Mohon tunggu...
Wahid Satunggal
Wahid Satunggal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang yang selalu berdamai dengan mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bibir Merah

28 Maret 2012   15:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13329481181424347851

Pak Sam adalah tukang becak yang penghasilannya selalu cukup untuk kehidupan sehari-hari. Istri dan dua anaknya juga hidup tenang dengan penghasilan laki-laki hitam namun tampan itu.  Setiap hari Pak Sam menarik becaknya di pasar, kecuali hari jum’at ia istirahat. Beruntung Sam mendapat kembang desa, Rumyati. Wanita yang kini jadi istrinya itu dulu diperebutkan pemuda sekampung. Dan Sam lah yang berhasil mendapatkannya. Rum memang gadis cantik yang mempesona. Putih, langsing dan bibir merahnya yang senang jadi bahan obrolan kaum pria. Wanita yang memiliki bibir merah, meski tanpa gincu hanyalah Rumyati, istri Sam.

Sekian tahun Sam membina rumah tangga hingga dikaruniai dua anak, tidak ada tanda-tanda Rum akan selingkuh, atau kadar cintanya berkurang pada Sam. Hingga suatu ketika Pemda setempat mengutus sekolompok mahasiswa guna menanggulangi wabah yang menyerang desa itu. Mahasiswa yang berjumlah sepuluh orang akan melakukan riset ilmiah terkait wabah yang sudah meresahkan masyarakat. Meski wabah hanya menyerang anak dibawah umur 10 tahun, namun menjadi anggaran tersendiri di meja rapat para pejabat. Mahasiswa yang berasal dari luar kota itu amat serius dalam mengemban amanat Gubernur dan Dekan Fakultasnya. “Mereka semua anak-anak pilihan, rajin, pintar, cerdas dan tekun beribadah. Insya Allah wabah yang sudah meresahkan rakyat ini akan segera punah ditangan mereka.” Ujar kepala dekan di acara pembukaan PKL tersebut.

Mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok. RT 1, 2, dan 3. Mereka tinggal di rumah RT masing-masing. Pembagian tersebut disesuaikan dengan jumlah korban yang mengacak di setiap rumah penduduk.  Mereka melakukan kontrol rutin setiap hari. Disamping memberi obat mereka juga mencari sumber penyakit itu berasal. Karena sudah menyebar hampir seluruh kampung. Cacar itu tidak seperti cacar pada umumnya, bentik-bentik putih namun ada titik hitam yang membuat beda dengan cacar biasa. Dan mereka yakin ini bukan sekedar cacar, ada wabah penyakit baru yang menyebar di kampung itu.

Di pagi yang cerah. Cahaya matahari menyirami pori-pori bumi. Sinarnya masuk kedalam kampung menembus rimbun-rimbun pohon. Bentangan sawah dengan tanaman padi yang masih  hijau, layaknya permadani di kebun surga. Rumyati sedang mencuci pakaian di sumur umum bersama ibu-ibu lainnya. Ia mengenakan daster yang sudah sedikit basah, mencuci sambil ngerumpi. Bibir merahnya bergerak seraya membicarakan mahasiswa yang akan membantu kampung itu kembali sehat.  Mencuci di pagi hari sambil ngerumpi adalah kegiatan rutin ibu-ibu. Kampung yang terpencil dibatasi  pohon-pohon besar dan rimbun. Sehingga jika sudah pukul 5 sore seperti sudah maghrib, namun saat siang tiba hanya kampung itu yang merasakan sejuknya udara. Kampung itu benar-benar masih asri.

Rudi, salah seorang anggota mahasiswa  mendapat tugas di RT 3 dimana keluarga Sam tinggal. Temannya adalah  Iwan, Kholil dan Ibrahim. Mereka berempat sudah mulai menjalankan tugasnya dengan rencana keliling desa terlebih dahulu. Mereka sudah rapi dengan jas almamater dan kartu nama yang menggantung diatas saku . Setelah sarapan pagi sebelum malamnya mereka rapat kordinasi, kini mahasiswa bujangan itu mulai berjalan menyusuri kampung. Jalanan masih tanah dan kerikil, hanya di jalan besar mereka menemukan aspal.

Sam seperti biasa mengayuh becak dengan gigih. Matanya melotot menahan letih. Peluh yang membanjiri tubuhnya sudah kering. Hari itu ia mendapat tumpangan yang cukup banyak. Sejak pagi tadi hingga selepas lohor ia sudah menarik empat kali. “Lumayan baru setengah hari sudah dapat 50 ribu.” Gumamnya sambil mengipas-ngipaskan topi.

Sam ingin cepat-cepat  ke Apotik membeli obat untuk Putri, anak bungsunya yang kena cacar. Obat itu seharga 30 ribu jadi  masih sisa 20 ribu yang akan dipakai untuk membeli beras dan minyak. Sebab sang istri sudah mengeluh, karung beras di dapur sudah kempes dan botol minyak juga kosong. Sam merasa tertantang jika sang istri mengeluh seperti itu. Pernah istrinya minta dibelikan baju lebaran yang lagi tenar di kampungnya. Ia menyanggupi permintaan sang istri dengan menarik becak dari pagi hingga malam. Itu dilakukan dengan semangat yang membakar. Ia mungkin merasa malu kalau istrinya pernah menjadi kembang desa. Masa untuk  memakaikan gaun saja dia tak mampu. Antara gengsi dan mencintai. Dan siang itu Sam kembali bergumam syukur pada Sang Kuasa. Baru setengah hari ia sudah seperti mendapat seharian. Sekitar 50 ribu yang bisa ia hasilkan perhari untuk menyambung hidup. Kadang lebih kadang kurang. Namun siang ini ia memperoleh rejeki yang lebih “Mungkin ini rejekinya Puput (panggilan untuk Putri).” Ada senyum mengembang di bibirnya yang keriput.

