saya gatel buat aplot di sosmed. (penasaran ya typo-nya apaan? hihihi… liat aja di akun sosmed saya)

Komentar yang nongol pun beragam, mulai dari ketawa miris sampai ngakak kejang. Bahkan ada teman yang ngatain saya terkena sindrom. Entah sindrom apa yang dia maksud. Dan, ada juga ngasi komen dengan sebuah pertanyaan, “Ini kalo yang punya naskah tau usahanya dipamer-pamerin gimana rasanya ya?”

Dari situ saya langsung ngerasa kayak ditimpuk cireng sebaskom dan bikin saya jadi mikir keras. Iya yah, kok saya jahat banget ngaplot potongan naskah mereka tanpa izin, meskipun saya nggak mencantumkan nama penulisnya.

Tapi saya nggak nyesel ngaplot typo mereka. Jahat, memang, tapi saya punya maksud di balik tindakan itu. Saya berharap mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama sebelum mengirimkan naskah ke penerbit. Itu berlaku untuk si pemilik naskah dan juga para penulis pemula yang sedang berjuang mengantarkan naskah mereka menuju kesuksesan.

Yah, sebenarnya bisa aja sih saya langsung ngasi tau penulisnya soal typo itu, plus ngasi tips n trick biar nggak melakukan kesalahan yang sama. Tapi, mungkin ilmu itu hanya akan dinikmati oleh satu orang. Atau paling banter ya cuma beberapa orang aja kalo kebetulan si penulis meneruskan ilmu tersebut ke teman-teman terdekatnya. Padahal pengennya ya semua penulis pemula bisa mendapat ilmu itu.

Makanya beberapa hari lalu saya posting soal Self Editing. Artikel itu saya buat gara-gara saya gregetan. Sekian kali saya ngereview naskah yang masuk ke JP, selalu saja menemukan kesalahan yang sama. Saya jadi sampe kepikiran kalo mereka ini ngirim naskah begitu mereka selesai ngetik kata ‘THE END’ atau ‘TAMAT’.

Sekarang, kita akan bergerak satu langkah lebih jauh lagi, ke titik di mana kita membutuhkan First Reader.

Apa sih first reader itu?

First reader adalah pembaca pertama naskah mentah kita. Kenapa disebut mentah? First reader ini jadi semacam perwakilan calon konsumen buku kita. Merekalah yang pertama kali akan menemukan kesalahan-kesalahan yang nggak tertangkap mata kita. Mereka mungkin juga akan memberi masukan untuk naskah kita, dan masukan itu bisa aja nggak pernah kepikiran di otak kita tapi ternyata efeknya dahsyat. Kritikan mereka akan membuat naskah mentah kita menjadi naskah setengah matang. Kita mungkin perlu mengulangi proses itu sekali lagi untuk membuat naskah kita benar-benar matang dan siap dikirim ke penerbit atau ke sebuah kompetisi menulis.

First reader bisa siapa saja. Yang penting kita tau mereka bisa ngasi pendapat yang objektif. Kalau jelek, ya katakan jelek. Kalau bagus, ya katakan bagus. Mudahnya, kita bisa sodorin naskah mentah itu ke temen yang hobi banget baca novel. Jadi, karena si temen ini udah biasa baca karya penulis yang udah punya nama, maka dia bisa ngasi perbandingan. Tapi bukan berarti niat nyuruh kita buat ngikutin penulis lain lho yak. Maksudnya, karena si teman ini sudah terbiasa membaca yang baik, maka dia akan dengan mudahnya menemukan yang tidak baik di naskah kita.

Kita boleh kok berdebat dengan first reader kita. Sebab, kita nggak perlu serta-merta nurutin semua sarannya. Mungkin si teman ini menemukan sesuatu yang janggal pada naskah kita dan menyarankan kita untuk mengubahnya. Tapi di sisi lain, kita memang sengaja membuat kejanggalan itu dengan sebuah tujuan. Ya bisa aja kan, karena kita niat bikin trilogi, jadi kita menyisipkan kejanggalan tersebut di buku pertama untuk nanti dipecahkan di buku kedua atau ketiga.

Apakah first reader hanya boleh satu orang? Enggak kok. Boleh berapa aja, terserah si penulis. Semakin banyak first reader, semakin banyak pula kemungkinan saran yang kita terima. Tapi ya jangan terlampau banyak. Yang penting mereka bisa dipercaya. Sebab, dari merekalah kita mungkin akan menemukan beberapa alternatif cemerlang untuk naskah kita.

Sahabat sekaligus temen berantem saya, Citra Rizcha Maya, selalu mengirimkan naskah mentahnya ke saya sebelum dia mengirimkannya ke panitia lomba menulis (waktu itu dia lagi gila lomba hihihi…). Dia selalu minta saya untuk ngasi kripik pedes buat naskahnya. Yang terakhir, baru aja dia lakukan minggu lalu. Padahal, dia bukan pemain baru di jagad pernovelan. Dia sudah menerbitkan tiga buku tunggal dan ikut beberapa antologi cerpen. Tapi, dia tetap merasa perlu menyodorkan naskah mentahnya untuk dibantai first reader. Kenapa? Ya jelas tujuannya untuk meminimalkan jumlah kesalahan yang terjadi. Jadi nanti si reviewer di penerbitan nggak langsung men-skip naskahnya.

So, gimana? Udah nemu siapa aja yang bakal kalian todong untuk jadi first reader? Jangan sampe naskah kalian nanti jadi korban keisengan editor bawel macam saya lho hihihi….

@sekarmayz

sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun