Mohon tunggu...
Pretty Sefrinta Anggraeni
Pretty Sefrinta Anggraeni Mohon Tunggu... Guru - Bachelor of Psychology | Guidance Counselor

Never stop learning. Never stop thinking | Ig: sefrintapretty

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelakor dari Sudut Pandang Psikologi

9 Desember 2017   22:25 Diperbarui: 10 Desember 2017   15:25 15485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: cumicumi.com

Akhir-akhir ini, di media sosial dipenuhi dengan istilah pelakor. Istilah tersebut ramai setelah menyebarnya video dan berita salah seorang artis tanah air dicap sebagai pelakor. Otomatis Masyarakat atau netizen terutama wanita merasa khawatir dengan keberadaan pelakor. Namun, tidak sepatutnya juga jika kita seenaknya mencap seseorang sebagai pelakor dan malah menimbulkan fitnah.

Konselor dan terapis dari Biro Konsultasi Psikologi Westaria, Anggia Chrisanti menjelaskan ada beberapa kesalahan nyata sehingga seseorang rentan dan dengan mudahnya dicap sebagai pelakor. Pelakor atau valakor adalah istilah untuk seseorang yang merebut pasangan lelaki atau suami orang lain. Berikut ini ciri-cirinya (Dikutip dari Tempo.co):

1. Diduga memiliki kedekatan spesial dengan pasangan, khususnya suami, orang lain, baik terkait pekerjaan maupun tidak.

2. Banyak ditemukan bukti dan saksi kebersamaan, bahkan di luar kepentingan pekerjaan.

3. Bukti pembicaraan melalui telepon atau chating yang dianggap tidak biasa. Misalnya, terlalu sering dan atau dengan bahasa atau panggilan yang dianggap tidak biasa, dan atau dengan konten yang tidak seharusnya, terlalu perhatian atau terlalu vulgar.

4. Ditemukan beberapa pemberian barang, baik barang sungguhan maupun bukti transfer uang dalam jumlah dan intensitas yang tidak biasa.

5. Kedekatan berbanding lurus dengan munculnya informasi keretakan rumah tangga seseorang yang sedang dekat dengan orang tersebut. Terlebih jika sampai berpisah.

Apa yang menyebabkan seseorang menjadi Pelakor?

Perbuatan yang dilakukan oleh pelakor tersebut sama halnya dengan perbuatan curang (cheating). Cheating adalah berbuat tidak jujur atau curang yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara sepihak, misalnya mencontek saat ujian, korupsi, dan perselingkuhan.

Menurut Mellisa Grace, M.Psi., Psikolog, ada beberapa alasan yang membuat seseorang dapat melakukan cheating, antara lain: 

1. Faktor Individual

Karakteristik kepribadian individu yang manipulatif. Karakteristik manipulatif adalah kecenderungan individu untuk memanfaatkan atau memanipulasi situasi untuk memperoleh kepentingan pribadi.

Karakteristik kepribadian individu yang kurang memiliki rasa empati kepada orang lain. Empati adalah kemampuan individu untuk merasakan, memahami dan melihat sudut pandang orang lain. Jika individu memiliki rasa empati yang kurang maka ia tidak akan mampu merasakan bahwa ada pihak-pihak yang dirugikan dari perilakunya.

Karakteristik kepribadian individu yang narcissistic. Karakteristik narcissistic adalah perasaan diri yang berlebihan, sehingga individu merasa bahwa dirinya yang paling hebat, paling berkuasa, paling cantik atau tampan, paling pantas memperoleh perlakuan istimewa, padahal sesungguhnya perilaku narcissisticmerupakan bentuk kompensasi dari perasaan rendah diri (low self-esteem) yang dimiliki oleh individu.

Ketidakmampuan individu bersikap asertif. Sikap asertif adalah kemampuan berkomunikasi secara terbuka mengenai pikiran dan perasaannya kepada orang lain tanpa menyakiti dirinya dan orang lain. Individu yang tidak mampu bersikap asertif seringkali menggunakan cheating sebagai bentuk tindakan untuk mengekspresikan kekesalannya, amarahnya, dan dendam kepada orang lain.

2. Faktor Situasional

Individu yang melakukan cheating telah terbiasa atau belajar tidak terlalu mementingkan nilai-nilai kejujuran dari sebuah situasi. Hal ini dapat terjadi ketika individu dibesarkan dalam lingkungan yang kurang menekankan pentingnya nilai-nilai kejujuran.

3. Adanya Keuntungan Sekunder

Individu menganggap bahwa perilaku cheating lebih mendatangkan banyak keuntungan dibandingkan berperilaku jujur. Misalnya dengan berperilaku curang, beberapa orang merasa lebih cepat memperoleh status sosial, lari dari tanggungjawab, lebih memperoleh perhatian, lebih cepat kaya, dan sebagainya.

Parahnya, para pelakor tersebut berusaha menyalahkan pasangan atau korbannya untuk melepaskan diri dari tanggungjawab atas perilakunya sendiri. Padahal perilaku cheating atau selingkuh tidak pernah disebabkan oleh faktor karakteristik korban.

Apakah perilaku cheatingbisa disembuhkan?

Pola perilaku cheating tersebut akan cenderung menetap dan berulang, meski bentuk perilakunya bisa berbagai macam, tidak selalu selingkuh. Perilaku cheating bisa disembuhkan atau akan berhenti jika muncul keinginan untuk berubah dari diri individu tersebut. Lebih lanjut, pelakor yang ingin berubah dapat meminta bantuan atau berkonsultasi ke psikolog atau para ahli dibidangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun