Dari Taksi ke Politisi
Akankan kedaulatan konsumen ini akan menjadi "kedaulatan konstituen"? Sepertinya masih perlu kajian yang lebih jauh. Secara teori, konsumen hampir sama dengan konstituen. Mereka sama-sama orang yang akan memilih orang yang akan menjadi pelayannya. Orang yang dipilih tentu saja yang punya kemampuan yang kuat untuk melakukan apa pun demi terwujudnya cita-cita mereka. Dia harus mewujudkannya dengan jalan yang benar tanpa justru merugikan sang konsumen/konstituen.Â
Selama ini sering kali wakil atau pemimpin yang dipilih oleh rakyat justru bekerja untuk keinginan dan kebutuhannya sendiri. Seperti halnya para sopir taksi dan ojek yang nakal, banyak politisi yang juga tidak merasa harus melayani rakyat dengan baik. Mereka merasa rakyatlah yang membutuhkan mereka, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, mereka merasa tidak perlu bersusah payah memberikan layanan yang baik untuk rakyat atau apalagi berjuang demi mewujudkan keinginan rakyat.
Berkaca pada peristiwa aplikasi transportasi online, bisa jadi di masa depan politisi akan ditinggalkan oleh rakyat, atau kalau tidak mungkin, politisi akan mendapatkan seleksi yang ketat terkait dengan pelayanan yang diberikan. Selama ini, banyak di antara politisi dipilih karena faktor uang, persaudaraan, dan ketakutan. Semua ini sama sekali tidak peduli pada apa yang kita sebut pelayanan. Meskipun kemudian banyak yang menyesal dengan pilihan yang telah ia lakukan.
Dengan kedaulatan rakyat, maka di masa depan rakyat akan memilih dengan cerdas siapa yang akan memimpinnya. Mereka akan melihat sendiri orang yang benar-benar mampu memberikan dedikasi total sebagai pelayan mereka dan mewujudkan mimpi mereka.
Namun, apakah hal ini akan terjadi dalam waktu dekat? Saya masih ragu. Sebab berbeda dengan konsumen pada kasus taksi online, masyarakat yang menjadi konstituen dalam pemilihan tidak semuanya berasal dari komunitas yang benar-benar telah berdaulat dengan diri dan uangnya. Kebanyakan mereka masih terkait dengan ikatan-ikatan primordial yang tidak bisa dilepaskan, seperti SARA, ekonomi, keluarga, dan lain sebagainya. Namun, tanpa kemampuan memutuskan ikatan itu, maka konstituen selamanya tidak bisa menjadi konsumen yang berdaulat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H