Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hasan Tiro "Menyulut Bara"

6 Juni 2010   13:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_160192" align="alignleft" width="225" caption="Hasan Tiro saat pulang kembali ke Aceh (sumber klik foto)"][/caption]

Saat pulang kampung pada pertengahan tahun 2003, saya mendapatkan sebuah pemandangan yang mencengangkan. Banyak masyarakat yang menebang pepohonan yang ada di sekitar rumah mereka; pohon durian, kuini, manggis, mancang, jambu, dan lainnya. Padahal sebagian dari pohon itu sudah berumur puluhan tahun. Bahkan, sebuah pohon durian yang ada di belakang rumah kakek saya mungkin sudah berumur lebih seratus tahun. Kakek saya sendiri yang saat itu umurnya sudah uzur mengatakan pohon itu sudah ada di sana dan memang sudah seperti itu sejak ia lahir. Namun kini tiba-tiba si pohon tua bersama pohon lainnnya serempak mencium tanah. Apa pasal?

Usut punya usut ternyata alasannya sangat sederhana. Masyarakat ingin –atau mereka dibuat seolah menginginkan- agar seseorang yang mereka kagumi, yang saat itu jauh di mata, dapat melihat rumah mereka saat melintas dengan helicopter di udara. Menurut isue yang tidak jelas dari mana dan disebarkan oleh siapa, sang tokoh pujaan akan pulang ke Aceh dari belahan dunia lain. Dan ia, dengan helicopter pribadinya akan berkeliling mengunjungi Aceh lewat udara. Ia akan meliha rumah masyarakat dan rakyat Aceh, pun yang ada di pedalaman, seperti kampung saya. Adalah sebuah kebanggan bagi masyarakat jika sang tokoh pujaan dapat melirik rumah yang selama ini mereka tempati meskipun sekilas dan itupun dari udara. Dan demi lirikan itulah pepohonan di sekitar rumah menjadi korban, agar pandangan sang tokoh tidak terhalang. Siapa sang tokoh yang begitu menyihir ini? Masyarakat mengatakan kepada saya; Hasan Tiro! Hasan Tiro adalah deklarator Aceh Merdeka pada tahun 1976. Nama ini kemudian berubah menjadi Gerakan Aeh Merdeka (GAM). Dengan cara tertentu -yang masih diperdebatkan para ilmuan- Hasan mampu menyuntik sebuah ideologi pemberontakan kepada banyak masyarakat Aceh. Ia mampu menyuluh sebuah bara keinginan untuk mendirikan pemerintahan Aceh mandiri yang terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI). Banyak orang yang kemudian berfikir sama dengannya. Mereka bergerak, melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan apa yang dipikirkan oleh Hasan Tiro. Berbulan, bertahun bahkan puluhan tahun lamanya.

Hasan Tiro awalnya adalah seorang nasionalis. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Bahkan bersama Kahar Muzakkar ia tercatat sebagai perintis berdirinya perpustakaan universitas tersebut. Ia kemudian mendapat beasiswa pemerintah Indoensia untuk melanjutkan pendidikanya ke Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan program doktor ia masih sempat menjadi perwakilan pemerintah Republik Indonesia yang masih seumur jagung dan belum keluar dari kemelut, di Amerika.

Selama di Amerika inilah ia berkenalan dan dekat dengan berbagai konstutusi internasional yang memberikan penjelasan padanya mengenai status dan keabsahan bangsa-bangsa merdeka dari penjajahan. Dua hal yang paling berkesan baginya adalah, bahwa sebuah daerah yang sama sekali tidak terikat apapun dengan sebuah bangsa –karena mereka memiliki sejarah yang berbeda- tidak serta mereta menjadi bagian sebuah bangsa itu ketika ia merdeka dari penjajahan. Hal lainnya, bahwa sebuah daerah yang tidak memiliki cukup alasan ketidakabsahan penggabungannya dengan bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum. Dua alasan inilah yang mengganggu pikiranya untuk mengatakan bahwa penggabungan Aceh dengan Indonesia memiliki cacat hukum sehingga harus dipisahkan kembali. Lalu ia mengobarkan pemberontakan dengan memproklamirkan Aceh Merdeka.

Hasan hanya mengemukakan dua isue pokok yang menjadi alasan pemberontakannya. Pertama ia berusaha membangkitkan kembali kesadaran masyarakat bahwa Aceh dalam sejarah adalah sebuah negara berdaulat jauh sebelum Indonesia ada. Kekuasaan Aceh meliputi hampir seluruh Sumatera dan negara Malaysia sekarang ini. Kekuasan ini bahkan menyebar sampai ke sebagian Kalimantan. Kekuasaan yang demikian besar sungguh tidak layak diturukan menjadi hanya sebagai sebuah daerah dalam negera lain. Aceh seharusnya adalah sebuah negara dan daerah-daerah lain adalah sebuah daerah taklukan yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Aceh. Nah, ia mengatakan, sungguh sangat hina jika saat ini Aceh diletakkan sebagai sebuah provinsi di bawah Indonesia yang lahir kemarin sore.

Isue kedua adalah potensi alam dan kekhasan budaya Aceh yang dikhianati oleh Jakarta. Hasan memastikan bahwa hasil kekayaan alam Aceh yang ada selama ini semuanya diangkut ke Jakarta. Pemerintah pusat menguras hasil alam Aceh untuk kepentingan elit politiknya. Sementara masyarakat Aceh sendiri yang seharusnya “pemilik” kekayaan itu hanya melihat dan menyaksikan kekayaan alam mereka diangkut ke Jakarta. Dalam lumbung padi kejayaan mereka mati dan menderita. Di sinilah muncul sebuah adigium: “Buya krueng teu dong-dong, buya tamong meuraseuki.” Ini semakin diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang tidak peduli dengan beberapa janjinya untuk merealisasi aspek keistimewaan tertentu yang ada di Aceh setelah mereka menjanjikannya. Hasan menganggap praktik ini adalah pengkhianatan dan pembohongan yang dilakukan pemerintah Jakarta kepada masyarakat Aceh.

Kedua alasan di ataslah yang telah menyihir ribuan anak muda dan lelaki paruh baya di Aceh untuk memanggul senjata dan menukar nyawanya dengan kebrutalan sambutan negara. Banyak orang yang mati dan menderita karena alasan ini, baik dari tentara Indonesia mampun dari Gerakan Aceh Merdeka. Dan masyarakat sipil adalah korban terbanyak dibandingkan dengan para tentara dari kedua belah pihak. Para pihak yang terlibat dalam perang menjadikan masyarakat sebagai tameng dan sebagai pelampiasan kekesalan. Bahkan beberapa kasus jelas menunjukkan ada aparat yang menjadikan nyawa sebagai mainan senjata. Sikap seperti ini menjadikan kematian bukan akhir dari perjuangan, namun awal dari sebuah semangat. Banyak orang yang tumbuh kembali dan berdiri melanjutkan perjuangan orang tua mereka. Hasan Tiro sendiri mengungsi ke luar negeri dengan tekat mengkampanyekan idenya kepada dunia internasional. Saya tidak tahu sejauh mana kampanye yang dilakukannya berjalan, namun sebuah kenyataan yang tidak terbantahkana adalah, penyelesaian konflik Aceh dan Jakata diakhiri dengangan keterlibatan dunia internasional. Apakah ini karena lobi Hasan Tiro atau inisiatif pihak lain? Atau ini justru kekalahannya? Wallahu'a'lam.

Keterlibatan banyak pihak lain dalam penyelesaian konflik Aceh pula yang telah merubah banyak hal di Aceh. Hasan sendiri, di akhir hayatnya dalam usia yang tidak lagi muda, menyaksikan perubahan-perubahan tersebut; di Aceh, Jakarta dan pada diri Hasan sendiri. Banyak akdernya yang dulu sangat militan, menggul senjata menghadapi tentara pemerintah; sekarang justru duduk di kantor pemerintah. Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan bersumpah dengan pancasila yang selama konflik sangat mereka benci. Jakarta yang dulu dianggap telah mengangkut kekayaan alam di Aceh dan dipergunakan untuk kepentingan elit, sekarang sudah sedikit lebih terbuka. Banyak program “pengembalian” yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Hasan sendiri dalam akhir usianya mulai uzur takmampu berbuat banyak.

Ia kembali dari Swedia dan kembali menetap di Aceh pada 2010. Masih banyak orang yang berharap ia kembali, menjadi pemimpin sejati masyarakat. Ia lalu dipanggil Wali Nanggroe, penghargaan adat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain Hasan Tiro sepanjang sejarah Aceh. Gelar ini diberikan secara "aklamasi" tanpa sebuah proses apapun. Hampir semua orang Aceh tahu kalau ia adalah Wali Nanggroe.

Namun dunia terus berputar, dan waktu menjawab banyak persoalan. Kamis, 4 Juni 2010, 26 jam setelah pemerintah Indonesia memberikan hak kewarganegaraan Indonesia kepadanya, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir di Banda Aceh. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan ideologisnya.  Terlepas dari pro kontra yang ia torehkan sepanjang jalan hidupnya, saya masih berharap semoga ke depan di Aceh akan lahir orang-orang yang dikagumi seperti Hasan Tiro, berusaha seperti Teungku, untuk kesejahteraan masyarakat. Di dunia dan di akhirat. Wallahu’a’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun