Mohon tunggu...
Seir HaidahHasibuan
Seir HaidahHasibuan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kupeluk Mama yang Diam Membisu

19 Mei 2023   21:36 Diperbarui: 19 Mei 2023   21:39 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kupeluk Mama Yang Diam Membisu

"Mamaaa," aku menangis histeris saat mendengar kepergianmu.

Harapan dan rencana bertemu mama pupus sudah.

Setelah kepergian bapak ke pangkuan Bapa di Sorga, mama tinggal bersama menantu tertua. Mama dan kakak ipar sama-sama janda.

Kakak ipar sudah sering sakit-sakitan mungkin karena kelelahan bekerja di sawah. Dari sebelum fajar menyingsing dia sudah berangkat dan pulang saat senja tiba.

"Menantu, jaga kesehatanmu jangan terlalu dipaksa bekerja," mama menasehati.

 Mama yang sudah berusia 91 tahun, tidak dapat membantu kakak ipar bekerja. Lama kelamaan sakit kakak ipar semakin parah dan akhirnya Ia meniggalkan mama untuk selama-lamanya

Tinggalah mama seorang diri, tanpa ada yang menemani. Kami anak-anak mama tak satu pun yang bersedia pulang. Miris rasanya hatiku saat tidak  seorang pun anaknya yang pulang menemaninya.

"Benar kata orang bijak!"

Seorang ibu bisa merawat sepuluh anaknya namun, sepuluh anak belum tentu bisa merawat seorang ibu.

Kecewa menyelimuti hatiku, sementara aku juga tidak bisa pulang karena tugas negara yang kuemban. Akhirnya salah satu cucu mama dengan ikhlas menemani mama. Sementara dia masih kuliah.

Kegiatan mama sehari-hari memberi makan ayam peliharaannya. Walau kami sudah melarang tetap saja mama pada pendiriannya. Satu yang membanggakan, walau mama sudah renta namun, ke gereja tidak pernah ketinggalan. Bahkan masih setia ikut paduan suara kaum ibu dan kaum ibu janda. Berjalan kaki lebih kurang 2 Km, ibu harus jalani. Sesekali ada anak di kampung itu ada yang berbaik hati mengantar mama ke gerja.

"Nenek, ayo aku antar," tawarnya.

"Terima kasih Nak," ucap mama.

Hari Kamis, sebelum Jumat Agung 2015, punggung kaki mama dipatuk ayam. Biasanya mama mengolesnya dengan minyak tanah. Kaki mama bukannya sembuh, melainkan semakin parah. Badan mama mulai demam.

"Hari ini Jumat Agung, aku harus ke gereja," mama bermonolog.

Dengan tertatih-tatih mama melangkah menuju gereja, tidak perduli dengan kondisiya yang sedang sakit. Jumat siang aku menghubungi mama dengan telepon genggamku. Saat itu belum bisa vidio call. Hanya dapat berbicara saja.

"Halo Ma, gimana kesehatan mama? tanyaku resah.

Mama menjawab dia sudah membaik. Kami tetap menyarankan agar di periksa ke dokter. Hari Minggu sat Paskah 2015 mama tetap ke gereja. Keponakan bercerita bahwa mama masih demam dan pusing. Hari Senin mama dibawa klinik, lalu dokter menyuntik mama dengan suntik anti tetanus. Takutnya tetanus menyebar keseluruh tubuh mama.

"Ini tidak bisa dibiarkan," kataku kepada suami.

Kuraih benda pipih lalu menelepon keponakan agar mama segera dibawa ke rumah sakit. Lagi-lagi kendala untuk menemani mama di rumah sakit. Akhirnya abang yang tinggal di daerah Silangit bersedia menemani mama di rumah sakit. Selama 5 hari mana dirawat dan selama 5 hari itu aku tidak pernah absen menghubungi mama lewat telepon genggamku.

Aku berencana pulang hari Sabtu pagi. Kusiapkan biscuit regal agar aku bisa menyuapi mama saat aku sampai di sana. Bahagia menyelimutiku. Terbayang aku bisa menemani mama.

Semua pakaian sudah kusiapkan ke dalam koper. Hari Jumat jam enam sore, tiba-tiba HPku berdering.

"Halo, dek sudah dengar kabar belum? Tanyanya.

Belum selesai kakak ipar bicara, aku menjerit, menangis histeri dadaku terasa sesak.

"Mamaaaa, kenapa kau pergi mamaaa, mama tidak sabar menungguku. Aku ingin bertemu mama," jeritku dengan air mata menganak sungai.

Malam itu kami anak-anak mama yang di perantauan akhirnya sepakat pulang semua. Tiket pesawat pun dibeli. Sebahagian ada yang naik mobil.

"Mengapa setelah mama meninggal semua bisa pulang, sementara saat mama sakit dan membutuhkan pertolongan tidak ada yang pulang," gumamku di hati.

Kesedihan menyelimutiku tak henti hentinya air mata mengalir di pipiku. Saat itu aku sangat takut melihat orang meninggal.

"Tuhan tolonglah aku berikan keberanian kepadaku hingga aku tidak takut melihat mama dan memeluk tubuh yang terbujur kaku," itulah permintaanku dalam doa kepada Tuhan.

Tiba di rumah mama, jerit tangis dari anak-anak mama menggema. Kupeluk mama yang terbujur kaku, mama sudah tak menjawabku. Setelah kutersadar ternyata rasa takutku sudah hilang.

"Terima kasih Tuhan, Engkau mendengarkan doaku sehingga aku bisa memeluk mama yang diam membisu. Semua karena berkat Tuhan. Kami anak-anaknya bisa pulang dan menghantar mama ketempat peristirahatannya sesuai adat yang berlaku. Inilah pertemuan terakhirku dengan mama, mama telah pergi untuk selamanya."

"Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langlahnya." (Amasal 16: 9).

 Terima kasih Tuhan semua karena berkat dan anugerahMu.

Jakarta, 19 Mei 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun