[caption caption="copyright by: http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02084/anonymous_2084952b.jpg"][/caption]
Waktu hujan sore-sore.. sebuah tanda titik datang padaku. Ia tidak mengucap salam terlebih dahulu, pun membuat salam atau segala sesuatu seperti kewajaran sebuah peradaban. Aneh, hati dan mata berpikir, apakah gerangan yang sedang terjadi? Mungkinkah dunia tidak nyata sedang beranjang sana ke dunia nyata?
Ela mattin tetangga yang lama sekali tidak terlihat batang hidungnya tiba-tiba saja memperlihatkan dua batang taringnya, menyeringai, menyeringai, mirip bekantan yang tidak suka dengan kehadiran betina (apakah dia homo? Apakah binatang juga punya komunitas homo?).
“Sudah, sudah...,” pakdhe datang menyela. Mengapa kamu dan kamu dan kamu buru-buru menunjukkan taring dan berkata kasar, menyalahkan dan berkelit, menampakkan ketidaksukaan dan anggapan bahwa tanda titik punya maksud buruk? Sambung pakdhe. Hanya “orang” yang dapat menerima kritikan dengan lapang dada dan menampungnya dalam kolam pembangunan pribadi menuju arah yang lebih baik! Selain itu... entahlah,
“Kamu sekolah kan?”
“Ohh pakdhe..,” buru-buru kuminum kopi pahit yang semakin menuju ke dingin.
Waktu hujan sore-sore..
sebuah tanda titik datang padaku.
Ia tidak mengucap salam terlebih dahulu,
pun membuat salam atau segala sesuatu seperti kewajaran sebuah peradaban.
Aneh,
hati dan mata berpikir,
apakah gerangan yang sedang terjadi?
Mungkinkah dunia tidak nyata sedang beranjang sana ke dunia nyata?
Entahlah ini dunia nyata atau fiksi, 04 Februari 2016
bukan sede
hanya noktah kecil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H