Mohon tunggu...
Wahid Satunggal
Wahid Satunggal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang yang selalu berdamai dengan mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilarang Bermain dengan Kata-kata

24 November 2012   15:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:44 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13537710621292313962

Aku menyiapkan kata-kata kala senja tengah mengesumba. Di depan gulungan ombak yang menderu. Yang selalu seperti itu. Pulang dan pergi. Tanpa mengenal waktu. Aku berpijak di atas bebatuan bisu. Menatap garis-garis langit. Batu tetap membisu saat sisa ombak membasahi. Tak mengelak sedikit pun, membiarkan dirinya terkikis lalu punah tak berbekas. Betapa batu-batu telah menunjukan arti pengorbanan. Aku sadar pengorbanan tak hanya dilakukan mereka. Pengorbanan juga dikerjakan manusia demi apa yang diinginkannya. Orang tua berkorban demi anak, Ibu berkorban demi janin, Ayah berkorban demi keluarga, Guru berkorban demi murid dll. Tapi bagaimana nasib mereka? si batu-batu polos itu. Kecuali merelakan hidupnya untuk kebahagiaan semesta.

Suasana sore yang ramai. Aku mengumpat di balik lalu lalang orang. Tampak turis lokal maupun interlokal. Kerumuni pedagang yang berjejer rapih di pinggir pantai. Begitu aku masih tertegun menerjemahkan arti pengorbanan yang sebenarnya. Mataku menyelam menembus permukaan. Masuk ke dasar paling dalam. Ada kedamaian ketika sampai di sana. Namun tiba-tiba bisikan tentang kata-kata yang belum kusiapkan merusak segala ketenangan. Senja hampir-hampir roboh namun kata-kata itu belum juga datang.

Mungkin tempat paling indah menikmati senja adalah pantai. Jika beruntung sunset akan datang dengan segala eksotisnya. Menyajikan matahari perlahan tenggelam. Diirisi garis-garis langit.Dan hamparan laut mendadak menjelma kekuning-kuningan. Namun sunset pun kadang urung datang jika mendung menutup senyum matahari. Maka karena awan kelabu itu kau tak dapati sunset hingga larut malam.

Dermaga kecil. Tempat aku berdiri. Menjadi pelabuhan kapal-kapal pencari ikan. Menurunkan pahlawan-pahlawan yang seharian kulitnya terbakar. Tempat ini menjadi tanah kerinduan bagi mereka, untuk merenggut kembali kebahagiaan yang sempat berhenti. Tangis kadang pecah tanpa sengaja. Wajah-wajah sendu sudah menunggudi teras penantian. Mereka saling mendekap erat, seolah kesusahan adalah nikmat yang harus diterima. Dari sorot mata keduanya hanya sebaris kata juang bahwa di rumah masih ada anak-anak yang harus diperjuangkan. Lagi-lagi pengorbanan sudah dimulai! Membuat aku risau, karena pengorbanan berkaitan dengan kata-kata itu. Malam membuka kisah lama. Gelap dan mencekam. Rembulan senyum di balik awan, seolah hendak mengatakan sesuatu. “Kamu tidak sendiri!”

“Sedang apa Ray?” tiba-tiba sesiul suara menderu. Kutengok belakang hanya sepi dan lengang.

Serpihan kenangan muncul dari balik sunyi. Saat sorot lampu jalan memancarkan cahaya remang. Kala itu, malam belum sepenuhnya hitam. Aku sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Perempuan yang lebih suka bicara ketimbang diam. Ternyata ada banyak tipe perempuan di dunia ini. Salah satunya ialah mereka yang mudah bicara dan akan gembira ketika kita cukup menyimaknya. Maka untuk menghadapi itu cukup jadi pendengar setia. Pelan-pelan kutanya kenapa begitu mengagumi bintang.

“Bintang adalah kemandirian, lihatlah! ia sinari malam tanpa bantuan matahari. Hanya dia satu-satunya tata surya yang punya cahaya sendiri..” Sambil memandang ke langit seolah bidadari turun dari kayangan.

Lalu dia akan cerita panjang soal guru Geografinya di SMP dulu. Yang diam-diam menyimpan rasa padanya. Namun dia tidak pernah tahu sampai waktu lulus tiba. Kecuali salah seorang teman mengabarinya. Seraya tertawa sendiri mengingat masa lugu itu.Kemudian mudah sekaliberpindah topik. Soal lika-liku hidup. Hingga akhirnya sampai pada mimpi-mimpi yang tenggelam. Mendadak nadanya mulai lirih. Ia menghela nafas cukup lama menahan perih. Mungkin keputusan itu belum bisa membuatnya bahagia. Jika mengingatnya ia selalu mengutuk keadaan. Maka sekian lama ia berusaha melupakannya. Begitu sakit, desahnya. Aku yang sedari tadi diam, segera bangkit hendak melipur lara. Menjadikan momen dimana kesedihanitu adalah milikku. Angin malam bergemuruh keras. Di atas dermaga yang menjorok ke tengah. Kami sandarkan dada ke pagar pembatas. Kupandangi biji mata yang sudah mulai berair. Berusaha mengisi kekosongan. Sambil mencoba menghibur. “Ingat! badai yang kencang hanya ada di puncak gunung!” Ia paham maksud kata-kata itu.