Jalanan siang itu ramai sekali. Macet dari pangkalan becak hingga stasiun kereta. Sam kebingungan melajukan becaknya. Ia sudah tak sabar ingin melihat Puput kembali sekolah. Dengan obat dari Apotik insya Allah Puput akan sembuh. Begitu ujar Sam.

“Sial! Tumben macet panjang kaya gini.” Sam menggerutu sendiri.

“Titt! Titt! Tiit! . . . .” Bunyi klakson membuat suasana semakin panas.

Klakson becak lebih mirip bunyi kereta ketika mulai beroperasi. Hanya saja ia lebih kecil bunyinya. Dengan klakson itu Sam mencoba menyelip kerumunan kendaraan yang berjejer panjang. “Dubraaak!!” Tiba-tiba motor dari samping menabraknya. Sam langsung turun. Matanya garang. Namun melihat yang nabrak anak sekolah apalagi masih SMP, Sam hanya memarahinya dengan gretakan-gretakan. Yang nabrak langsung minta ma’af dan menjauh dari becak Sam.

Setelah setengah jam lebih macet, lalu lintas jalan kembali lancar. Sam bisa mengayuh becaknya dengan gesit. Angin sepoy-sepoy menyusup kedalam tubuhnya yang kurus. Wajah Puput dan Rumyati menari di benaknya siang itu. Sam bangga menjadi kepala rumah tangga. Segala beban kehidupan disandarkan padanya.  Menghidupi istri dan dua orang anak. Kebahagian yang belum dirasakannya sebelum menikah. Bahkan kebahagiaan itu tidak terbayar dengan lembaran uang. Sam hanya tersenyum jika ingat betapa sulitnya menarik perhatian Rum. Bersaing dengan pemuda lainnya. Ia beruntung sekali.

“Pooomp!!” Begitu bunyi klakson becak. Jono, teman seperjuangan Sam menyapa dari arah yang berlawanan. Membuyarkan lamunan panjang. Sam menjawab dengan klakson yang tak mau kalah. Mereka tersenyum lebar-lebar. “Jono, orang yang pertama kali mengajariku menarik becak, sekarang menjadi duda, lantaran istrinya selingkuh dengan Pak Camat.” Sam bergidik geli melihat kondisi hidup kawannya itu. Padahal Jono sudah mati-matian untuk mendapatkan cintanya. Belum genap setahun istri jono selingkuh dengan Pak Camat dan menjadi istri kedua untuknya.

Sam melewati jembatan kayu yang menjadi pembatas desa. Tanjakan dengan iringan pohon cemara membuat suasana menjadi teduh. Wangi bunga kamboja dari atas kuburan menemani Sam yang kelelahan mendorong becak. Kini ia sudah berada di atas tanah datar, siap menuju rumahnya. Lagi-lagi Sam tersenyum bangga. Membawa hasil jerih payah untuk orang-orang yang dicintainya.  Plastik hitam berisi obat tergeletak diatas bangku becak, sesekali bergoyang mengikuti roda-roda yang berputar. Sam memandangnya bahagia.

*** Sam merasa ada yang beda di rumahnya. Pintu terbuka, ada jas hitam tergeletak rapi di atas kursi. Kamarnya berantakan ; kasur, bantal dan seprey berserakan di lantai. Ia mencium bau parfum yang aneh. Menyusuri selarasan rumah hingga dapur. Ia tak menemukan apa-apa. Nihil. Sepintas sebelum ia kembali ke ruang tengah, ia mendengar desahan suara seorang wanita yang hampir setiap malam ia dengar. Suara istrinya. Ia mendekati sumber suara yang ternyata berasal dari kamar mandi. Tempat yang ia  abaikan begitu saja. Setelah membuka pintu kamar mandi dengan pelan dan melongok sedikit kedalam.  “Apaaaaaaaaaaaaaa??? Rumyatiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!”

Teriakan suaranya membuat geger tetangga. Mereka mendapati Sam memegang golok, nyaris menggorok leher istrinya. Dan pemuda yang babak belur sudah terkapar tak berdaya. Masih dengan keadaan tak berpakaian. Rumyati menjual bibirnya seharga 100 ribu. Jumlah yang lebih besar dari hasil narik becak Sam siang itu.

**** Ternyata saat Ibrahim memberi obat untuk Puput. Rumyati yang baru selesai menjemur langsung menghidangkan teh manis dan pisang goreng. Keduanya sempat mematung saat beradu pandangan. Ibrahim yang masih bujang kaget melihat wanita yang sudah beranak dua namun masih eksotik. Tidak kalah dengan teman perempuannya di kampus. Bahkan Rumyati punya kelebihan sendiri. Bibir merah yang alami. Dan saat Puput keluar rumah untuk bermain, entah apa yang ada di otak kedua patung tersebut. Ibrahim seperti terhipnotis dengan bibir merah milik Rum, dan Rumyati barang kali gerah melihat karung beras yang kempes dan botol minyak yang nyaring.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun