Hampir tiap hari kita disuguhkan berita tentang seorang perempuan yang membeberkan perselingkuhannya dengan seorang lelaki, yang merupakan suami sah dari wanita lain. Wanita ini membeberkan aibnya dengan senyum ceria, seolah-olah tidak ada yang salah dengan perilakunya.
Kita sebagai orang timur tentu sangat tabu dengan hal-hal seperti ini karena tidak sesuai dengan adat, budaya dan religi kita yang mengharamkannya. Terlepas dari kebenaran atas isu tersebut, tentulah berita semacam ini sangat tidak pantas dipertontonkan diruang publik karena sangat tidak etis. Selingkuh / berzina itu sudah pasti salah, baik secara moral, kesusilaan maupun hukum. Apalagi kalau aib itu diberitakan kepada khalayak ramai, tentulah semakin berat kadar kesalahannya karena bisa menyakiti bahkan mempermalukan keluarga (anak/istri) dari yang bersangkutan.
Tindakan perempuan yang membeberkan dugaan perselingkuhannya sudah sepatutnya dihentikan dengan melakukan penegakan hukum. Perselingkuhan / perzinahan dapat dituntut dengan menggunakan Pasal 284 KUH Pidana, dengan ancaman hukuman 9 bulan. Mengingat partner selingkuh perempuan itu sudah beristri, maka dua-duanya (perempuan dan lelaki) bisa dihukum apabila tindakan perzinahan mereka terbukti. Namun mengingat perzinahan ini merupakan delik aduan absolut dari suami atau istri yang merasa dirugikan, maka istri dari lelaki partner selingkuh perempuan tersebut harus bersedia membuat pengaduan kepada yang berwajib, sehingga perkaranya bisa diselidiki.
 Ketentuan lain yang berpeluang diterapkan adalah Pasal 27 ayat (1) UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah. Dalik ini bukan delik aduan, sehingga penegak hukum bisa menggunakannya sekalipun tidak ada yang mengadu.
Pasal lainnya yang berpeluang digunakan adalah pasal 45 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut ketentuan ini setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp.750 juta. Oleh karena padal 27 ayat (3) ini merujuk kepada penghinaan dalam pasal 310 (menyerang kehormatan dan nama baik) dan 311 KUH Pidana (fitnah), maka kejahatan ini juga merupakan dalik aduan, sehingga agar pelakunya dapat dituntut maka pihak yang dirugikan wajib membuat pengaduan.
Pelapor dalam pasal 310 dan 311 KUH Pidana ini harus pihak yang menjadi korban pencemaran/fitnah. Kendala dalam hal ini adalah apabila partner pria tersebut tidak merasa dirugikan, sehingga tidak mau membuat pengaduan. Tanpa ada pengaduan dari korban maka penuntutan tidakbisa dilakukan.
Kita sangat berharap ada tindakan yang cepat dari aparat untuk menindak hal-hal seperti ini, sehingga ketertiban masyarakan bisa terjaga dengan baik. Tentu kita semua juga wajib untuk menjaga, menghormati hukum, etika dan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H