Kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah masalah yang perlu diatasi karena dapat berdampak buruk pada korban dan komunitas kampus. Kekerasan seksual di kampus dapat berupa pelecehan, merendahkan, atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang.
Dampak kekerasan seksual di kampus: Mengganggu karier akademik dan sosial korban, membuat korban merasa terpinggirkan, membuat korban mengalami tekanan mental, stres, dan post-traumatik. Salah satu contoh isu yang ada adalah mahasiswa dari Universitas Brawijaya atau UB, NWR mengalami pelecehan seksual pada 2017 yang baru dilaporkan pada 2020. "Pada awal Januari 2020, NWR melaporkan kasus pelecehan seksual yang pernah dialaminya kepada Fungsionaris FIB UB," kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UB, Agus Suman, pada 5 Desember 2021. Agus menjelaskan pelaku pelecehan seksual merupakan kakak tingkat NWR yang juga mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris FIB UB berinisial RAW Saat itu, usai menerima laporan, FIB UB melakukan tindak lanjut dengan membentuk Komisi Etik. RAW pun terbukti bersalah dan telah diberikan sanksi oleh pihak UB. Sementara itu, NWR diberikan pendampingan berupa konseling.
Terdapat beberapa penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, yakni sebagai berikut:
a. Budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia
Adanya budaya patriarki menciptakan stereotip tertentu terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual dapat terjadi. Dalam paradigma feminisme radikal, patriarki dianggap sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan yang paling mendasar.
b. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual
Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding korban.
c.Budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya
Menurut Sophia Hage (DW, 2016), direktur kampanye di Lentera Sintas, ada stigma sosial bahwa isu kekerasan seksual merupakan isu yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini menjadi salah satu sinyal bahwa ketika korban berani melaporkan justru masyarakat menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming).
d.Mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk. (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih berada pada tahap awal dalam kesadaran dan pemikiran kritis akan isu kekerasan seksual.
Tanggapan: Tanggapan dari saya mengenai kekerasan seksual dilingkungan kampus diantaranya, kekerasan seksual di kampus adalah kejahatan yang harus diberantas. Selain itu, kekerasan seksual di kampus dapat berdampak fisik, psikologis, dan emosional pada korban. Kekerasan seksual di kampus harus dicegah dan ditangani dengan serius, tegas dan tidak
ditutupi. Dan yang terakhir kekerasan seksual di kampus harus ditangani dengan melibatkan seluruh pihak, termasuk mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan masyarakat umum. Solusi:
1. Membuat program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
2. Melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan masyarakat umum.
3. Melaporkan kejadian kekerasan seksual kepada pihak berwenang
4. Memberikan konseling kejiwaan kepada korban
5. Mengecam kekerasan seksual di lingkungan kampus
Menyadarkan diri sendiri dan orang lain tentang dampak kekerasan seksual.
7. Menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi penyintas
Memperkuat kesadaran akan isu kekerasan seksual
Mendiskusikan kekerasan seksual di level mahasiswa, dosen, dan tendik
10. Menjalin kerja sama lintas sektor dengan Komnas Perempuan, Komnas Disabilitas, Komnas HAM, kepolisian, LPSK, dan organisasi keagamaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI