Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Topeng Kehidupan

3 Juli 2010   06:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:07 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kita berbicara, apakah kita benar-benar membicarakan apa yang kita yakini perlu? Saat kita melakukan sesuatu, apakah kita benar benar tampil karena itu perlu? Karena itu bermanfaat? Saat kita menulis, apakah kita benar-benar menulis apa yang kita kerjakan? Apa yang kita yakini benar? Sayangnya, banyak orang berbicara, melakukan sesuatu, menulis, dan mengerjakan berbagai macam hal lain bukan karena itu perlu dan bermanfaat untuknya, namun sekedar menunjukkan sisi “hebat” dirinya. Inilah topeng kehidupan.

Manusia cenderung menampilkan apa yang ia yakini akan menjadikannya lebih baik di mata orang tanpa mempertimbangkan apakah itu akan baik atau tidak pada dirinya sendiri. Penampilannya disesuaikan dengan tuntutan sosial masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sendiri terpengaruh dengan apa yang diwahyukan oleh televisi dan difatwakan oleh media informasi yang lain. Lalu, manusia berusaha mencontoh, mengikuti, meniru apa yang dianggap "baik", "modern", "maju" dan lain sebagainya. Padahal ia sendiri tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Ia melakukan bukan karena perlu melakukan, namun karena ia merasa itu harus dilakukan.

Untuk menjaga itu semua menusia memakai topeng, masuk ke dunia kamuflase. Mereka memiliki puluhan bahkan ratusan topeng yang akan dipakai untuk berbagai keperluan yang berbeda. Topeng-topeng itu di bawa kemanapun dia pergi. Mereka terlatih mengganti topeng dengan cara yang sangat cepat. Bahkan terkadang mereka bisa melakukannya dalam waktu sepersekian detik. Dari topeng merah-ke biru, lalu abu-abu, kemudian hitam dan merah jambu. Begitu cepat. Karena hampir semua manusia mengenakan topeng, maka mereka saling paham dengan apa yang dilakukan temannya.

Dengan topeng itu kita bisa lihat, artis-artis nampaknya hidup bahagia, glamour, penuh suka cita. Politisi nampak penuh rasa peduli, perhatian, bertanggung jawab dengan persoalan bangsa. Pejabat nampak lebih berwibawa di depan pegawai dan masyarakat. Pengusaha nampak lebih perhatian pada lingkungan hidup. Seorang suami nampak lebih setia dan sayang pada istrinya, dan menjadi lebih bertanggung jawab pada anaknya. Demikian juga seorang istri, dengan topeng ia bisa nampak lebih setia pada keluarganya. Seorang pemuda nampak lebih shalih di depan calon istri dan mertuanya. Seorang remaja nampak lebih gaul dan funky di depan kelompok dan ganknya. Karena mereka memakai topeng.

Namun apakah mereka benar-benar demikian adanya? Apakah mereka bahagia ketika menunjukkan mereka sebagai orang paling bahagia di dunia? Apakah mereka benar-benar bertanggung jawab saat mereka mengatakan dan meyakinkan masyarakat dirinya sebagai sosok yang bertanggung jawab? Apakah ia benar-benar setia saat mengungkapkan kata-kata cinta? Tuhan dan mereka saja yang tahu. Namun kebanyakan menusia mengenakan topeng. Di balik apa yang ia tampakkan, di balik apa yang ia tunjukkan, ada serangkaian usaha untuk menutupi sisi lain dari kehidupannya. Ia merasa malu dan kecewa dengan apa yang ia alami. Ia merasa rendah diri kalau sisi yang benar dari dirinya diketahui. Dan topeng adalah alat yang paling sempurna untuk menutupinya.

Awalnya, saat topeng itu dikenakan, mereka akan merasakan sebuah kenikmatan dan kepuasan yang luar biasa. Mereka merasa puas dengan apa yang mereka lakukan. Mereka merasa maksud dan tujuannya sudah tercapai. Namun saat mereka sendiri, di kamar, di toilet, di persembunyian, di perpustakaan, di mana saja ketika mereka tidak sedang mengenakan topeng, mereka akan melihat dirinya sendiri. Sebagian akan menangis menetekan air mata, menyadri kamuflase yang dilakukan terlalu jauh. Ia merasa ingin dilahirkan kembali, merasa ingin kembali ke titik nol, ingin keluar dari kehidupan yang ia lalui saat ini. Namun ia tidak mampu. Namun sebagian yang lain merasa bangga dengan apa yang telah dilakukannya. Dan dalam hitungan waktu mereka akan mulai menyadari dan tertunduk menyesali.

Kita perlu kembali pada hakikat abadi, Tuhan yang Maha Mengetahui, Maha Pengasih. Dialah yang tahu atas semua yang kita lakukan. Kamuflase, topeng, dan semua kemunafikan akan transparan di mata-Nya. Tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya. Dengan kesadaran ini kita akan -sedikit-demi sedikit- berusha menampilkan diri yang utuh, diri yang telanjang, yang tidak mengenakan pakaian kesombongan dan keangkuhan, tidak menutupi muka dengan topeng kebahagiaan yang menutupi jeritan hati dan jiwa yang tersiksa. Kita akan menjadi manusia sempurna dengan apa adanya diri kita ketika kita menyadari keterhubungan kita dengan Tuhan dalam setiap detik waktu yang kita jalani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun