Mohon tunggu...
Sekar Ayu Advianty
Sekar Ayu Advianty Mohon Tunggu... -

sedang kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.. di jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. :)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Rehabilitas Mangrove, Selamatkan Ekologi dan Ekonomi Pesisir!

29 Oktober 2011   19:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mangrove. . .

Merupakan alat atau tameng daerah pesisir yang juga mempunyai banyak manfaat. Namun yang terjadi dewasa ini semakin membuat kita pesimis akan kemungkinan untuk tetap merasakan manfaatnya di tahun-tahun mendatang. Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis.

Berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove Indonesia 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan). Menurut data FAO (2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Data dari Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal berdasarkan sumber citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190 scenes) luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha (Hartini et al., 2010). Menurut Kemenhut (tahun 2007) luas hutan mangrove Indonesia  adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini et al., 2010), tetapi hampir 70%nya rusak.

Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 90an. Data penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan selama tahun 1999 hingga 2003 baru terealisasi seluas 7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004), namun tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Data ini menunjukkan laju rehabilitasi hutan mangrove sekitar 1.973 ha/tahun. Dan yang membuat miris, berdasarkan data yang sama pula, kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/tahun.

Selama ini, lahan-lahan mangrove terkonversi untuk kegiatan-kegiatan yang tidak dipikirkan secara kontinyu akibatnya, hanya memenuhi kebutuhan sementara. Untuk tambak misalnya, banyak petani tambak yang membabat begitu saja greenbelt dan menggantinya dengan tambak yang menurut mereka lebih bernilai ekonomis. Ketentuan jalur hijau dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur terabaikan. Padahal hal itu dapat berakibat fatal bila dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Ketika mangrove tersebut hanya tinggal beberapa baris saja sebelum garis pantai, maka saat itu juga mangrove tersebut kehilangan fungsi ekologisnya. Singkatnya, lebih baik tebang saja semua, sia-sia kawan!

Butuh nilai ekonomisnya? Mari kita galakkan rehabilitasi dan simak manfaatnya! Di tempat-tempat wisata seperti di Wonorejo dan Gunung Anyar Tambak, Surabaya, buah mangrove diolah menjadi sirup dan dipasarkan dengan harga terjangkau.

[caption id="attachment_145013" align="alignnone" width="300" caption="Contoh sirup mangrove yang dipasarkan di wisata mangrove Wonorejo, Surabaya"][/caption]

Bila ada kemauan mengeksplor, bukan hanya buahnya saja tetapi bagian yang lain juga dapat dibudidayakan, kayu dari mangrove mati dari jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata seperti yang ada di Wonorejo misalnya, keduanya cocok untuk tiang dalam konstruksi rumah karena batangnya yang lurus, bahkan dapat bertahan sampai 50 tahun, dapat juga berfungsi sebagai meubel, Tanin (ekstrak kuit kedua jenis mangrove tersebut) dapat digunakan menjadi bahan penyamak kulit pada industri sepatu atau tas, sebagai bahan baku lem, dan lain-lain. Daun dari jenis Nypa fruticans dapat dianyam menjadi atap. Bahkan beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat. Air rebusan Rhizophora apiculata berfungsi sebagai astrigent, kulitnya dapat menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999).

[caption id="attachment_145014" align="alignnone" width="300" caption="Jenis Rhizophora apiculata "][/caption] [caption id="attachment_145015" align="alignnone" width="300" caption="Jenis Rhizophora mucronata"][/caption]

Apakah anda tertarik?? Tunggu dulu! Hal tersebut tidak dapat terlaksana bila tak diimbangi dengan rehabilitasi secepatnya dan mengembalikan ke fungsi ekologisnya. Bila hanya diambil manfaatnya tanpa dilestarikan, mungkin hanya sekejab saja dan anak cucu anda tak akan merasakan manfaat mangrove di era mereka.

Rehabilitasi merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Banyak manfaat ekologis yang dapat dirasakan bila mangrove dijaga kelestariannya. Selain tempah pemijahan ikan, mangrove berfungsi sebagai pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan, dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan. Ada yang lebih ekstrim, hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui akar rumpun tersebut. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai.

Belum adanya kebijakan regional untuk melindungi mangrove ditengarai sebagai penyebab utama degradasi mangrove di Indonesia. Masyarakat pesisir belum disadarkan sepenuhnya tentang pentingnya menjaga kelestarian mangrove yang benar. Isu lain yang menjadi faktor penentu kerusakan ekosistem mangrove adalah reklamasi. Kegiatan ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga membunuh biota air yang hidupnya tergantung pada keseimbangan ekosistem mangrove.

Diperlukan adanya masterplan yang memperhitungkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi untuk langkah awal mengembalikan kelestarian pesisir. Perlu juga adanya disinsentif dari pemerintah setempat untuk membatasi penggunaan lahan di sekitar kawasan lindung ini. Atau dapat juga dikeluarkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua penyumbang ‘carbon’ kota untuk ikut berpartisipasi melestarikan mangrove secara berkala dan berkelanjutan (menanam bibit mangrove dan bertanggungjawab pula terhadap pengawasannya). Keterlibatan masyarakat juga diperlukan, baik mulai tahap perencanaan, proses pemulihan kelstarian, dan juga dalam proses pengawasan lingkungan. Karena kerjasama antar stageholder tentu saja dapat memaksimalkan hasil.

[caption id="attachment_145016" align="alignnone" width="300" caption="Gambar salah satu sudut Kawasan Wisata Mangrove di Wonorejo, Surabaya yang rusak dan tercemar sampah"][/caption] Mari kembalikan,, rimbunkan. . . [caption id="attachment_145017" align="alignnone" width="300" caption="Buat jadi seperti ini kawan!"][/caption]

Mari kembalikan dan selamatkan pesisir kita !

[caption id="attachment_145018" align="aligncenter" width="800" caption="mulailah dari sekarang"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun