Tak seorangpun menduga Ahmad Budi Cahyono meninggal pada Kamis (1/2/2018) malam setelah dianiaya oleh HI di sekolah pada sore harinya. Setelah dianiaya, Budi Cahyono sempat pulang dan mengeluh lehernya sakit. Dia sempat dilarikan di Rumah Sakit Sampang hingga ke RSU dr Soetomo Surabaya. Sang guru meninggal akibat mati batang otak.
Peristiwa ini berawal dari dalam kelas saat korban mengisi pelajaran di kelas XII. Korban menegur pelaku karena tidak menghiraukan pelajaran yang disampaikan korban. Sampai beberapa kali ditegur, pelaku tetap tidak menghiraukan sehingga terjadi debat antara keduanya. Setelah perdebatan terjadi, pelaku kemudian menganiaya korban.
Sementara itu, Kepala SMAN 1 Torjun, Amat, membenarkan peristiwa yang terjadi di sekolahnya. Bahkan korban sempat bercerita kepada Amat terkait keributan di dalam kelasnya. Namun, kondisi korban sesaat setelah peristiwa masih sehat-sehat saja.
Kabar mengejutkan datang tiba-tiba dari keluarga korban bahwa sampai di rumahnya korban tidak sadarkan diri. Setelah itu, korban dibawa ke rumah sakit di Sampang. Karena kondisinya semakin kritis, korban langsung dirujuk ke Surabaya. Namun, korban tidak bisa diselamatkan dan meninggal di Surabaya (Kompas.com).
Sebagai sesama guru saya merasa miris membaca berita tersebut. Guru yang seharusnya digugu dan ditiru, malah dianiaya oleh muridnya sendiri hingga nyawanya melayang. Mengapa remaja berinisial HI dapat berperilaku agresif kepada gurunya? Dan apa yang bisa kita lakukan agar tidak ada lagi remaja-remaja seperti HI di kemudian hari?
Beberapa faktor penyebab perilaku agresif pada remaja menurut Mellisa Grace, M.Psi., Psikolog,:
Faktor Biologis
Saat remaja terjadi perubahan fase hormonal yang berdampak pada emosi yang labil. Genetika emosi yang diturunkan atau diwariskan dari orangtua dan gangguan neurologis (gangguan otak) yang mengganggu fungsi emosi, dapat menyebabkan seorang remaja berperilaku agresif.
Faktor Lingkungan
Faktor pergaulan lingkungan juga dapat membawa pengaruh bagaimana seorang remaja mengekspresikan emosinya. Remaja terpapar tontonan TV, film, internet dan media sosial yang mencontohkan perilaku agresif, serta kurang adanya aturan yang tegas dari sekolah.
Faktor Pola Asuh
Faktor paling utama adalah pola asuh dalam keluarga. Bagaimana menanamkan nilai-nilai, latihan ketrampilan cara mengelola emosi, ketrampilan cara mengelola stres dengan efektif, maupun ketrampilan dalam menyelesaikan masalah yang ia pelajari dari interaksi dalam keluarga, yang melibatkan pola asuh maupun lingkungan pendidikan terdekat. Orang tua yang mencontohkan perilaku agresif (mudah marah, memukul, mencubit atau berbicara kasar), akan ditiru oleh anak dikemudian hari. Selain itu pola asuh yang tidak konsisten, permissive (tunduk pada anak), mengabaikan anak, dan suka menuntut anak, dapat menyebabkan anak berperilaku agresif.
Apa solusinya agar tidak ada lagi remaja-remaja seperti HI di kemudian hari?
Lebih lanjut Mellisa Grace, M.Psi., Psikolog, menjelaskan cara menghadapi perilaku agresif pada remaja atau anak adalah cari tau terlebih dahulu penyebab remaja melakukan perilaku agresif. Jika perlu libatkan bantuan profesional yaitu psikolog atau psikiater.
Jika penyebabnya adalah faktor biologis, maka remaja tersebut memerlukan treatment medis atau obat dari psikiater untuk menstabilisasi hormon yang mengatur emosi.
Jika penyebabnya adalah faktor lingkungan, maka orangtua dapat membatasi akses terhadap tayangan, tontonan ataupun pergaulan yang memicu atau mencontohkan agresivitas. Berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk menerapkan aturan yang tegas, konsisten dan disiplin. Lebih membangun kedekatan emosi dengan anak, seperti lebih sering mengobrol bersama, lebih sering bertanya tentang bagaimana perasaan atau pengalaman anak.
Jika penyebabnya adalah faktor pola asuh, maka orangtua dapat memberikan contoh (modelling) perilaku yang tepat. Jangan justru memukul, memarahi dengan kata kasar atau menggunakan perilaku agresif lainnya untuk menghentikan perilaku anak, karena hal itu akan justru semakin mengajarkan anak untuk menggunakan agresivitas dalam mencapai tujuan. Orangtua perlu berkomunikasi dengan anak mengenai perilaku apa yang boleh dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Jika anak tetap melakukan perilaku agresif maka berikan time out agar ia berpikir tentang perilakunya, lalu berikan konsekuensi atas perilaku agresifnya. Konsekuensi bukan berupa omelan dan kekerasan, melainkan mengurangi atau meniadakan hal-hal yang menjadi kegemaran anak.
Berikan alternatif perilaku untuk mengekspresikan emosinya, yaitu dengan cara berkomunikasi secara asertif atau mengekspresikan emosinya melalui kegiatan olah raga, seni, dan hal-hal positif lainnya. Saat ia berhasil mengendalikan dorongannya untuk melakukan perilaku agresifnya, orangtua memberikan penguatan yang berupa pujian yang tulus.
Namun, jika penyebabnya adalah perpaduan dari tiga faktor tersebut maka penanganan yang dapat digunakan adalah kombinasi dari ketiganya.
"Guru Budi berpulang dipukuli muridnya sendiri. Hormat murid kepada guru tak seperti dulu lagi. Generasi kini seperti tak berjiwa karena matinya budi pekerti. Semoga tragedi Guru Budi kelak tidak terulang kembali."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H