Mohon tunggu...
Wahid Satunggal
Wahid Satunggal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang yang selalu berdamai dengan mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Putri dan Diam

24 Desember 2011   21:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Sikap diam seoarng wanita bukan berarti menerima. Memang  rumor yang selama ini beredar demikian. Namun itu tidak berlaku pada semua wanita. Ada beberapa wanita yang justru memilih diam sebagai senjata ampuh yang akan membawanya kepada kemenangan. Suatu saat ketika ia hendak berpaling maka dia telah menang dengan diam- ILUSTRASI Sore itu hujan turun deras. Langit seakan memotret manusia dengan kilatnya yang menyambar-nyambar. Suara gemercik air dari atap seng terdengar begitu nyaring. Aku duduk diatas bangku panjang milik penjual gorengan. Hari itu pembeli begitu ramai membuat Pak Budi kerepotan. Sejak pertama masuk kuliah dan mengambil jurusan Fakultas Sastra arab, aku sudah sering nongkrong di warung ini. “Belum datang Lil, ?. Emang gerombolan cewe yang tadi nggak ada??”. Sambil mengolah adonan yang baru Pak Budi melirikku. “Eh, belum Pak, nggak tau nih udah sejam lewat tapi belum keluar juga dia”. “Nah tu dia, Putri !!! ditungguin tuh dari tadi ama Arjuna mu !!, hehehe.” “ Ihh, apaan sih Pak Budi nih, tadi Dosen ngasih tugas tambahan, jadi lewat satu jam deh”. Sambil meletakan tas sampingnya diatas meja. Entah itu jawaban untuk Pak Budi atau sengaja mengucapkannya untukku. Kerudung hijaunya sedikit basah. Air langit itu sudah berani merembesi uraian rambutnya, terlihat garis-garis hitam tak beraturan. Dia janji sore ini akan memberi jawaban. Setelah dua tahun jawaban itu terkatup oleh bibirnya yang tipis. Hujan kembali menyempit menjadi gerimis dengan rintik-rintik indah. Laju motor sengaja aku pelankan. Agar bisa menikmati sisa-sisa embun yang masih menetes di setiap ranting pepohonan. Aku sedang membonceng seorang putri yang akan segera kupinang. Dengan beberapa lembar naskah aku berani menjalankan ritual suci ini. Itu kalau Putri hari ini menjawab iya namun jika tidak, aku akan menjadi pemuda paling tersakiti sedunia. Kedekatan kami sudah lama jadi bahan obrolan teman-teman, tetangga bahkan keluarga. Tepat didepan Café berenda serba coklat Putri menyuruhku berhenti. “Disini Put ??, ini kan tempat mahal !!”. “ Iya, nanti Putri yang traktir, ayo cepet masuuk.” Pikiranku pecah, tidak biasanya kita nongkrong ditempat mahal seperti ini. Ah, jangankan tempat kecil ini, di Hotel Bintang lima pun aku siap. Untuk sebuah jawaban yang sudah lama menjadi cerita bahkan puisi. Pikirku dalam hati. Sebelum masuk Café, Putri memandangku penuh arti. Kubalas itu dengan sedikit senyum, hampir saja mata ini berkaca-kaca. Perempuan yang sudah lama menjadi bintang disetiap malam datang, menjadi rembulan kala purnama tiba, kini akan segera menjadi milikku dengan seikat logam yang hendak melingkar dijari manisnya yang lentik. Putri duduk lebih awal dari saya. Dia mengambil menu yang sudah terpajang rapih diatas meja. Dia memesan dua Nescafe panas dan sepotong coklat berukuran besar. Kemudian dia minta keluar sebentar, sekitar sepuluh menitan katanya. Aku hanya mengangguk kecil sambi menikmati pemandangan sekitar. Tampak sepasang kekasih berpegangan tangan mesra, mesra sekali. Seorang waitress mondar-mandir membawa minuman dengan lihai. Aku masih menunggu Putri yang belum kembali. Namun aku tidak begitu peduli, karena pesanan juga belum datang. Mata ini lebih suka beradu dengan jendela kaca. Disana terlihat pemandangan yang begitu sendu. Selepas hujan kini tinggal beberapa sisa air yang mengglayut manja di ujung tangkai. Hati ini terasa begitu plong. Sejuk. Tanpa sadar aku menoleh kedepan. Masuk Putri dengan orang yang sepertinya aku kenal. Dia memakai jas hitam dengan kemeja putih. Rambutnya disisir klimis, sambil menyalamiku dia tersenyum lebar, lebar sekali. Putri tampak menunduk dengan menutup muka dengan kedua telapak. Sepertinya Putri berkaca-kaca. Saya masih bingung dengan keadaan ini. Ada apa sebenarnya ??. Tiba-tiba Putri berdiri antara aku yang sedang duduk dan pemuda itu. “ Untuk Kholil, jawaban mu sudah bisa kau tafsirkan dengan keadaan yang kau liat sekarang. Ma’af !! “. Kemudian Putri duduk kembali. Kali ini ia tidak lagi berkaca-kaca. Suara tangisnya yang sesenggukan sudah bisa kudengar dengan jelas. Putri menahan tangisnya. Mendengar pernyataan Putri aku merasa bumi ini berputar seratus delapan puluh derajat. Rasa mual yang begitu enek tengah menjarahi seisi perut. Sedang persendian tulang mulai lemas, seperti mau copot. Kulihat pemuda itu yang tak lain adalah Dosen muda yang kaya raya tengah memutar cincin dengan tingkah sombong. Bisa dibayangkan bagaimana situasi saat itu. Aku menghardik Putri dengan ribuan bahkan jutaan caci. Membuat orang sekitar kaget bukan kepalang, menoleh semua kearahku. “Sudah Lil, sudah, sudaaah !!!”. Teriak Dosen itu dengan meremas kerah bajuku kemudian mengangkatnya. Dia mencoba memukulku karena sudah mempermalukan kampus dan juga dirinya. Putri dengan cepat menahan tangan Dosen keparat itu. Aku tetap memandang Putri sadis. Kedua mataku menjadi merah, semerah jiwaku saat itu. Tanpa kata-kata lagi. Aku menunjuk Putri dan calon suaminya dari jarak jauh. Sambil melangkah keluar. Oh untung aku ingat sesuatu saat itu, kemeja yang tengah kukenakan itu pemberian Putri. Sebelum benar-benar keluar, aku kembali dengan tangan sudah menggumpal kemeja itu. Aku melemparnya seraya berkata “ Jangan pernah lagi berharap kita bertemu, apa lagi tetap berteman. SETAN !!!”. Sambil kulempar gumpalan itu kearah perut Putri yang sedang duduk. Putri hendak bangun menahan langkahku. Benar kata Pak Budi, perempuan juga manusia. Apalagi Putri yang berasal dari keluarga pas-pasan. Mendapat tawaran lamar dari orang nomor satu dikampus tentu mau. Dosen itu juga kaya raya punya Mercedez dan anak pengusaha kota. Sedang aku hanya punya motor satu dan pekerjaan juga belum jelas. Tapi satu yang membuat dada ini sesak, kenapa tidak dari dulu Putri menjawabnya. Selama ini dia cuma bisa diam. Diam seperti memberi harapan. - Dirampungkan bersama malam dan sepi -

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun