Mohon tunggu...
Seger Susastro
Seger Susastro Mohon Tunggu... Editor - Penulis/Editor

Freelance: Editor, Proofreader, Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berbagi Sembako Tanpa Kumpulkan Massa

14 Agustus 2012   04:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:48 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Satu dari beragam aktivitas yang berhubungan dengan bulan Ramadhan adalah pembagian zakat fitrah. Zakat ini sebagai wujud kepedulian umat Islam yang telah berkecukupan secara ekonomi terhadap sesama yang hidupnya masih serba kekurangan. Besarnya zakat setiap orang yaitu 2,5 kilogram beras, dapat pula diganti dengan uang yang nominalnya (minimal) sama dengan harga beras tersebut. Kriteria siapa orang-orang yang berhak menerima zakat pun telah dijelaskan dalam kitab suci Alquran.

Fenomena beberapa tahun terakhir banyak orang kaya dan perusahaan yang membagi-bagikan ‘zakat’ kepada warga masyarakat dalam jumlah besar. Pemberian sembako (bukan zakat, karena memang besaran dan barang yang diberikan tidak mengacu pada zakat sebenarnya) ini biasanya dengan mendatangkan orang dalam jumlah banyak. Orang-orang itu datang sambil pegang kupon yang sudah diberikan sebelumnya oleh sang dermawan. Namun ada juga pembagian sembako yang tanpa harus membawa kupon, sesuatu yang mendorong orang-orang saling berebut lebih dulu untuk mendapatkan sembako. Model pembagian sembako dengan mendatangkan massa inilah yang sering menimbulkan korban, bahkan sampai ada yang meninggal dunia.

Meski insiden tersebut sudah sering muncul dalam pemberitaan di media cetak dan elektronik, ternyata pembagian sembako dengan model pengumpulan massa masih saja terjadi. Semoga pada bulan Ramadhan tahun ini tidak ada lagi insiden pembagian sembako yang hingga menimbulkan korban jiwa.

Kita sebenarnya bisa belajar bagaimana membagikan sembako seperti halnya dalam pembagian zakat fitrah. Di kampung saya, orang yang mau berzakat biasanya datang sendiri atau diwakilkan (titip) membawa zakatnya ke masjid. Amil (panitia zakat) akan menerima zakat ini dan mencatatnya. Untuk distribusi atau pembagiannya, amil telah mendata siapa orang-orang di lingkungan tersebut yang akan menerimanya. Amil juga yang mendatangi orang per orang untuk menyerahkan zakat ini, sehingga tidak ada kerumunan massa dan sesuatu yang negatif.

Ketika masih jadi wartawan tahun 2008, saya mendapat tugas mengawal salah satu partai politik di Surabaya. Parpol ini terkenal memiliki dana besar, namun imej parpol kurang bagus di masyarakat. Mungkin hal itu karena orang-orang yang direkrut sebagai kader parpol sebagian berasal dari kalangan kurang religius, bahkan ada kader yang perilakunya negatif di mata masyarakat. Pelbagai upaya untuk memperbaiki citra parpol terus dilakukan oleh pengurus, terutama dengan memperbanyak aktivitas sosial yang bermanfaat bagi masyarakat dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Apalagi, pada tahun tersebut sejumlah wilayah di Jawa Timur banyak mengalami bencana alam berupa tanah longsor dan banjir. Para pengurus dan kader parpol bekerja bersama-sama tim lain relawan penanggulangan bencana terjun langsung menolong para korban dengan dana swadaya.

Khusus untuk bulan Ramadhan, pengurus parpol ini juga membagi-bagikan paket ‘zakat’ sembako, berisi beras, minyak dan lainnya. Bagi saya, manajemen yang menarik dari proses pembagian paket sembako ini adalah pelibatan perangkat desa (RT/RW) di wilayah kabupaten/kota yang menjadi sasaran. Kader parpol bekerja sama dengan pengurus RT/RW mendata warganya yang akan (berhak) menerima sembako. Keterlibatan para pengurus RT/RW di sini penting untuk meminimalkan agar pembagian sembako tidak salah sasaran. Setelah proses pendataan, kupon baru diberikan kepada warga yang terjaring, termasuk sosialisasi proses kapan (waktu) dan dimana sembako dibagikan kepada warga. Sehingga waktu tiba pembagian paket sembako tidak ada lagi desak-desakan berebut saling mendahului antara warga. Walhasil, pembagian beras yang total mencapai 40-an ton berjalan lancar ke berbagai wilayah. Di lokasi pembagian yang saya ikuti, sesekali saya memperhatikan kader parpol yang di lengannya penuh tato. Dia nampak kelelahan dan wajahnya penuh keringat sambil terus melayani warga. Saya berucap dalam hati, semoga dia menjadi mantan preman yang menjadi santri. Sudah cukup banyak politisi di negeri ini yang dulunya seorang santri akhirnya menjadi preman.

Bagi perusahaan dan para orang kaya yang ingin bagi-bagi zakat, uang atau sembako, akan lebih bijaksana jika tidak menggunakan model pengumpulan massa. Tentukan dulu daerah atau kampung yang menjadi sasaran dan lakukan kerjasama dengan pengurus RT/RW setempat untuk mendapatkan data yang valid orang-orang yang layak menerima. Mereka yang didata tidak hanya warga dengan agama tertentu (Islam), tetapi semua warga yang masuk kategori kurang mampu secara ekonomi. Bila perlu, pekerjakan orang khusus untuk pembagiannya tanpa harus ada kesan merendahkan mereka yang menerima seperti seorang peminta-minta. Siapkan dana khusus pula atau bagian dari yang akan dibagi-bagikan, untuk orang-orang yang dipekerjakan tersebut.Bukankah memberi lapangan kerja kepada orang yang butuh pekerjaan juga baik, disamping sebagai orang yang dermawan? []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun