Mohon tunggu...
Sigit Purwanto
Sigit Purwanto Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Kantoran

Orang desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi dalam Seporsi Lontong Balap

18 Oktober 2023   12:09 Diperbarui: 22 Juli 2024   16:06 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.masakapahariini.com

 

Pernahkah kalian makan lontong balap? Kalau pernah tentu kalian tahu, kalau bagian terbanyak dalam seporsi lontong balap adalah kecambah, bukan lontongnya.

Lontong balap merupakan salah satu makanan khas dari Surabaya. Sebagai gambaran, di dalam satu porsi lontong balap terdapat beberapa potong lontong, tahu goreng, lentho dan kecambah yang melimpah, mendominasi piring dengan jumlah terbanyak.

Saya sendiri penasaran, dari mana nama lontong balap ini berasal. Kalau dilihat dari makanannya, kok kayaknya kata "balap" tidak ada kaitannya dengan menu makanannya.

Dari hasil searching di Google, ternyata penaamaan makanan ini berasal dari kebiasaan pedagangnya zaman dulu. Mereka adu cepat, balapan sesama penjual untuk terdepan sampai di tempat jualan. Dari sini lah muncul istilah lontong balap.

Lalu, kenapa juga makanan ini tidak dinamakan kecambah balap?, bukannya kecambah yang paling banyak porsinya, bukan lontong?.

Penaamaan makanan ini telah mengabaikan prinsip demokrasi. Dalam demokrasi suara terbanyak adalah pemenang. Dan sudah jelas, kecambah adalah  suara terbanyak dalam seporsi lontong balap. Misal saja, diadakan pemilu di sepiring lontong balap, sudah pasti kecambah pemenangnya.

Iseng-iseng, saya tanyakan ke penjualnya, kenapa tidak disebut kecambah balap. Jawaban diplomatis dari penjualnya, karena lontong yang lebih mengenyangkan, daripada kecambah.

Menurut bapak penjualnya, hal tersebut yang membuat pencipta lontong balap menamakannya demikian. Tidak dinamakan kecambah balap. Lontong yang dapat mewaikili tujuan orang makan bukan kecambah. Lontonglah yang membuat kenyang bukan kecambah.

****

Berbeda dengan lontong balap yang jelas-jelas melanggar prinsip demokrasi, negara kita secara sahih sudah menetapkan diri  sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Hampir setiap saat, kita bisa melihat hiruk pikuk demokrasi di negara ini. Dari pilkada Kabupaten/kota, pilkada Provinsi, dan tentu saja Pilpres. Lihat saja hari ini, menjelang 2024, ruang publik kita dipenuhi oleh hiruk pikuk para politisi.

Baliho besar dengan berbagai slogan terpambang di setiap sudut jalan. Slogan-slogan pro rakyat tertulis manis pada setiap baliho itu. Semua demi merayu rakyat untuk memilih mereka di pileg dan pilpres 2024.

Dan kita semua tahu, pelaksanaan demokrasi yang kita terapkan, ternyata hasilnya masih jauh dari tujuan demokrasi itu sendiri. Untuk menciptakan pemerintahan yang berdih, mensejahterakan rakyat, serta menjadi bangsa yang Makmur dan berdaulat. Justru, riuh yang  dipertontonkan adalah kontradiksi dari tujuan demokrasi itu  sendiri.

Berita tentang pejabat yang ditangkap karena korupsi, bukan sesuatu yang aneh lagi. Karena berita seperti itu terlalu sering terpampang di mata kita. Sistem politik dengan biaya yang tidak masuk akal, menjadi pembenaran para pejabat untuk mengemplang uang rakyat. Perilaku aktor demokrasi justru menjadi anti thesis dari tujuan demokrasi.

Puluhan partai yang lahir tidak menunjukkan perbedaan basis ideologis yang jelas, semua sama. Mereka hanya berbeda nama dan simbol belaka, ujung-ujungnya beberapa kader mereka akan ngemplang juga saat berkuasa.

Partai politik begitu jumawa, mengalahkan suara rakyat itu sendiri. Siapa yang punya modal besar bisa mengambil kekuasaan tidak peduli dia kredibel atau tidak. Maka hari ini kita lihat orang-orang kaya dan tenar duduk di kekuasaan mewakili rakyat yang sering mereka lupakan.

Biaya besar untuk penyelenggaraan pesta demokrasi, ternyata tidak sebanding dengan yang diharapkan. Dan, yang paling mendasar hiruk pikuk demokrasi kita justru mengesampingkan tujuan dari demokrasi itu sendiri.

***

Bercermin dari satu porsi lontong balap. Kenapa kita tidak berpikir seperti penamaan lontong balap itu sendiri. lontong lebih penting dari kecambah, karena lontonglah yang lebih mengenyangkan.

Segala hiruk pikuk demokrasi yang kita saksikan hari ini, menjadi kehilangan makna karena  masih susah payah mencapai tujuan utamanya, menciptakan pemerintahan bersih dan mensejahterakan rakyat.

Ah, ngomong-ngomong makan sepiring lontong balap ditambah es degan, di Surabaya yang terik benar-benar terasa nikmat. Jika masih kurang kenyang anda bisa menambah lontongnya, kecambahnya juga boleh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun