Oleh Sehat Damanik, S.H., M.H.*
Pemerintah berencana mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) terkait Moratorium PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan Kepailitan. Rencana ini muncul sebagai respon terhadap usulan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang menghendaki agar dilakukan Moratorium PKPU dan Kepailitan sampai dengan tahun 2025.Â
APINDO mengusulkan moratorium ini dengan alasan guna menyelamatkan dunia usaha dari resesi akibat pandemic Covid 19, serta adanya dugaan moral hazard dalam permohonan PKPU dan Kepalitan.
Harus kita akui, memang ada kelemahan dalam UU Kepailitan dan PKPU sebagaimana diatur dalam UU No. 37 tahun 2004, khususnya terkait dengan mudahnya syarat pengajuan kepailitan. Jika kita membaca pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4), maka ada tiga syarat pengajuan Kepailitan, yaitu  pertama,  adanya dua atau lebih kreditor; dua, adanya hutang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih dan  ketiga, dua kreditur dan tagihan yang sudah jatuh tempo tersebut harus bisa dibuktikan secara sederhana.Â
Syarat-syarat tersebut sama sekali tidak mempersoalkan apakah debitur masih sehat atau tidak. Sepanjang ketiga syarat terpenuhi, maka debitur sudah bisa di putus Pailit/PKPU. Kelemahan UU inilah yang mengakibatkan beberapa perusahaan besar dan tergolong masih sehat/punya prospek baik bisa dinyatakan pailit, sebagaimana kasus kepailitan PT. Telkom, PT. Dirgantara Indonesia dll.
Buah Simalakama Moratorium
Kepailitan/PKPU itu adalah dua sisi mata uang yang memberikan perlindungan kepada Kreditur dan Debitur. Jadi adalah kurang tepat apabila ada pihak yang meminta Pemerintah melakukan moratorium, hanya untuk melindungi pihak Debitur saja, karena tujuan dibuatnya UU Kepailitan dan PKPU bukan hanya untuk Debitur.Â
Merujuk pada pendapat Louis E. Leventhal dalam bukunya The Early History of Bankcruptcy Law ada tiga tujuan hukum kepailitan (bankcruptcy Law), yakni : memberikan jaminan pembagian yang sama kepada semua kreditur; mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merugian kepentingan kreditor; dan memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari pada kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Ketiga tujuan di atas juga terlihat dengan jelas dalam UU 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Dalam pasal 24 ayat (1) diatur bahwa Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal Putusan Pailit diucapkan. Tujuan pasal ini adalah melindungi kepentingan Kreditor dari Debitor yang nakal.Â
Selanjutnya dalam pasal 166, 202 dan 207 diatur tentang perlindungan terhadap kepentingan Debitor melalui rehabilitasi (pemulihan nama baik) setelah kepailitan berakhir dengan baik dan memuaskan. Dengan rehabilitasi maka diharapkan Debitur akan bisa berusaha dan bangkit lagi membangun usahanya.
Pemerintah tentu harus bertindak bijaksana dengan memberikan perlindungan kepada semua warganya (baik Debitur dan Kreditur). Tentu tidak adil bagi Kreditur apabila moratorium disetujui pemerintah sampai dengan 2025, karena dalam kurun waktu tersebut bisa saja Debitur yang beritikad buruk menghabiskan asetnya, sehingga pada saat moratorium selesai maka Kreditur tidak lagi mendapat apapun dari Debitor karena asetnya sudah nol. Kepailitan/PKPU itu justru sebagai kontrol kepada kedua belah pihak agar melakukan upaya terbaik dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Â
Pentingnya Insolvensi Test
Salah satu kelemahan dalam UU kita adalah tidak adanya pengaturan tentang Uji Insolvensi (Insolvency Test). Jikapun dalam UU 37 tahun 2004 ada diatur tentang insolvensi, hal itu hanyalah sebagai salah satu tahapan dalam proses kepailitan, yakni suatu keadaan dimana Debitor berada dalam keadaan tidak mampu membayar utangnya kepada Kreditor.
 Insolvensi itu sendiri ada dua kelompok, pertama, Technical Insolvency dalam hal perusahaan gagal membayar utangnya yang disebabkan kesulitan uang tunai yang bersifat sementara dan kedua, Bankruptcy Insolvency yaitu perusahaan yang gagal membayar utang karena fundamental bisnisnya memang jelek, sehingga total utangnya sudah jauh melebihi nilai pasar yang wajar dari assetnya.Â
Dari kedua kelompok di atas maka hanya kelompok kedualah yang memenuhi syarat untuk di PKPU/Pailitkan, sedangkan kelompok pertama harusnya tidak karena masih berpeluang besar untuk bisa berkembang kembali.
Poin penting dalam Uji Insolvensi (Insolvency Test) tersebut terletak pada tingkat akurasi dari uji tersebut, guna menentukan peringkat/kondisi kemampuan keuangan perusahaan yang sesungguhnya. Oleh karena itu Uji Insolvensi (Insolvency Test) harus benar-benar dijalankan dengan baik dan benar, juga oleh lembaga yang kredibilitasnya tidak diragukan.Â
Harus ada kombinasi antara auditor terpercaya, untuk selanjutnya diuji (dibuktikan) secara hukum dihadapan persidangan. Tentu saja sangat tidak cukup apabila hanya menerima laporan sepihak dari Debitor, yang objektifitasnya bisa diragukan.
Uji Insolvensi (Insolvency Test) sebenarnya bukan sesuatu yang asing untuk dilaksanakan, mengingat kegiatan yang mirip pada dasarnya sudah dipraktekkan di pengadilan. Dalam Peradilan TUN dikenal Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986/UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan TUN), yang dilaksanakan diawal, sebelum pemeriksaan pokok perkara.Â
Dalam pemeriksaan persiapan ini hakim wajib memberikan nasehat kepada Penggugat terkait kelengkapan gugatan dalam jangka waktu tertentu. Jika Penggugat tidak dapat memenuhi nasehat yang diberikan maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Hal yang sama sangat layak dilakukan dalam kasus Kepailitan/PKPU melalui Uji Insolvensi (Insolvency Test), sehingga ada penyaringan yang ketat bagi penentuan apakah suatu perusahaan layak atau tidak di-Pailitkan/PKPU.Â
Jika tidak memenuhi syarat untuk dipailitkan, maka hakim wajib menyatakan perkara tidak dapat diterima, sehingga tidak perlu dilanjutkan pada pemeriksaan pokok perkara.
Pemerintah sangat diharapkan bisa membuat suatu kebijakan terkait Uji Insolvensi (Insolvency Test), baik melalui penerbitan PERPU atau melalui kebijakan lainnya, sehingga kebijakan tersebut bisa menjawab semua kepentingan pihak yang terkait. Selain itu tentu juga diperlukan kesadaran bersama dari semua pemangku kepentingan untuk meminimalisir moral hazard dalam kasus Kepailitan/PKPU.
***
*Penulis adalah Dosen STIH Gunung Jati Tangerang, Dosen FH UNTAR dan Praktisi Hukum di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H