Sorot matanya kembali teduh. Mendung yang datang tak memberi hujan. Keadaan kembali cair. Ia rapihkan sedikit kerudung yang dirusak angin. Aku memandang lalu tersenyum. Entah kenapa senyumnya begitu melegakan. Senyum yang sama saat pertama kali jumpa. Di sebuah sanggar musik yang sangat sederhana, kami kebetulan satu kelas. Dan kebetulan juga sering pulang bersama. Soal sesuatu yang kebetulan punya dua kemungkinan; akan berlalu begitu saja atau menjadi bagian penting dalam hidup. Dan karena hidup itu misteri, kita harus pandai mensiasati apa-apa yang hendak terjadi. Dan perempuan adalah mahluk yang menyimpan jutaan misteri.

Saat kami diam cukup lama. Kusodorkan kata-kata guna menghangatkan suasana.

“Posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki, gimana menurutmu?” ia kaget.

“Kamu pertanyaannya aneh!” lalu melirik sinis.

“Secara tidak sadar memang masih terjadi di sekitar kita. Lihat! berapa jumlah artis muda yang hanya bermodal paras cantik tapi nihil skill. Mereka benar-benar tergantung pada fisik yang pasti rusak!”

Dia tercengang. Terpancing dengan kata-kata yang sangat menyindir. Dari balik gelap pancaran wajahnya mampu menembus malam. Hobi membaca buku-buku sejarah membuatnya tahu banyak tentang sejarah perkembangan perempuan. Dia mengaku bukan pengikut feminisme secara utuh, tetapi juga muak dengan mereka yang terlalu ketat dengan ajarannya. Ketat yang bersumber dari cara pikir mereka.

“Perempuan bukan mahluk yang semata-mata memanfaatkan keelokan dan kecantikan tubuhnya sebagai sarana untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Perempuan juga manusia yang dikarunia kemampuan bernalar dan berpikir yang sama dengan laki-laki. Perempuan yang hanya mengandalkan tubuhnya tanpa melihat potensi lain sebetulnya ia telah meletakan dirinya pada posisi yang sangat rugi.” Ia mengutip kata-kata Maria Josephine.

Sambil memandang rembulan. Ombak menyembur. Lalu ia luruskan pandangan pada kemerlip lampu-lampu kota yang seperti bintang jatuh. Berjejer mengikuti jalur pantai. Andai malam tahu betapa kesunyian memang dirindukan. Oleh sepasang kumbang yang sedang menikmati pekatnya malam.

“Kau tahu kebanyakan perempuan –terutama yang lumayan cantik- adalah mahluk penuntut dan tergantung. Mereka menggantungkan kebahagiaan mereka dariperhatian orang. Jika merasa kurang cukup diberi perhatian, mereka akan menjadi sedih dan sendu…”

Mata itu mengerling. Senyum yang terpaksa menambah pesona wajahnya. Dari cara menatap, dia sependapat. Tapi atas nama kaum perempuan barangkali ia enggan untuk meyakini secara kontan.

“Iya! perempuan memang selalu kalah jika dibandingkan dengan laki-laki. Tapi kenapa lelaki sukasekali membanding-bandingkan! bukankah itu sikap selektif yang biasa dimiliki perempuan. Lantas mereka bertindak dengan perasaan bukan pikiran!”

“Padahal mereka pantang bertindak atas dasar perasaan…” lanjutnya sambil membalikan badan menikmati ramai dari kejauhan. Lalu ia melangkah menjauhi dermaga mendekati kerumunan. Belum sempat kuberi jawaban, detakan sepatunya meninggalkan bunyi yang aneh. Malam diam-diam menjelma ilalang menjebakku dalam kidung perasaan.

***

Itulah yang bisa saya sebut sebagai kenangan. Membincang malam di bawah remang rembulan. Meski pada akhirnya saya menyesal karena terjebak oleh kidung perasaan. Padahal sudah jelas –seperti yang dikatakan- bahwa yang dibutuhkan laki-laki ialah berfikir bukan merasakan.Malam itu aku yakini misteri ‘kebetulan’ mulai terpecahkan. Kelak akan menjadi bagian penting dalam hidup. Sebelum dia meninggalkan dermaga aku titip sebaris kata untuk orang tuanya. Lalu ia tersenyum tipis namun tersirat harapan besar. Tanpa sadar aku telah bermain dengan kata-kata. Nyatanya aku belum siap ketika mereka ingin menyegerakan akad suci itu. Sesuatu yang belum tergambar sekalipun. Aku terjebak perasaanku sendiri!

Dan di atas Dermaga ini aku masih mencari kata-kata. Kata-kata yang segera menjelma amalan berbentuk pengorbanan. Hendak kularikan kemana wajah ini. Jika kutolak tawaran sakral itu. Semua sudah terlanjur, aku telah bermain dengan kata-kata. Menjanjikan apa yang sebetulnya belum pasti. Namun hidup adalah misteri. Kewajiban kita untuk menguakkan semua misteri tersebut.Dan pada keadaan yang benar-benar rumit, kudapati ponsel berdering. Sebaris kata menjadi obat penyembuh luka, oleh kata-kata yang merasa pernah di permainkan. Seperti angin segar yang meluruhkan ranting. Pesan singkat itu menjadi awal kisah pengorbanan seekor kumbang untuk kumbang yang lain. Dan kata-kata penyembuh itu ialah;

“Laki-laki adalah mahluk yang tidak menjanjikan untuk memberi apa-apa, tetapi menjanjikan akan melakukan apa saja..”

Lalu sedesir angin menjelma siluet wajahnya . . . .

Satunggal.

Cairo, 19 September 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun